Bagi Siapa pun, Quarter Life Crisis Itu Menyebalkan, Butuh Proses untuk Bisa Menerima hingga Mengakhirinya
Sunday, May 10, 2020
Edit
![]() |
Sumber Foto: cuadernoderetazos.wordpress.com |
Penulis:
Septia Annur Rizkia
“Tidak semua yang mengembara itu
tersesat,” J.RR. Tolkien.
Ya,
bagi sebagian orang, hidup dalam kebingungan maupun kecemasan adalah hal yang
menyebalkan, dan sangat-sangat menyebalkan. Sama halnya ketika memasuki usia 20-an yang penuh dengan ketidakpastian hidup.
Beberapa
sumber yang pernah saya baca menyebutkan, setiap orang pasti akan, sedang,
maupun pernah melewati fase-fase Quarter
life Crisis dalam hidupnya. Quarter
Life Crisis atau yang biasa disebut sebagai krisis seperempat hidup, yaitu
kondisi di mana seseorang
merasa gagal akan hidupnya, hilangnya motivasi, bahkan menarik diri dari
pergaulan, yang umumnya terjadi di usia 20-30 tahun.
Perasaan
cemas, bingung, bimbang, marah, kecewa, merasa sendiri, merasa terkucilkan, hingga merasa terabaikan, sering kali
muncul di saat kita sedang
mengalami fese QLC.
Oh my love,
gini aja deh, saya pribadi pernah mengalami fase tersebut. Fase di mana hidup serasa tak hidup, dan pastinya tak
semua orang sadar jika ia sedang mengalami QLC.
Namun tak jarang pula yang menyalahkan kondisi QLC,
yang
justru membuat hidup semakin krisis.
Pernah
suatu ketika seorang teman mengirim chat di WhatsApp
yang berbunyi, “Emang ya, usia 20 ke atas
itu masa-masa di mana
kita
akan mengalami patah hati yang sesungguhnya.” Karena saya merasakan hal serupa,
dengan sigap saya pun mengiyakan message
yang ia kirim tersebut.
Kalau
diingat-ingat kembali, saya pernah benar-benar merasakan krisis di usia 21-22.
Ya, itu tahun-tahun yang penuh dengan problem buat saya pribadi. Merasakan jatuh cinta hingga
patah hati,
yang membuat hati remhook berkeping-keping
karena merasa dikhianati. Cihuyy aselole. Kalau sekarang? Ya sudah masuk museum semua, kenangan
beserta sosoknya, wehehehe.
Baiq,
QLC memang masa-masa yang mengantarkan
kita dari satu fase ke fase selanjutnya. Sederhananya, hati serta pikiran kita sedang ditempa, agar menjadi pribadi yang lebih bijak dan
dewasa dalam menghadapi persoalan hidup, tjuy!
Bisa dikatakan lolos jika mampu menjadi pribadi yang lebih baik dari
sebelumnya, dan remidi jika yang terjadi adalah sebaliknya, Mashoook ra?
Dulu,
saya pun sempat putus asa, tidak punya tujuan hidup, dan bingung dengan kemauan diri sendiri.
Justru, dari pengalaman patah hati yang membuat hati remhokk, menjadikan saya lebih mengenal diri sendiri, mengenali
bakat serta potensi yang sebenarnya sudah lama ada, namun tidak pernah disadari sebelumnya.
Misal
nih ya, buat story di sosial media yang bisa menghibur
para audiens yang lagi patah hati
akibat ditinggal pas sayang-sayangnya. Terhitung pahala gak kira-kira? Memang, sekilas tampak
sepele, namun tak dinyana,
hal seperti itu merupakan bakat yang tak semua orang bisa lho! Serius.
Oh
ya, beberapa pakar di bidang Psikologi juga mengatakan, Quarter Life Crisis adalah fase di mana
kita bingung bahkan mencemasakan soal
tujuan
hidup, pekerjaan,
hingga urusan cinta atau asmara. Jomlo merana, entah karena butuh tambatan hati
atau lelah dibully sana sini, punya pacar tapi toxic, ada juga kan yang seperti itu?
Saya
tekankan, QLC tidak hanya menimpa
mereka yang jomlo atau mereka yang pernah patah hati saja ya! Lebih dari itu, QLC
bisa menimpa siapa pun,
tak mengenal ras, kasta, agama, budaya, suku, jenis kelamin, dan sebagainya.
Selama ia manusia, kemungkinan
besar akan mengalami fase serupa.
Ada
fakta menarik lagi nih, patah hati itu
rupanya tidak melulu disebabkan putus cinta lho gaes. Tapi bisa juga karena putus harapan.
Contoh, kehilangan pekerjaan di tengah pandemi seperti saat ini.
QLC pun
bisa disebabkan karena faktor internal maupun eksternal. Faktor intenal yang
berasal dari dalam diri seperti gejolak batin. Namun, tak jarang pula hal tersebut
disebabkan oleh faktor eksternal. Misal,
kondisi lingkungann, tuntutan sosial, keluarga, dan lain-lain.
Apalagi, menjadi perempuan di usia yang hampir seperempat
abad tahun ini, dituntut menjadi tangguh dan siap siaga, untuk menghadapi
segala macam pertanyaan yang akan muncul. Yang sudah seperti teka-teki silang,
dan akhirnya menjadi tantangan tersendiri.
“Kapan nikah?, sekolah mulu, seseorang
tuh belum bisa dikatakan dewasa kalau belum berumah tangga, apa sih yang mau
kamu kejar? Kalau sudah ada laki-laki yang datang dan berniat serius ya
diterima aja. Jadi
perempuan itu nggak usah milih-milih, nanti malah nggak laku, jadi perawan tua
baru tau rasa.”
Waduh,
hati siapa yang nggak terisis-iris tcuy?
Telinga pun sampai basah berlinang air mata. Hei ketahuilah, orang-orang yang masih suka ngompor-ngomporin
untuk segera menikah itu,
nggak
bakalan mau ikut nanggung biaya
pernikahan sampai kehidupan pasca itu. Lha terus, kenapa mesti didengerin? Hilih, bacot!
Oh
ya, tidak menutup kemungkinan, saya pun bisa mengalami lagi fase tersebut, yang
jika dipikir berlebihan justru bikin krisis beneran hingga hilang kendali.
Sebaiknya Bagaimana Menyikapi Kondisi Tersebut?
Menerima
segala perasaan yang muncul adalah koenjti.
Akui perasaan itu, dan sebisa mungkin belajar mengelola emosi dengan semestinya.
Pastinya, jangan sampai berlarut dalam kondisi tersebut, dan membuat kita tidak melakukan apa-apa., sehingga malah
memperburuk keadaan.
Selain
itu, tak usah membanding-bandingkan pencapaian orang lain yang terlihat lebih
gemilang dibanding dengan diri sendiri. Sebab situasi dan kondisi setiap orang
pastilah berbeda,
dan memang
tidak akan pernah sama. Memang
bener,
kadangkala rumput tetangga lebih hijau
daripada rumput sendiri, padahal kita sendiri tidak tahu-menahu jerih payah
serta luka seseorang yang kadang tak ingin orang lain tahu.
Mengontrol
ekspektasi juga perlu, agar tak berlarut dalam kesedihan serta tak mudah
menyalahkan diri sendiri, yang bisa membuat diri semakin amburadul. Dan tak
kalah penting, jadilah dirimu sendiri serta kenali dirimu dengan sebak mungkin.
Data
WHO tahun 2018 mengatakan, setidaknya ada 1 orang meninggal di dunia dalam
setiap 40 detik akibat bunuh diri. Sedangkan Quarter Life Crisis, juga termasuk dalam isu kesehatan
mental, yang tidak menutup kemungkinan seseorang yang tak bisa mengontrol
kondisi tersebut, akan
memilih jalan pintas serupa.
Maka,
jangan diremehkan,
memberi dorongan atau support kepada orang sekitar yang memiliki kecenderungan
kehilangan arah serta tujuan hidup itu perlu dan penting lho. Bukan malah menertawai atau
menganggapnya aneh maupun lebay. Akan tetapi lebih ke menguatkan radar
simpati dan empati dengan sesama. Ya karena tugas manusia ya memanusikan
manusia. Bukankah begitu saudara-saudari?