Buruh telah Mati
Friday, May 1, 2020
Edit
![]() |
Sumber Foto: cuadernoderetazos.wordpress.com |
Penulis: Urek Mazino*
Bertepatan
dengan Hari Buruh sedunia, kita bisa menyaksikan betapa sepi-sunyinya
perhelatan perayaan untuk memeperingatinya. Tidak ada demo di jalan, tidak ada
unjuk rasa di depan perusahaan, pun tidak ada tuntutan agar gaji dinaikkan.
Semuanya berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tidak banyak yang bisa
diperbuat, kecuali hanya sekadar memasang sebuah ucapan. Ya, “Selamat Hari
Buruh”. Sudah cukup itu saja, tidak lebih dan tidak kurang.
Ah ayolah,
kenapa hidup sebosan ini? Bukankah kita memang harus merayakan dari tidak merayakannya Hari Buruh di tahun ini? Toh untuk apa juga diperingati dan
dirayakan secara serius? Bukankah tidak bakal banyak yang berubah? Untuk apa
juga memfokuskan satu hari dan menghabiskan energi yang lebih, ketika kita
sebenarnya bisa bersantai? Bukankah lebih baik kita ibadah saja sekarang ini?
Sudah waktunya ibadah, bukan?
Ya, tentu saja
bersantai adalah pilihan yang tepat hari ini. Selain sembari merenungi hiudp
yang serba monoton ini, alangkah baiknya kita berterima kasih. Terima kasih
kepada virus yang memuakkan ini. Yang akhirnya membuat kita kalang-kabut bukan?
Dan selanjutnya tak ayal, membuat para majikan berpikir ulang jika ingin
menyediakan lapangan pekerjaan. Karena masih jauh akan berbicara kenaikan upah,
ketika kondisi perekonomian kita kalang kabut. Lantas, siapa yang bisa
disalahkan? Jawabannya, adalah kematian!
Sebenarnya juga
tidak sepenuhnya salah kematian. Kita juga turut salah dalam hal ini. Karena
tidak pernah berupaya untuk menjemput kematian. Kematian yang sudah jelas dari
waktu sebelumnya, bahkan sebelum virus ini menyerang. Hanya saja, kita terus
membangun sebuah ilusi, bahwa buruh akan punya kemapanan, kesejahteraan, dan
ketenteraman hidup yang layak. Wah, seyakin itukah? Seberapa besar rasa yakin
itu kira-kira akan bertahan?
Dalam lingkaran
kapitalisme dan jaring-jaringnya seperti sekarang, nyawa buruh sudah jelas
berada dalam gengagamannya. Jangakan untuk menumbangkan kapitalisme dengan
meminjam kekuatan yang dimiliki oleh buruh, untuk membanntu buruh menaiikkan
taraf hidupnya satu garis lebih baik saja, kita sangat kesulitan. Betul tidak,
wahai suluh pergerakan yang seharusnya mengarahkan buruh ke jalannya? Kenapa
kalian masih memilih untuk terus membual? Melontarkan janji harapan yang palsu.
Yang bahkan kalian sendiri sebenarnya tidak utuh membayngakan hal itu?
Mari, kita
katakan selamat tinggal kepada barisan perlawanan. Barisan perjuangan. Dan
barisan para buruh yang riwayatnya tidak lama lagi. Yang perannya akan segera
tergantikan oleh mesin buatan, yang diisi oleh kecerdasan buatan. Mari, belum
terlambat untuk kita menghiburnya. Belum terlambat untuk kita meninggalkan
serta menggoreskan kenangan akhir yang indah, setidaknya sebelum perpisahan ini
terjadi. Mari, tidak ada salahnya mencoba, mencoba ikhlas kepada takdir, kepada
nasib, dan kepada kematian.
Ayo kita
membayangkan apa yang akan terjadi ke depan? Sengsarakah kita tanpa buruh?
Kesusahankah para majikan tanpa buruh? Dan akan hancurkah sebuah hirarki
kekuasaan jika buruh kita bunuh? Jika kita hilangkan sama sekali peran buruh?
Serta kita hapus ingatan tentangnya? Mungkinkah?
Tidak perlu
langsung dijawab. Setidaknya masih ada waktu sampai tahun depan. Toh walaupun
virus ini berakhir, nasib buruh juga belum tentu membaik bukan? Karena kondisi
setelah krisis, untuk ukuran Indonesia, akan selalu mengamankan keselamatan
pribadi terlebih dahulu. Mementingkan kebaikan pribadi ke depannya, tanpa
pernah ingin tahu nasib di sekitarnya. Sampai sini sudah paham kira-kira? Kalau
belum paham, mari kita masuk lebih ke dalam.
Bukankah sudah
jelas? Keberadaan buruh karena adanya majikan? Dan eksistensi buruh, sepenuhnya
ditentukan oleh eksistensi majikannya? Kalau kita lantas melawan takdir itu,
bukankah akan menentang hukum alam? Hukum yang sudah dibuat semenjak buruh
pertama kali ada. Siapa yang bisa menduga, kalau hal itu tidak menjadi bencana
nantinya? Kekacauan yang akan lahir lalu ditutup dengan sebuah kenormalan. Pembunuhan
yang akan timbul atas dalih mengikuti aturan. Begitu menyenangkan untuk
dibayangkan.
Jadi, apa yang kita
tunggu sebenarnya? Adakah sebuah harapan
yang pada akhirnya melahirkan cahaya tumpuan? Sampai hari itu tiba, apa yang
kita-kira mesti kita perbuat? Duduk diam atau bangkit perlahan? Atau kita akan
lebih memilih meninggalkan kematian? Ayo kita segera berkumpul, dan segera kita
bahas, apakah kita layak merayakan setiap tahunnya “perang yang tidak akan kita
menangkan?”
*Buruh digital
yang sedang mencari cahaya tumpuan