Soekarno tidak Menginginkan Nasionalisme?
Penulis: M. R. Rigen*
Identitas Buku
Judul: Islam di Mata Soekarno: Kumpulan Pidato Islam
Bung Karno
Penyunting: Didik Hariyanto, dkk.
Penerbit: GDN
Cetakan: November, 2017
Tebal: 183
Berbicara
tentang nasionalisme,
tentu tidak lepas kaitannya dengan negara. Seperti
arti dari nasionalisme itu sendiri, yakni paham untuk
mencintai bangsa dan negara. Banyak pendapat yang mengemuka terkait nasionalisme,
salah satunya dari tokoh
Sarekat Islam,
Hadji Oemar Said Tjokroaminoto,
atau yang sering kita kenal dengan H.O.S. Tjokroaminoto. Cokro, menyatakan bahwa mencintai bangsa, harus dengan kekuatan agama kita (Islam). Dan kita, dituntut untuk terus berjuang agar bisa mempersatukan semua, setidaknya mayoritas
rakyat kita.
Semangat
nasionalisme, dalam hal ini, mampu
menjadikan setiap warga negara melewati batasan yang dimilikinya. Serta mampu merubah segala sesuatu yang tidak mungkin,
menjadi mungkin. Misalnya seperti kisah singkat dari Siti Soendari, salah
seorang perwakilan putri Indonesia. Yang mampu berpidato dalam bahasa Indonesia
dengan baik, pada kongres perempuan Indonesia 22-25 Desember 1928.
Dikisahkan pada waktu itu, belum banyak orang yang mampu
berbicara menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Akan tetapi,
berkat semangat kebangsaan dan kecintaannya terhadap bangsa Indonesia, ia mampu
melewati tantangan tersebut.
Jika
kita melihat kisah di atas, nasionalisme, ibarat barang berharga yang kita miliki
sebagai orang Indonesia. Lalu, mengapa Soekarno
selaku founding
fathers negara Indonesia, tidak menginginkan nasionalisme? Pertanyaannya, nasionalisme seperti apa
yang tidak diinginkan oleh Soekarno?
Dalam buku, Islam
di Mata
Soekarno, ia pernah berkata, “aku ingat waktu itu aku ada di Bandung. Aku mempropaganda Persatuan Nasional Indonesia. Aku menganjurkan kepada
rakyat, supaya mengisi
dadanya dengan rasa nasionalisme yang berkobar-kobar. Tetapi aku berkata, awas
jangan engkau punyai nasionalisme adalah nasionalisme yang chauvinis, jangan nasionalisme yang sempit. Tetapi hendaklah nasionalisme yang merasa
dirinya satu bagian dari seluruh peri kemanusiaan.”
Dari apa yang disampaikan Soekrano tersebut, dengan
kata lain, Soekarno
juga mengajak kita selaku generasi penerus
bangsa, agar senantiasa mampu berfikir secara jernih. dan melihat makna nasionalisme secara
luas. Agar, implementasi kecintaan pada negara, sesuai dengan nilai-nilai yang telah
menjadi dasar negara Indonesia.
Bukan hanya Soekarno,
yang tidak menginginkan nasionalisme Chauvinistis. Tetapi, agama juga
melarang paham nasionalisme seperti ini. Dalam
hal ini,
agama Islam dengan tegas
melarang.
Karena, Islam merupakan bagian dari nasionalisme
dan nasionalisme bagian dari Islam.
Keterkaitan ini,
yang selanjutnya menjelaskan bahwa Islam,
dalam memandang suatu peristiwa tidak selesai berdasarkan kaidah tekstual. Akan tetapi, ada kaidah-kaidah kontekstual
yang harus diperhatikan. Sehingga, mampu memberi pemahaman secara terperinci
terhadap suatu masalah.
Agama
Islam, dengan segala keistimewaannya seperti yang disebutkan di dalam kitab suci Al-Qur’an, adalah agama yang dirahmati oleh Tuhan.
Keistimewaan agama Islam,
terletak pada watak universalnya. Universalitas
agama Islam, tidak mengharuskan setiap hal apapun harus sama. Secara tidak langsung, hal ini menujukkan
subtansi universal yang terkandung dalam
agama Islam, terletak pada variasinya ketika menyesuaikan dengan situasi dan
kondisi yang ada.
Bagi saya pribadi, watak seperti ini
sejalan dengan rasa nasionalisme yang semestinya harus dimiliki oleh kita, dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, ‘nasionalisme’ menjadi sangat penting dimiliki oleh
setiap kita,
untuk menjaga bangsa Indonesia dari perpecahan. Rasa nasionalisme, bisa kita upgrade dengan cara membaca sejarah, napak tilas perjalanan
kemerdekaan, berziarah ke makam para pejuang bangsa, dan melakukan hal positif lainnya,
yang sekiranya mampu menumbuhkan rasa kecintaaan kita pada bangsa Indonesia.
Menurut hemat penulis, rasa kecintaan kita terhadap
bangsa tidak hanya tentang hal-hal lahiriyah saja. Namun juga bisa kita
implementasikan pada hal-hal yang sifatnya bathiniyah. Misalnya seperti bersikap toleran, saling
menghargai, dan tolong menolong (gotong-royong).
Karena di dalam nasionalisme, terkandung nilai-nilai positif yang bisa
kita jadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya,
keterkaitan nasionalisme dengan agama islam, seperti yang dikatakan oleh Soekarno dalam buku ini, tidak ada
permasalahan antara keduanya. Yang
menjadi masalah ialah, ketika
nasionalisme
lantas kita anti agama atau memuja tanah air secara berlebihan, yang selanjutnya melahirkan ultra nasionalisme. Itu yang kiranya menjadi problematik dalam
implementasi rasa nasionalisme
kita hari ini.
Namun sayangnya, melihat realita yang terjadi, masih sering kita temui
kecelakaan implentasi yang diterapkan oleh sebagian masyarakat. Misalnya,
adanya kelompok-kelompok yang cendrung memahami nasionalisme dan islam secara konservatif, rigid, kaku
dan cendrung senang menyeragamkan segala sesuatu.
Indonesia, bak kain indah dari tanah
Toraja. Keindahannya
terletak pada corak warna-warni yang mengisyaratkan kasih sayang. Dewasa ini, “tenun kebhinekaan bangsa kita” seringkali terancam terkoyak. Banyak
pihak yang menghendaki Indonesia terpecah-belah. Berbagai usaha memang sudah dilakukan agar Indonesia bisa menjadi luluh lantak, dan kita
harusnya bersyukur, hingga saat ini, Indonesia masih tetap kokoh berdiri di
atas kemajemukannya.
Semangat
persatuan, seperti semboyan bangsa Indonesia “Bhinneka
Tunggal Ika” berbeda-beda
tapi tetap satu, yang masih diyakini hingga saat ini, harapannya mampu membawa atmosfer positif
untuk persatuan bangsa kita ke
depannya.
Maka
dari itu, sudah selayaknya kita bergandeng tangan, merajut persatuan di atas keberagaman. Di mana
kita selaku aktor yang mengisi pos pascakemerdekaan,
memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga bangsa ini.
Jika
mengutip perkataan bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir
penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”.
Maka, perlu disepakati bersama, bahwa masa depan bangsa Indonesia, terletak pada pundak generasi muda. Semoga, semangat nasionalisme dan persatuan yang
berkobar-kobar,
mampu
membawa Indonesia menuju tatanan bangsa yang Memayu Hayuning
Bawana.
Rujukan: Nasionalisme dan Kaum Sarungan, Mata Air
Keteladanan, Artikel di Media Sosial
![]() |
Bisa ditemui di IG/FB/TW: @rigenwazha |