Yang Hilang dan Rembas Perlahan
Penulis: Andika Pratama
Identitas Buku
Judul: Malam Terakhir
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan: Februari 2018
Tebal: xvi+119
Kisah tentang
pertarungan dan daya tahan manusia, sampai kapanpun akan selalu menarik
dibahas, bak tidak akan lekang oleh zaman. Sama halnya dengan upaya-upaya kecil
untuk menghayati takrif hakikat kehidupan. Pertarungan yang terjadi,
mengumpamakan denyut kesibukan dalam sebuah tubuh makhluk hidup itu sendiri.
Pada akhirnya, kita akan selalu mempertanyakan, sebuah alasan yang logis
perlambang dari sebuah kehidupan yang sedang berlangsung.
Yang bertahan,
belum tentu selanjutnya menjadi pemenang. Yang hilang, belum pasti menjadi
seorang pecundang. Oleh karenanya, kita tidak boleh langsung menjustifikasi dan
mendakwa perihal kekalahan. Karena tidak ada yang tahu, kekalahan itu akhirnya
berubah menjadi dendam, ataukah berubah menjadi sebuah pembuktian.
Leila S.
Chudori, saya rasa sudah membuktikan hal itu. Kepulangannya ke dunia sastra,
membawa angin sejuk nan segar kepada para pembaca. Hal ini dibuktikan lewat
karya kumpulan cerita pendeknya yang berjudul Malam Terakhir. Buku ini, membuat
saya pribadi tidak habis pikir. Apakah cerita yang terkandung di dalamnya hanya
bersandar pada khayalan belaka? Ataukah memang ada unsur pengalaman yang melengkapinya?
Dengan kata lain, Leila mencampuradukkan antara khayalan dengan realita yang
ada.
Sulit dipungkiri,
Leila adalah salah seorang dari sedikitnya pengarang di Indonesia, yang berani
menggugat praktik-praktik sosial di sekitarnya. Saya rasa, hal ini juga tidak
terlepas dari pengalamannya selama menjadi wartawan di Tempo. Hingga bisa
disebut, dalam berfiksi pun, sikapnya tetaplah ilmiah. Hal itu yang selanjutnya
mencirikan gaya seorang Leila ketika dalam menulis. Karena baginya, sejarah
tidak selalu berjalan secara gradual. Ada kalanya, sejarah melakukan sebuah
lompatan, yang sama sekali sulit dinalar oleh akal sehat.
Sama halnya
dengan cerpen-cerpen yang terdapat di buku ini. Hampir semua cerpen di sini,
mengandung ruang imajinatif, yang jika tidak jeli, kita akan terperosok pada
jurang kekaguman. Saya pribadi sangat merasakan hal itu.
Lantas saya
berpikir, apakah tujuan Leila hanya membuat para pembaca karyanya berhenti di
taraf kagum saja? Setelah saya pertimbangkan kembali, rasasnya tidaklah mungkin
jika tujuan Leila menulis cerpen-cerpen ini, hanya untuk membuat para
pembacanya terkagum-kagum. Maka selanjutnya saya tiba pada sebuah kesimpulan,
bahwa sebenarnya, tujuan Leila adalah menggugat hati nurani para pembaca agar
lebih peka dalam melihat persoalan yang ada di sekitarnya.
Sembilan cerpen
yang ada di dalam buku ini, ibarat sembilan orang yang bertugas menyadarkan
setiap pembacanya. Kesembilan cerpen ini, dengan caranya masing-masing pula,
bergerak sesuai tugas yang telah diberikan. Ada yang bersifat sedikit memaksa,
ada yang bersikap amat lemah lembut, ada yang merayu-rayu, dan ada pula yang
langsung menyampaikan dengan lugas dan tegas, bahkan bisa terkesa sebagai
sebuah bentuk makian.
Buku ini
diawali oleh cerpen yang berjudul Paris, Juni 1998. Dimulai dengan
sebuah kalimat, “Paris, suatu siang yang menggigit.” Dari kalimat pembuka
tersebut, bisa kita saksikan sebuah upaya padat serta sugestif yang ditujukan kepada
para pembaca. Dengan keleluasaannya tersebut, Leila bisa dianggap punya
keyakinan yang amat tinggi tentang penggunaan bahasa. Kekhawatiran yang
biasanya melekat pada penulis, ketika menggunakan bahasa dan kalimat yang
sekiranya sulit dicerna, dijungkirbalikkan oleh Leila di kalimat pembuka tadi.
Komitmen kuatnya
yang memang ditujukan untuk membongkar sekian permasalahan sosial, menjadi modal
utama untuk melewati aturan-aturan dalam kepenulisan yang sering kali mengekang
itu. Tidak selesai sampai di sana, Leila melanjutkan dengan kata ‘ranggas’ lalu
disandingkan dengan kata ‘pori-pori’, yang secara tidak langsung membuat para
pembaca akan langsung berpikir makna di baliknya. Cerpen ini, adalah gambaran
nyata tentang jiwa seseorang yang gersang. Yang sudah lumayan lama terkungkung
di balik aturan serta norma yang ada.
Selanjutnya cerpen
yang berjudul Adila. Cerpen ini adalah cerpen terpanjang ketimbang
cerpen lainnya. Cerpen ini adalah gambaran tentang pemberontakan seorang
perempuan. Pemberontakan apapun yang sifatnya merugikan perempuan. Entah itu
kepada keluarga, lingkungan, dan sekian hal lainnya. Sampai saya pun tergugah
oleh cerpen ini, dan kalau boleh, saya ingin merekomendasikan cerpen ini kepada
para pejuang kesetaraan perempuan. Dan dari cerpen ini juga, kita akan langsung
tahu keberpihakan seorang Leila S. Chudori.
Ya,
keberpihakannya ditujukan kepada kaum papah dan lemah. Yang ditindas oleh rupa-rupa
upaya yang sengaja dibuat. Hanya agar kaum lemah dan papah ini tidak bisa
bangkit, serta tidak bisa menikmati haknya sebagai seorang manusia. Bukankah tidak
boleh ada paksaan dalam urusan kemanusiaan? Hal inilah yang saya rasa Leila coba
sampaikan kepada kita. Bahwa segala bentuk paksaan, sangat jarang mendatangkan
yang namanya kemaslahatan.
Cerpen lainnya
berjudul Air Suci Sita. Cerpen ini begitu terasa menggugat ketidakadilan
yang dialami oleh para perempuan. Seperti kesucian, status perawan, dan
labeling yang disematkan dan dipaksakan agar perempuan mematuhinya. Dalam cerpen
ini akhirnya kita tersadar, apa yang menjadi pembeda untuk seorang laki-laki? Apakah
hanya kaum Adam yang selanjutnya boleh mendapatkan sebuah kenikmatan dan
kelebihan? Ibarat dua sisi mata uang, cerpen ini berupaya memperbaiki sisi mata
uang lainnya, yaitu perempuan agar berani bersuara sebagaimana seharusnya.
Dalam cerpen
yang berjudul Ilona, gugatan Leila kepada ketidakadilan juga begitu
terasa. Tampak bagaimana seharusnya sebuah keluarga, layak mendahulukan yang
namanya saling pengertian. Ketimbang menggunakan idiom “demi kebaikan bersama.”
Karena bersama di sini belum tentu bisa dirasakan sepenuhnya oleh seluruh
anggota keluarga. Dan lagi, hal ini akan menjadi masalah jika menjadi kebiasaan
yang mendarah daging. Karena bukan tidak mungkin, jika dari lingkup keluarga
saja terjadi sebuah paksaan, maka negara kita juga adalah contoh besarnya
keluarga yang suka memakasa, bukan?
Terakhir, cerpen
yang akan saya ulas berjudul Keats. Cerpen ini, bagi saya adalah cerpen
yang paling garang dalam mengutuk kekeliruan praktik sosial yang terjadi di
kita. Ketabuan, dan ketundukan pada sebuah moralisme yang berlebihan, dihajar
telak oleh cerpen ini. Bagaimana mungkin, sebuah pernikahan akan berujung
bahagia karena pandangan dan penilaian sepihak? Apalagi penilaian tersebut
bukanlah berasal dari orang yang bakal menjalani hubungan pernikahan itu. Sungguh,
tragis dan menyedihkan.
Ya, itulah
sedikit pembacaan yang saya dapat setelah membaca karya Leila ini. Yang pasti,
saya sangat menyarankan buku ini dibaca oleh lebih banyak orang. Selain itu,
saya kira menjadi sebuah keberuntungan, jika para pembaca sudah membaca buku
ini. Karena, akhirnya kita akan menyadari, kehidupan yang sedang kita jalani
ini, sungguh tidak benar baik-baik saja. Dalam artian, akan selalu ada masalah
yang lebih seringnya, kita pribadi tidak menyadari hal itu. Padahal, tidak lain
tidak bukan, kita sendirilah korban dari ketidakadilan tersebut~