Hari Ini Aku Bebas
![]() |
Sumber Foto: cuadernoderetazos.files.wordpress.com |
Penulis: Panga E. Wahyudi
Pagi ini tepat pukul 9.30 aku meninggalkan penjara
setelah tiga puluh tahun mendekam. Tiga puluh tahun bukan sebuah angka yang
kecil, kau tidak bisa membayangkan bagaimana hawa nafsumu tertahan dan kau
hanya butuh sepi untuk masturbasi. Setidaknya aku telah hampir tak punya nafsu
birahi lagi. Dingin sel penjara barangkali telah membunuh penisku, atau karena
kesepian tak lagi menggairahkan. Yang aku pikirkan hanyalah penyesalan.
Untung saja selama di penjara aku banyak dikirimi
buku oleh keponakanku, jadi tidak terlalu bosan. Setiap bulan pada lima tahun
kedua dia mengirim 3-4 buku. Aku hanya dapat membacanya ketika malam hari. Karena
dari pagi hingga sore kami (para narapidana), dipaksa untuk berkebun yang
hingga sekarang aku tak tahu ke mana hasil perkebunan itu pergi, selain kami
yang hanya makan nasi, ikan teri, dan kacang panjang.
Di dalam letih dan kantuk, aku memaksakan diri untuk
membaca 3-4 buku selama sepuluh hari. Jika tidak, sipir penjara akan
mengambilnya. Dan karena itu pula, banyak buku yang tak selesai kubaca.
Persoalan ke mana buku itu dibawa sipir, aku tak tahu. Banyak kesenjangan
antara sipir dan narapadina, tidak mengherankan jika ada banyak hal yang tak
kami ketahui. Tapi sesekali mereka bisa disuap untuk memasukkan barang ilegal
ke dalam penjara ini.
Pagi ini sangat cerah. Langit bergaris awan-awan
putih sangat indah dan angin pun membelai mesra. Dengan senyuman lebar aku
berpamitan kepada orang-orang di penjara termasuk para sipir yang wajahnya
terlihat seperti tak rela kutinggalkan. Mereka sudah sangat mengenalku karena
setengah hidupku ada di dalam penjara ini.
Ketika melangkahkan kaki keluar dari penjara, aku
menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Bebas bukan lagi
khayalan. Aku tak akan lagi memikirkan penyesalan yang benar-benar tak bisa
kuperbaiki, batinku.
Tepat di depan gerbang penjara, terlihat keponakanku
berdiri di samping mobil mewah. Awalnya aku hampir tak mengenalinya dan tak
sempat juga membayangkan wajahnya yang ternyata telah dipenuhi dengan bulu
serta tubuhnya terlihat tinggi dan bersih. Yang aku ingat hanya senyumannya
yang tak berubah sama sekali. Senyuman itu benar-benar khas hanya miliknya
sendiri. Terakhir kali aku bertemu dengannya ketika dia remaja, setelah itu aku
tak bertemu lagi dengannya. Katanya, ibunya tidak memberikan izin untuk
menjengukku.
Keponakanku itu hanya dapat mengirim surat yang
diselipkannya di dalam buku. Terakhir kali dia mengirimiku surat ketika dia
telah menyelesaikan kuliah. Dia akan menjadi seorang hakim atau yang berbau pengadilan
lainnya, alasannya karena hukum di negeri ini tidak adil, katanya di dalam
surat. Kira-kira itu sepuluh tahun yang lalu dan sejak saat itu pula dia tidak
lagi mengirim buku hingga aku bebas sekarang.
Aku masuk ke dalam mobil mewahnya. Hanya ada kami
berdua dan aku tak banyak berbicara. Pemandangan selama di perjalanan sangat
menjinakkan mata. Aku memintanya untuk membuka kaca jendela lalu angin merambat
masuk.
“Huuu... angin kebebasan,” teriakku.
Dia melirikku. Sepertinya ia memaklumi meski umurku
60 tahun.
“Kita akan pergi ke mana?” kataku.
“Ke rumahku,” dia menoleh dan tersenyum.
“Ke rumah kakakku itu?”
“Tidak, tidak, aku sudah tidak tinggal di rumah
orang tuaku lagi,” pandangannya lurus ke jalananan.
Aku tersenyum, “Kelihatannya kau telah sukses.
Seberapa jauh rumahmu?”
“Satu hari satu semalam, karena kita harus
menyeberangi lautan dan malam ini kita akan menginap di hotel dekat dermaga.”
Katanya, kami harus menunggu siang agar mendapat
tumpangan dari kapal. Cukup aneh, kapal tidak mau berlayar pada malam hari.
Sementara di dalam mobil yang melaju kencang ini aku membayangkan laut yang
tenang, udara yang segar, dan berbagai kebebasan yang dapat kuhirup.
***
Matahari telah terbenam, kami sampai di sebuah hotel
yang terlihat mewah. Di dalamnya terdapat sebuah bar. Aku pergi untuk mencari
beberapa botol minuman, lalu aku diam-diam membawanya keluar. Aku memilih untuk
berjalan-jalan.
Terlihat lampu berwarna jingga berjejer di sepanjang
dermaga. Aku berjalan hingga ke ujungnya. Jauh di seberang sana terlihat
gemerlap lampu warna-warni. Pikirku itu adalah kota yang sangat besar. Aku
duduk di kursi yang biasa tempat juru tali kapal menunggu kapal-kapal yang akan
berlabuh, atau bisa jadi kursi ini khusus dibuat untuk anak muda pacaran sambil
menikmati senja.
Tak disangka dan tak diharapkan malam ini bulan
purnama. Di
dermaga ini aku duduk diam menikmati segala kebebasan seperti
para petapa yang tak menghiraukan suara makhluk hidup lainnya. Ditemani hama di atas botol anggur, suara
ombak yang lirih, angin yang merangsang, percikan air yang tenteram, dan
hangat bau kotoran burung camar menyelimuti jiwaku. Aku
memikirkan beberapa hal. Tapi bukan tentang Nietzsche yang membunuh Tuhan,
bukan juga tentang kucing Murakami yang memakan manusia, dan bukan juga tentang
wabah penyakit sampar yang diceritakan Camus.
Sebagian besar pikiranku masih tentang penyesalan
(kejadian masa lalu yang membuatku terasing di penjara). Rasa penyesalan itu
bermetamorfosa menjadi beberapa pertanyaan. Di sisa-sisa umurku ini apakah aku
masih berguna bagi makhluk hidup lainnya? Aku terlalu banyak berucap tapi aku
tak punya do'a. Aku punya beribu kata-kata indah tapi aku tak punya tujuan.
Jika besok aku mati, adakah yang menangisiku? Apakah setelah mati kita tidak lagi berguna untuk dunia? Apakah kuburanku akan didatangi banyak orang? Ah, sudahlah biarkan aku tak
dikubur saja dan biarkan para gagak memakan bangkai busukku, jika itu
menjadikanku masih berguna.
Aku terlampau memikirkan hal-hal konyol. Barangkali
aku telah terlalu mabuk. Untuk menambah esensi kebebasanku dan anggur yang
bisu, aku menyanyikan lagu dari God Bless
yang berjudul Trauma.
Sepinya
hidup dalam penjara
Tak
juga hilangkan
Rasa
sesal dan rasa bersalah
Bayang
wajahmu
Datang
menggoda
Jeritmu
di telinga
Darahmu
di napasku
Api di
tubuhmu t’lah menyengat hariku...
***
Suasana ramai, orang-orang sibuk memainkan perannya
di dermaga pada matahari pagi yang tak begitu menyengat. Namun, seluruh tubuhku
terasa panas. Aku membuka mata, terlihat dan terdengar beberapa langkah kaki. Aku
bangkit dan bertanya kepada seseorang, “Sekarang pukul berapa?” dan dia
menjawab pukul 7 pagi. Dermaga ini sudah tidak lagi tenteram dan malah seperti
pasar yang riuh dengan suara manusia.
Aku berjalan menuju satu-satunya hotel yang berada
di dekat dermaga. Beberapa mata yang kulewati terlihat menatap dengan sangat
dalam. Tapi aku tak peduli, aku terus melangkahkan kakiku. Setibanya di depan
hotel, aku mengingat-ingat kamar yang kami pesan tadi malam. Sialnya aku tak
ingat. Tak ada cara lagi selain bertanya kepada resepsionis dengan menyebutkan
namaku atau nama keponakanku. Katanya, yang memesan kamar atas nama kami tidak
ada di dalam daftar.
Pikirku, apakah keponakanku tidak memakai namanya
atau namaku? Atau apakah dia telah mengganti namanya? Kemudian aku memberikan
ciri-ciri fisiknya kepada resepsionis itu, berharap ia melihat keponakanku pagi
ini. Jawabannya tetap sama: tidak ada.
Di tengah kebimbangan aku pergi ke toilet umum untuk
mencuci muka. Terdapat cermin yang besar di dalamnya. Seketika aku terperanjat
melihat wajahku yang seperti pada tiga puluh tahun yang lalu. Siapa di dalam
cermin ini? Terlihat begitu muda? Aku meraba dan sesekali menampar wajahku
sendiri. Benar, di dalam cermin ini adalah wajahku ketika berumur 30 tahun.
Ada seseorang berjalan di belakangku, aku menoleh.
“Maaf, ini tanggal berapa?” kataku.
“Tanggal empat belas,” dia terburu-buru.
“Eee.. bulan? Tahun?”
“Februari, 1990.”
Orang itu berlalu keluar dari
toilet tanpa memberikan senyum. Terlihat orang lainnya yang keluar-masuk ke
dalam toilet juga tergesa-gesa. Pikirku, mungkin mereka sibuk dengan pekerjaan
atau mereka sengaja menghindari bertatap muka dan berbicara dengan orang lain.
Lama aku memandangi wajahku di
dalam cermin, tiba-tiba ada ingatan yang menyelip masuk. Hari ini adalah hari
aku membunuh seorang laki-laki paruh baya tepat pukul 5.30 sore di rumahnya.
Aku keluar dari hotel untuk melihat sekitarnya. Aku
sama sekali tak tahu sedang berada di mana. Ini tempat asing. Orang-orang berpakaian
sangat kumal, sedang aku berpakaian rapi memakai kemeja, celana cinos panjang
dengan ikat pinggang yang mengkilat seperti siap untuk pergi berkerja di sebuah
kantor. Dan terlihat pula banyak tentara berlalu lalang. Aku bertanya ke salah
satu tentara yang menenteng senjata untuk menanyakan sebuah kota. Katanya, aku
harus menyeberangi lautan dan itu memakan waktu selama enam jam.
Sekarang masih pagi, aku bergegas untuk memesan
tiket kapal. Sialan, jantungku berdegup kencang.
Aku berhasil mendapatkan sebuah kapal yang bisa
membawaku ke seberang. Kapal ini berangkat pukul 9.30. Penumpangnya sedikit
meskipun kapal ini murah, mungkin karena orang-orang tidak berani menaiki kapal
yang kecil. Aku duduk di dalam kapal menunggu keberangkatan.
Terlihat dermaga tempat di mana aku terbangun sangat
kotor, tidak seperti tadi malam. Seingatku, kemarin aku baru saja keluar dari
penjara lalu pergi minum di dermaga itu. Kemudian hari ini aku hidup di masa
lalu. Apakah ini nyata? Aku sangat berharap ini nyata tapi di satu sisi ini
sangat sulit dipercaya.
Kebingungan itu pun bercampur penyesalan. Selama
berada di penjara aku sangat menyesali perbuatanku. Aku selalu berharap kembali
ke masa lalu untuk tidak melakukan apa yang aku sesali. Penyesalan yang sangat
besar itu hampir melumpuhkan otakku. Hampir saja aku mati karenanya.
Namun, pikirku, bukankah kita semua pemerkosa waktu? Berharap hari ini melakukan hal baik untuk masa depan yang cerah, atau
berharap kembali ke masa lalu agar hari ini berjalan lebih mudah, atau bolehkah
kita menyia-nyiakan hari ini untuk tidak menjadi apa-apa? Bisakah kita mengatakan
bahwa kita semua berpotensi untuk curang?
Hari ini aku merasa sangat curang. Tapi aku telah
terbangun di masa lalu. Tak ada yang perlu diragukan, pikirku. Ini adalah
kesempatan untuk merubahnya, aku tak akan membunuh laki-laki paruh baya itu.
Aku terombang-ambing di tengah laut. Kapal sialan
ini bukan hanya kecil tapi mudah sekali dihempaskan air laut. Matahari mulai
membumbung tinggi dan angin laut menerpa bersama teriknya. Lama aku duduk
terpatung di sisi kanan kapal dengan kaki yang menghempas lantai dan jari-jari
yang menyimpul erat.
Terlihat di depanku seorang kakek tua yang duduk
bersama rokok di bibirnya. Aku menghampirinya untuk meminta sebatang rokok.
“Ini ambil saja,” dia menyodorkan bungkus rokok.
Aku mengambil satu batang dan mulai menyulutnya,
meski agak susah karena angin sangat kencang.
“Terima kasih, Pak Tua,” kataku. “Anda hendak pergi
ke mana dan dari mana?”
“Dari seberang sana ke seberang sana,” dia menunjuk
ke belakang dan ke depan.
Aku sedikit tertawa dan mengisap rokok yang asapnya
hampir tidak kelihatan karena diterpa angin, “Saya tahu itu, kan kita satu
kapal. Maksud saya, Anda sedang berkerja atau tujuan Anda ke mana?”
“Mengenai tujuan, saya tidak punya tujuan lagi,”
katanya. “Sudah sepuluh tahun saya bolak-balik menaiki kapal ini. Satu bulan
berada di seberang sana dan satu bulan selanjutnya di seberang sana.” Dia
menunjuk-nunjuk lagi.
“Kenapa Anda melakukan itu?”
“Saya sudah terlalu tua dan ada penyesalan yang
ingin sekali saya hilangkan, tapi tak bisa meski telah saya coba mencegahnya.”
“Mencegahnya?” aku mengeluarkan asap rokok lagi.
“Sudahlah, kau tidak akan percaya dengan ceritaku,
sama seperti yang lainnya yang mengira bahwa aku orang gila setelah aku
menceritakan kisahku.”
Dia beranjak pergi, terlihat sedih, marah, dan geram
yang berbaur dengan langkah kakinya yang gemetar. Aku biarkan dia pergi karena
aku tak bisa memaksanya untuk bercerita lebih lanjut dan pikirku semua kejadian
tak lebih aneh dari apa yang aku alami sekarang. Aku tak ambil pusing perkara
kakek tua yang mudah sekali tersinggung itu.
Rokok habis sangat cepat karena diterpa angin,
secepat obrolanku bersama kakek tua itu. Aku masih memaksa diriku untuk percaya
tentang kejadian yang kualami. Lagi-lagi kebingungan itu bercampur dengan
memikirkan tidak melakukan pembunuhan yang membuatku menyesalinya selama ini.
Tak terasa perjalanan di laut ini hampir selesai. Enam
jam berlalu begitu saja di dalam kebingungan. Matahari mulai condong ke arah
barat dan kapal sudah mendekati daratan. Di sana terdengar suara yang bergemuruh. Benar-benar kota yang sangat besar. Suara kendaraan tak hentinya
bersautan. Aku berjalan ke ujung depan kapal, menyaksikan kota yang tak asing
ini, gedung-gedung besar dan tinggi, banyak menara yang tertancap, juga polusi
menampar pernapasanku. Kota yang sangat familiar, kota ini adalah kotaku, aku
lahir dan besar di kota ini.
Kapal kecil ini berlabuh di dermaga. Aku turun dari
kapal bergegas menuju rumah korbanku dengan berjalan kaki. Terasa sulit untuk
menyeberangi jalan yang terlalu banyak kendaraan lewat. Di tengah perjalanan
aku melihat jam dinding besar yang melekat di dinding sebuah gedung. Jam itu
menunjukkan pukul 5 sore, yang artinya tersisa 30 menit lagi sebelum kejadian
pembunuhan.
Di antara langkah kakiku dan di dalam hatiku, aku
memaki para petugas kapal yang terlalu lama mengurus kapal berlabuh. Tak ada
cara lain, selain berlari sekuat tenaga mengejar waktu.
Tibalah aku di depan rumah berwarna jingga, terlihat
sangat mewah lengkap dengan pagar dan halaman yang sangat terawat. Aku menyelinap
masuk, melompati pagar lalu mengendap-ngendap di depan rumah. Pintu rumah
terbuka lebar. Terlihat sangat sepi, namun ketika aku masuk tiba-tiba terdengar
teriakan dari lantai dua.
Di dekat tangga aku melihat jam, tersisa lima menit
lagi. Aku bergegas menaiki tangga. Terlihat pertengkaran antara sepasang suami
istri. Mereka saling memaki, sedang aku diam mengintip dan mendengarkan di balik
dinding. Aku sangat mengenali orang itu, si istri adalah kakak kandungku.
Pertengkaran suami-istri itu semakin memanas. Si
suami menenteng sebuah pisau dan bersiap menikam istrinya yang terhentak di
dinding. Aku tak melihat orang lain di dalam ruangan ini. Setelah melihat
kondisi tersebut, tanpa sadar aku berlari menghampiri mereka.
Ketika si suami akan menikam, aku merebut pisau yang
ada di tangannya lalu aku tikamkan ke dirinya sebanyak belasan kali. Darahnya
bercucuran di atas lantai. Di sisi lain, istrinya yang merupakan kakak
kandungku itu jatuh pingsan.
Tanganku bergetar melepaskan pisau tersebut. Aku
terpatung beberapa saat sembari menatap wajah kakakku. Suaminya? dapat
kupastikan sudah tak bernapas.
Pakaianku penuh dengan bercak darah. Aku turun dari
lantai dua. Ketika aku menuruni tangga, di bawah terlihat seorang remaja
berdiri menatapku dengan senyuman yang khas. Aku melanjutkan langkah kakiku dan
berpapasan dengannya.
Remaja itu memperhatikan pakaianku lalu mengatakan,
“terima kasih, Om.”
Aku tak menggubrisnya sama sekali.
Aku berlari keluar dari rumah. Seketika melangkahkan
kaki keluar rumah, aku teringat sesuatu. Remaja tersebut adalah keponakanku
yang menjemputku dari penjara. Dan aku tersadar kenapa aku harus membunuh
ayahnya lagi. Harusnya aku dapat merubah penyesalanku. Aku akan dipenjara lagi?
Dengan pikiran yang kacau, aku tersandung pada sebuah akar pohon yang membelah
trotoar jalan. Setelah itu aku tak sadarkan diri.
***
Aku terperanjat lalu mengelus mataku. Badanku
dipenuhi keringat. Terlihat banyak pohon yang melewatiku. O, bukan, akulah yang
melewati pohon itu dengan kecepatan sebuah mobil. Di sampingku terlihat wajah
yang sangat tak asing, dia memegang stir mobil dengan tenang.
“Kita berada di mana?” kataku.
Dia menoleh, “Saya tidak tahu persis nama daerahnya,
tapi sebentar lagi kita akan sampai di hotel dekat dermaga.”
Yogyakarta,
akhir Januari 2020
![]() |
Lahir tahun 1998 sebagai anak Borneo. Suka membaca
dan menulis.
Bisa ditemui di Instagram: rumput.gersang
|