Keukeu (1)
Friday, May 15, 2020
Edit
Keukeu bergoyang-goyang mengikuti irama musik
dangdut yang mengalun, sesekali pantat bohaynya dengan nakal menampol muka lelaki-lelaki yang meyembah-nyembah goyangan yahudnya itu. Keukeu memang sudah
ditunggu-tunggu sedari ba'da maghrib, sudah tentu oleh para lelaki yang memujanya, tepatnya
memuja paras cantik dan tubuhnya yang buahenol. Kehadiran keukeu di atas
panggung selalu ditunggu oleh hampir semua lelaki di kampungnya. Keukeu si
kembang desa, kecantikannya tiada tara, bahkan diantara artis-artis panggung lainnya ia tetap tak terkalahkan. Alias paling debes.
***
"Digoyang lagi atuh neng..."
pinta salah seorang penonton sesaat setelah musik berhenti beberapa menit, dan
Keukeu nampak kelelahan dengan keringat membasahi sekujur tubuhnya. Itu tentu
saja tak dipedulikan para penontonnya, justru dalam keadaan seperti itulah
mereka dapat melihat kecantikan Keukeu; tubuh lunglai dan keringat mengucur, di
mana Keukeu semakin terlihat menggoda. Giliran artis yang lain bernyanyi
menunjukan kemampuan suara dan goyangannya. Giliran Keukeu untuk duduk beristirahat.
Namun, tidak begitu dengan penonton yang
kadung dimabuk Keukeu, dan sialnya hampir semua penonton kepengin hal yang
sama. Mereka meneriaki si artis "turun bangsat! Kami mau Keukeu nyanyi
lagi, goyang lagi. Bukan kamu, goyanganmu payah, gak sebagus Keukeu" suara protes terhadap
si artis semakin keras dan banyak, itu lumayan membuatnya bingung dan kikuk
untuk bertahan di atas panggung, hingga ia merasa jengkel lalu membanting mik ke arah penonton. Dengan muka
setengah kesal ia ngeloyor seraya menatap jengkel Keukeu. Keukeu jelas tahu apa
yang mesti ia lakukan. Meski badannya belum cukup energi untuk menggoyang
kembali penonton. Namun dengan sepenuh hati dan suara yang mulai agak parau ia
mulai menggeol. "Musik... Yuk.. geol-geol deui!"
Para penonton kembali riang gembira,
bergoyang seperti merayakan kemenangan besar. Bahkan, saking senangnya, ada
dari mereka naik ke atas panggung menghampiri Keukeu, berusaha mengimbagi
goyangan liar Keukeu serta menyawernya dengan pecahan seratus ribuan.
"Neng Keukeu sok atuh mana goyang
gijag-gijugnya" mendengar permintaan salah seorang penonton setianya,
Keukeu tak kuasa menolak, ia tersenyum ke arah si penonton lalu
mengoyang-goyang pinggulnya; patah-patah ke arah depan-belakang, setelah
didapatnya sekitar sepuluh patahan konsisten depan-belakang, ia tambah variasi
patahan kanan-kiri. Kedua tangannya menekuk, posisi mendayung, dan terjadilah
kombinasi goyangan ala Keukeu, yang oleh penontonnya dinamai "goyang
gijag-gijug".
“Eh, itu goyang pamungkasnya? Goyang gijag-gijug
yang mashur sekampung itu?” Tanya
seorang penonton yang nampaknya baru pertama kali menonton konser Keukeu kepada
teman di sebelahnya, yang tak pernah ketinggalan konser tour Keukeu.
"Hooh.. mantap, kan?" Jawabnya singkat sambil menikmati musik "Edan..
goyangannya teh brutal pisan, bikin betah lama-lama ninggalin
istri.
***
Waktu hampir shubuh dan penonton masih
bersemangat menyaksikan Keukeu bernyanyi. Tapi grup musik dimana Keukeu
termasuk di dalamnya, dibayar sampai jam setengah empat, di sisi lain kru dan
artis-artisnya pun sudah sangat kelelahan. Para penonton yang sebetulnya belum
puas mulai berbondong-bondong pulang ke rumah masing-masing, tentu dengan hati
setengah kecewa. Namun, dengan membawa harapan; esok atau lusa pasti kembali
lagi
***
Kian hari nama Keukeu semakin jadi buah
perbincangan di tiap mulut warga kampung, dari mulut para lelaki tentu pujian
keluar seolah bahasan dunia ini hanyalah Keukeu. Di Sawah, di Pasar, di Kantor
Desa, dan bahkan di Serambi Masjid mereka membicarakan Keukeu. Akan tetapi, ini
jelas berbeda dengan apa yang keluar dari mulut ibu-ibu, mereka mulai
mengkhawatirkan suami-suami mereka atau anak-anak mereka yang bujangan,
semuanya gila Keukeu. Teruntuk perempuan mereka resah sekaligus merasa kalau
mereka harus mulai menyelamatkan lelaki-lelaki mereka.
Jadi, sekali waktu, mereka sepakat untuk
berkumpul di rumah Bu RT, mengadukannya, dan mencari jalan keluar atas kegilaan
suami-suami mereka.
"Keukeu tak boleh lagi ada di kampung
ini. Setuju Ibu-ibu!?" Seru salah seorang perempuan yang mendadak vokal setelah
tau suaminya menyebut-nyebut nama Keukeu di setiap tidur malamnya.
"Satuju pisan..!" Jawab kompak
ibu-ibu dalam kesempatan itu.
"Eh.. Tunggu dulu jangan langsung diusir
atuh. Ibu-ibu sadayana bagaimana pun kita mesti inget,
Neng Keukeu itu bagian dari warga kampung sini. Dia juga dulunya peremuan
baik-baik" Ujar Bu Rt berusaha menengahi ketegangan antara ibu-ibu.
Perkataan Bu Rt membuat ibu-ibu kembali
memikirkan ulang kesepakatan mereka. Mereka mulai mengingat-ingat ke belakang,
masa lalu Keukeu, dan keluarganya.
***
Mereka tinggal di kampung Bojong Jero, di
sebuah rumah kecil sederhana dengan kondisi jauh dari berkecukupan. Bah Ikin
dan Nyi Dewi, dan anak mereka baru berusia empat belas tahun, Keukeu. Bah Ikin
cukup dikenal di kampung Bojong Jero sebagai tukang parkir di gerbang TOL
Cikampek, atau mereka lebih mengenalnya sebagai preman daerah itu. Ia biasa
menarik uang dari supir angkot dan pedagang kaki lima sepanjang jembatan sebelum
gerbang TOL, dalilnya tentu saja "keamanan." Sedang, para tukang
angkot dan pedagang kaki lima punya istilah lain untuk menyebut uang keamanan
itu "Japren" (Jatah Preman).
Mereka cukup tahu Bah Ikin dan kawan-kawannya
juga dibekingi oleh polisi-polisi yang juga sama-sama mata duitan. Menurut
Polisi-polisi di situ, ya mau bagaimana lagi premanisme sulit untuk dibasmi, mending
cari aman. Ibarat pepatah lama "patah satu tumbuh seribu".
Sedang Nyi Dewi, dulunya, sebelum menikah
dengan Bah Ikin, ia dikenal sebagai perempuan biasa sebagaimana mestinya
orang-orang di kampungnya: berladang, sekolah hingga lulus SD, dan menikah kala
dianggap sudah aqil baligh. Hidup yang singkat. Setidaknya itulah pase normal
perempuan di kampungya. Namun, lima tahun setelah menikah dengan Bah Ikin, Nyi
Dewi tidak lagi menjalani hidup seperti perempuan di kampungnya, yang bila
sudah berkeluarga dan mempunyai anak hanya tinggal menunggu mati. Dalam arti
lain karena memang tak ada yang dilakukan selain hidup berkalang lelaki.
Ini tidak terjadi pada Nyi Dewi, ia memilih
jalan lain sebagai istri, sebagai ibu, sebagai seorang perempuan. Menjadi
Penyanyi, hal yang tak lazim dilakukan perempuan di kampungya, bahkan mungkin
baru ia yang pertamakali menggelutinya.
Tentu Nyi Dewi menjadi penyanyi dengan
sepengetahuan Bah Ikin, suaminya. Bahkan, Bah Ikin sendiri yang menawari Nyi
Dewi profesi itu. Melalui Temannya semasa muda dulu, yang ternyata punya grup
musik keliling, Bah Ikin memperkenalkan Nyi Dewi. Setelah dirasa adanya
kecocokan, Nyi Dewi diharuskan melewati tes. Tesnya, ya cuma tes suara dan tes
goyangan. Tidak ada syarat lainnya. Oh terkecuali pakaian, yang memang siapapun
tau, termasuk Bah Ikin dan Nyi Dewi: pakaiannya mesti rada ketat.
Sejak saat itu Nyi Dewi rutin bepergian ke luar
kota. Namanya mulai dikenal di berbagai kota. Dan tentu saja ia jadi bahan
perbincangan orang-orang di kampungnya: "tuh si Dewi sekarang dia sering
pulang shubuh. Selain nyanyi pasti dia ngejablay." Tapi sekalipun
pandangan buruk bermunculan dari orang-orang di sekitarnya, itu samasekali
tidak membikin Nyi Dewi patah semangat. Sebab, ia mendapat dukungan dan
kepercayaan penuh dari Bah Ikin, Suaminya. Bilamana Nyi Dewi kepikiran omongan
tetangga, yang tak jarang membuatnya melamun sendiri di beranda rumah, di
situlah Bah Ikin hadir membangunkan semangatnya kembali.
"Tak usah dipikir apa kata mereka. Toh
kamu gak nyuri, gak nipu, gak bunuh orang. Artinya, samasekali tidak merepotkan
mereka. Kamu cuma bekerja sesuai kepiawaianmu, Nyi." ujarnya suatu waktu.
Sikap Bah Ikin yang amat pengertian dan mampu
memahami isi hati dan pikiran Nyi Dewi, ini membuat ia yakin; ia tidak harus
melulu menghiraukan omongan tetangga. Yang harus ia lakukan adalah terus maju
ke depan dan jangan sekali-kali berpikir kalau ucapan tetangga bakal merusak
hidupnya.
Dimulai dari setiap bada shubuh, selepas sembahyang,
Nyi Dewi mulai Rutin melatih vokal suara anaknya, Kekeu. Keukeu terlebih dahulu
diberi segelas air putih yang sudah dibiarkan mengembun semalaman di halaman
rumah, itu merupakan rahasia turun-temurun kokolot di kampungnya; konon berkhasiat
memperhalus suara. Selain itu, setiap tiga bulan sekali, Nyi Dewi juga rutin
mengajak Keukeu ke tempat seorang tabib untuk melakukan gurah (membersihkan
kotoran di hidung dan tenggorokan).
Ternyata usaha Nyi Dewi membuahkan hasil,
selain daripada Keukeu memang mewarisi suara ibunya yang merdu.
Nyatanya dalam beberapa bulan setelah rutin
dilatih ibunya, ditambah gurah. Keukeu berhasil menjuarai Musabaqoh Tilawatil
Qur'an (MTQ) sekabupaten. Kekeu juga bergabung dalam sebuah grup marawis di
tempat pengajiannya dan tentu saja, ia termasuk tim inti, sebagai vokalis.
Kala itu mereka sama-sama populernya
seantero kampung. Keukeu, dianggap perempuan sholeh ideal: orang-orang memuja-muji
parasnya, suaranya dalam melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, maupun
membawakan bait-bait sholawat. Tentu saja, ia pribadi yang jago ngaji pula.
Orang-orang menilai apa yang terjadi pada keluarga Nyi Dewi adalah sebuah bukti
keadilan Tuhan: di mana keburukan sangat mungkin melahirkan kebaikan. Ya,
Keukeulah buktinya.
***
"Jadi begitu ya, ibu-ibu sekalian. Soal
Keukeu biar saya dan suami saya yang urus"
Tak seberapa lama, acara kumpul di rumah Bu
Rt bubar. Ibu-ibu menerima tawaran Bu Rt, agar segala bentuk persoalan yang
berkaitan dengan Keukeu, dia dan suaminya yang akan menangani. Sekaligus Bu Rt
juga berani memberi jaminan tanggung jawab bilamana terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan terhadap suami-suami mereka, semisal, kalau tiba-tiba para suami
menghilang dari rumah secara berjamaah, apalagi kalau bersamaan dengan
konsernya Keukeu. Sudah bisa dipastikan penyebab kemana perginya.
Sementara ibu-ibu dibuat resah dengan keadaan suami-suami mereka. Keukeu justru tengah sibuk mengurusi tournya ke beberapa kota: Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon. Butuh energi lebih untuk bernyanyi, bergoyang di kota-kota tersebut. Apalagi, Si Pemilik grup musik sempat menerangkan, kalau tour kali ini bakal jadi tour terpadat sepanjang hayatnya, soalnya hanya dalam hitungan perdua hari mereka harus langsung bergerak menuju kota lain, tambahnya lagi, kontrak kali ini bukan orang biasa yang minta, bukan seperi bulan lalu; acara sunatan, kawinan, atau pun tujuh belas agustusan. Bukan! Ini Orang partai yang minta.
Di kota-kota sepanjang utara Jawa Barat, pada pertengahan tahun, mereka akan bertarung dalam perhelatan politik. Mereka butuh panggung agar bisa dikenal masyarakat luas, tentu kenapa dangdut yang disasar, sebab inilah yang disukai wong-wong cilik kita. Sebetulnya, si pemilik grup musik tak begitu peduli dengan kampanye politik orang-orang partai yang menyewa grup musiknya. Ia selalu menyimpan curiga pada orang-orang berdasi, mereka sering kelewat lupa kalau bikin janji-janji sama orang-rang kecil sepertinya. Namun. Si Pemilik grup musik tetap harus profesional, justru inilah usahanya, ia adalah penjual jasa yang harus membuat pelanggannya terpuaskan. Maka akan ia beri apa yang si pelanggan inginkan; Tour Pantura sebulan penuh!
Dan demi memberikan pelayanan terbaiknya sudah seyogyanya penyanyi-penyanyi yang dipakai juga mesti jempolan, macam Keukeu tentunya.
Kabar tour pantura yang akan membawa Keukeu ke berbagai kota di sepanjang utara Jawa Barat, segera tersebar ke pelosok kampung. Tinggal seminggu lagi. Para pecinta Keukeu amat senang mendapat kabar Keukeu bakal tampil lagi. Mereka keranjingan tak sabar ingin bertemu dengan penyanyi idola umat kampung Bojong Jero itu. Keukeu; penyanyi yang tengah naik daun, tak diragukan suara dan goyangannya di belantika dandut se-kampung Bojong Jero—dan kini ia perlahan tapi pasti—tengah menapaki karir dangdutnya menuju Pantura 1.
***
Ketika hari yang ditunggu-tunggu tiba, Keukeu
dan rombongan Grup Musiknya berangkat dari Kampung Bojong Jero, dengan dua
mobil milik grup musik itu. Mobil pertama dan kedua merupakan mobil sewaan,
mobil truk dengan bawaan alat-alat musik serta properti artis. Ketiga dan
keempat dengan bawaan Keukeu dan kru lainnya. Sementara, tak jauh dari belakang
rombongan grup musik itu, orang-orang dengan menaiki sepeda motor, sekitar tiga
puluhan motor—setiap motor dinaiki dua orang—ikut mengiringi rombongan grup musik,
dan tentu saja Keukeu.
Sambil terus menyebut-nyebut nama Keukeu,
mereka juga membawa kertas bergambar wajah Keukeu, ada gambar yang cuma
setengah dada dimana Keukeu masih mengenakan kerudung, lainnya gambar pose
goyang—yang mungkin didapat menggunakan jepretan HP saat Keukeu manggung—gija-gijug.
Kota
pertama yang dituju adalah Karawang, kemudian Subang, Indramayu, dan terakhir
Cirebon.
Setibanya
di kota pertama, Karawang. Grup Musik itu mendapatkan sambutan yang meriah,
penontonnya ratusan dari berbagai kalangan. Mereka menikmati lagu-lagu yang
dibawakan penyanyi-penyanyi Grup Musik itu: Sekali kesempatan, mereka dibuat
senyap, saat Si Caleg—orang yang menyewa Grup Musik itu—tampil di panggung,
ngomong ini-itu “jalan yang rusak akan saya perbaiki, Insya Allah kalau
saya terpilih guru-guru ngaji di kampung-kampung akan saya gaji, kalau..” dan
saat Si Caleg belum selesai berbicara, seorang penonton yang tak kuat menanti alunan dangdut kini
berhenti, segera meneriaki Si Caleg “cepetan bangsat. Bacot mulu. Besok juga
elu lupa sama omongan sendiri, elu mau dicoblos kan? Ntar gua coblos pas
dipantat elu. Mana musiknya? Goyang lagi!”
Perangkat
keamanan acara itu mulai kalut. Benar saja, adu mulut terjadi antara penonton
yang gak kuat kepengin goyang dengan tim pemenangan Si Caleg. “Cepet anjing!”
seru penonton “Bentar bangsat!” balas salah seorang tim pemenangan Si Caleg.
Keadaan mulai tak terkendali. Seorang penonton melontarkan pukulan tepat di
pipi salah seorang dari tim pemenangang Si Caleg, yang berdiri memagar di
sekitar panggung. “Sudah-sudah, jangan berkelahi” cegah Si Caleg melalui mic digengamannya. Tak ada yang bisa
menenangkan. Penonton sudah tidak sabar, tak ubahnya massa tawuran.
Si
Pemilik Grup Musik dari arah belakang segera naik panggung, lalu mengambil alih. Ia meminta mik Si Caleg, yang wajahnya nampak
ketakutan. Si Pemilik Grup Musik tanpa rasa takut “Sudara-sudara mau goyang?”
tanya Si Pemilik grup musik pada para penonton “Baiklah, mari kita sambut artis
kita dari Kampung Bojong Jero, Keukeu.”
Keukeu
menapaki tangga panggung yang tak terlalu tinggi itu. Di atas panggung, Keukeu
menyapa para penonton. Meski dag-dig-dug,
Keukeu mencoba tenang. Ia terlebih berpengalaman mengahadapi penonton yang
sudah kumat, keranjingan pengin digoyang, lagi, lagi, dan lagi. Untuk sesaat, Keukeu memandang para penonton secara menyeluruh. Betul, ia
pastikan, seperti biasanya mereka tak semuanya sadar, ada yang teler. Sebelum
nonton, mereka pasti mabuk, entah pil koplo, tuak, lem, apapun penyebabnya. Keukeu harus menghibur
mereka, pikir Keukeu.
***
Di
dalam rumahnya, Bah Ikin terseguk-seguk. Mendapati istrinya sudah jadi mayat.
Suatu
malam, setelah tampil di Kalijati, Subang. Nyi Dewi ambruk, lalu dilarikan ke
Rumah Sakit terdekat di daerah itu, ia sekarat. Setelah konser di Koramil dalam
rangka menyemarakan HUT TNI ke-59. Sebutir pelor, nyasar tepat di dada kirinya.
Menurut
kesaksian Si Pemilik Grup Musik pada Bah Ikin, kejadiannya begitu cepat,
penonton yang terdiri dari tentara-tentara muda, pemuda-pemuda kampung, supir
angkot, dan mungkin preman juga ada. Terjadi baku pukul. Seorang penonton dari warga biasa dikeroyok
lima orang dari kalangan tentara. Saat itulah terdengar tembakan. Tembakan
pertama penonton buyar berlarian tak tentu arah, tembakan kedua menyisakan lima
orang tentara yang tengah menghajar seorang pemuda, di muka panggung, dan
tembakan ketiga tak terjadi apa-apa. Beberapa detik kemudian setelah seorang
penyanyi yang semula berusaha melerai Lima Tentara melalui mikropon, ambruk,
sempat kejang-kejang, dan terbaring menatap kosong ke arah langit. Sekarat.
Si
Pemilik Grup Musik, keluar dari persembunyiannya di bawah panggung, ia
terhenyat melihat penyanyinya terbujur bersimbah darah. Ia berteriak, berusaha
meminta tolong. Orang-orang mulai berdatangan. Dengan mobil dinas milik Koramil,
penyanyi itu dibawa ke Rumah Sakit. Tetapi saat di Rumah Sakit itulah nyawa
tidak lagi melekat di badannya.
Bah
Ikin, Kekeu, dibantu Bu Rt dan Pak Rt serta dua orang tukang gali kubur, yang
sengaja didatangkan dari kampung sebelah—sebab, tukang gali kubur yang biasa
mengubur orang mati di kampung Bojong Jero, enggan menggali kubur untuk
perempuan yang dicap laknatullah oleh orang-orang di kampunya itu—mereka
berkerumun di kuburan Nyi Dewi. Tentu saja, satu orang terakhir, yang terus
menjaga jarak dari Keukeu, dan jangkau pukulan Bah Ikin, Si Pemilik Grup Musik.
Ia menangis sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, setelah Bah Ikin
menghajarnya habis-habisan kala Si Pemilik rup musik tiba membawa mayat Nyi
Dewi.
***
“Sir gobang gosir sir
Gula gula Jawa wa..
Sir boleh naksir sir..
Kalau abang suka..ihaa..”
Keukeu
bernyanyi. Dengan alunan musik yang menghentak-hentak ia menyihir para
penontonnya. Rambutnya terurai bebas, kakinya bergantian menghentak, lalu
pinggul mulai digoyang-goyangkannya, dan dada sintalnya menyembul-nyembul
seolah hendak berontak keluar dari kain pengampunya.
Rombongan
pemuda-pemuda kampung Bojong Jero, juga tak luput, mereka ikut larut bergoyang
bersama penonton lainnya. Sesekali, di tengah-tengah Keukeu bernyanyi, secara
kompak mereka menyebut nama Keukeu. Itu dibalas Keukeu dengan kedipan genit.
***
Kampung
Bojong Jero gelap dilahap malam. Sepi. Di setiap rumah, para istri jengah tiada
tara, mereka tak mendapati suami-suami mereka di rumah, atau barangkali di Pos
Ronda, Masjid, Balai Desa.
Para
istri di Kampung Bojong Jero, memecah keheningan malam itu, mereka
berbondong-bondong menuju rumah Bu Rt. Mereka menagih pertanggungjawaban Bu Rt
tempo hari. Sekarang, suami-suami mereka tidak ada di rumah. Bu Rt tak bisa
berkata apa-apa, ia memang menyanggupi bertanggung jawab soal kegilaan
suami-suami mereka pada Keukeu.
Bu
Rt didampinggi Pak Rt—benar-benar ditekan para istri kampung Bojong Jero, dan
tak bisa membendung tuntutan mereka, agar bagaimanapun suami mereka balik ke r umah
masing malam itu juga—serta Para Istri kampung Bojong Jero bertolak menuju
rumah Bah Ikin.
Rumah
dengan bilik bambu itu sepi dan nyaris tak terlihat, hanya sebuah lampu yang
nampaknya korslet mati-matian menerangi
halaman rumah Bah Ikin.
Pak
Rt mengetuk pintu rumah itu secara pelan sebagaimana ia tau adab seseorang
bertamu di malam hari. Namun, beda halnya para istri Bojong Jero yang tak sabar
lagi. Mereka meneriaki rumah kecil nan reot itu.
“Bah...Bah,
keluar! Kamu mesti
mempertanggungjawabkan anakmu diahadapan kami.”
Warungboto, 13 Mei 2020