Hujan di Bulan Maret
Tuesday, May 12, 2020
Edit
![]() |
Sumber Foto: cuadernoderetazos.wordpress.com |
Penulis: Adiratna
Ikhlas…… Nimas, ikhlas……
Suara itu
terus menggema di sepanjang
otaknya.
Tapi tak pernah selaras dengan hati
yang merapalkan kasih.
Seolah otak dan hati sedang
mempertarungkan keyakinannya masing-masing.
Di luar hujan tengah merintik. Menjatuhkan sebuah pengorbanan demi membuat bumi tetap berjalan sesuai siklus
kekehidupan.
“Masih tidak beranjak? Lihat daun
dan tanah itu… mereka rela berbasah-basahan demi menghargai pengorbanan hujan.
Sedangkan kamu? Masih saja bungkam dan
menyalahkan”
“Menjadi yang dikorbankan itu berat”
keluhku.
“Kamu merasa dikorbankan? Namun apakah kamu tahu, menjadi tersangka belum tentu tidak
lebih berat, bukankah begitu?”
Aku hanya diam memandang hujan yang
masih sama.
“Kamu ingat hujan itu ?”
Aku setengah mendengarnya
“Dia saksi atas kalian”
Memang
itulah awalnya hujan,
membawa kami saling bertemu, memandu untuk mengisi tangki-tangki kekosongan hidup
masing-masing.
Lalu
tiba-tiba,
entah dari mana banjir itu datang,
membuyarkan segala rasa yang pernah ada. Aku tahu menjadi yang meninggalkan
atau yang ditinggalkan tentunya sama beratnya.
Namun
seperti hujan di bulan
Maret, yang akan tetap mengguyur kota. Hujan di hatiku pun demikian, sama halnya belum mampu untuk berhenti. Semua membutuhkan waktu,
waktu yang akan menciptakan musim yang baru, agar apa yang pernah layu, mampu bangkit lagi sepeti bunga
itu.
“Kau mau kemana?”.
“Aku ingin pulang”.
“Tapi Nimas, di luar masih hujan”.
“Seperti katamu,
tumbuhan itu saja mampu menerima hujan, lalu kenapa aku tidak kembali mencoba
menerimanya?” Ku beri dia senyum lalu pergi.
“Tapiii…….”
Aku terus
berjalan keluar,
tidak menghiraukan temanku. Lagi pula, telingaku panas mendengarkan kata-katanya. Aku tahu dia
memang benar dan dia sedang mengkhawatirkan aku, namun yang aku butuhkan
sekarang bukan nasehat,
aku hanya butuh didengarkan.
“Langit, tidak cukupkah Langit Yang Lain saja menghukumku dengan hujan? Kenapa engkau pun bersekongkol denganya untuk menghujaniku?”
Teriakku pada langit.
Hujan
semakin deras seolah tahu, bendungan awan hujan di hatikupun siap untuk jatuh bersamanya. Sepanjang jalan
mereka seperti sahabat karib, saling jatuh untuk menutupi. Seolah tak ingin ada orang lain yang tahu, bahwa itu hujan yang sesungguhnya
atau hanya hujan air
mata.
***
Sesampainya
aku di rumah, aku melihat beberapa barang jatuh, seperti ada badai yang tengah masuk ke dalam rumah. Namun seperti sudah
biasa, aku bergegas masuk kamar tanpa
ingin tahu badai mana yang melanda rumahku.
Tidak berselang lama di kamar, seketika aku merasa perutku amat perih, lalu aku teringat kemaren seharian
aku telah menzalimi
tubuhku. Aku memutuskan untuk keluar kamar, rumahku telah kembali seperti
semula. Namun rumah tetap saja sepi, seperti rumah yang tidak
berpenghuni. Aku mencari sesuatu yang bisa dimakan, tapi tidak ada makanan yang kutemukan.
Aku
memutuskan membuat mie instan dengan irisan cabe dan kubis, tidak lupa telur dadar kubis sebagi
topingnya. Seketika aku teringat, “lihat Langit, ini mie dan telur yang selalu kamu masak untuk kumakan. Yang akan selalu menyogokku untuk rela makan, meski dalam keadaan paling tidak
mau”.
“Dek kamu sedang apa?”
“Emm.. Makan bun, hehe” jawabku dengan sendok penuh makanan.
“Ohh, ya sudah teruskan”
Sebelum Bunda beranjak, aku segera berkata “Bun, minggu depan adek sudah harus
pindah ke Bandung”
“Apa?” Bunda terkejut mendengarkan
perkataanku
“Iya bun.. semua sudah adek
persiapkan”
“Tapi dek…..”
Sebelum Bunda meneruskan perkataannya, segera kupotong dengan kalimatku, “Ini bukan permintaan izin bun. Bunda
pun tahu ini sudah menjadi keputusan final bagi adek”.
Bunda hanya diam lalu melanjutkan
langkahnya.
seketika ia berbalik dan berkata, “Iya
dek hati-hati,
doa bunda bersamamu”.
“Makasih, bun”.
Selama ini
rumah bukan tempat untuk pulang bagiku. Rumah hanya tempat singgah untuk
kembali pergi. Hubunganku dengan Ayah dan Bunda hanya sebuah hubungan sebatas ikatan darah, terhitung sejak bulan Maret 10 tahun yang lalu. Aku semakin
tidak mengenal mereka.
Mereka hidup seatap namun seperti
sepasang singa yang berebut kekuasaan. Saling bertengkar dengan egonya masing-masing.
“Nimas……” Sebuah suara datang dari
kejauhan lalu perlahan mendekat
“Kenapa kamu di sini?”
“Aku temanmu, tentu aku tahu kamu akan ke mana. Lagi pula ini bulan Maret,
dan di bulan ini kamu akan menghabiskan
waktu di pantai” jawabnya tersenyum.
“Baiklah” jawabku pasrah.
Dia memang benar, selain hujan, pantai adalah tempatku untuk pergi.
Pantai juga tempat Langit dan aku menghabiskan menit-menit kehidupan. Bahkan di sana pula kami pernah saling
mengukir janji untuk saling menjaga. Ah… kenapa di saat seperti ini justru Langit masih
saja mengusai pikiranku. Kenapa Langit? Kenapa kamu meninggalkanku saat aku mulai percaya pada kehidupan ini???
Lamunanku buyar
setelah suara itu memanggilku.
“Nimas, kamu jadi pergi ke Bandung?”
“Jadi”.
“Yaahhh… aku sendiri dong” jawabnya
cemberut.
“Biasanya juga sendiri” ejekku.
“Tapi kan selam ini ada kamu”.
“Makanya cari pacar”.
“Ogah, semua cowok sama saja”.
“Sok tahu”.
“Tahuu, contohnya… ”
Sebelum ia meneruskan omongannya, kupotong kalimatnya, “Siapa? Langit? Atau Ayahku?”
Ia lantas gugup
dan terbata-bata menjawab cecaran pertanyaan sekaligus tebakanku barusan.
“Buu buukan Nimas, itu artis AP dan RA, maksudku atau artis J asal amerika
itu”
Aku hanya diam tidak menjawab
“Maaf Nimas jika itu membuatmu teringat
kembali. Nanti aku belikan es krim deh, aku janji, asal kamu tidak marah, please”
tangannya memegang
tanganku sambil
memohon.
Aku berlagak marah, tetapi kemudian aku berkata “asal
dibelikan 2”.
“Oke siapp. Kamu minta 100 pun akan
aku belikan”.
“Ogah, nanti aku bisa-bisa mendadak diabetes”
“Maka dari itu, aku rela memberikannya, karena kamu pasti akan menjawab
tidak mau,
wkwk”.
“Ihh dasar”, sahutku.
“Eh Nimas, kamu sudah benar-benar yakin ingin pergi?
Aku mengukir senyum tipis di wajahku, lalu kuanggukan perlahan kepalaku.
"Baiklah, semoga kamu menemukan
apa yang kamu cari selama ini”.
“Aamiin”
Lalu awan
yang sedari tadi mengintip
pembicaraan kami, akhirnya
ikut turun dalam butir-butir hujan yang begitu lembut, setelah berminggu-minggu sebelumnya turun dengan deras. Kelembutannya seakan menjadi tanda,
yang memberi salam perpisahan padaku. Aku
menengadah untuk menyambutnya.
Mungkin ini
saatnya untuk ku menjemput hal baru. Bandung, kota yang akan membuatku
meninggalkan masa laluku.
Meninggalkan Bunda,
Ayah, rumah, dan Langit. Seperti kamu
yang mengkhianatiku Langit, hari ini akupun akan mengikuti jejakmu untuk melakukannya
pada diriku sendiri bahkan pada bunda.