Setangkai Parijoto Untukmu
Saturday, April 11, 2020
Edit
Penulis: Impian
Nopitasari
Aku tidak tahu apakah ada orang yang lebih
bodoh berada di bus yang penuh sesak sambil membaca pesan dari orang yang tidak
berguna. Ya, seharusnya memang tidak berguna karena seperti menghangatkan
makanan basi. Makanan basi dihangatkan sedemikian rupa pun tetap tidak layak
dimakan. Kecuali kalau memang ingin keracunan. Sialnya, orang itu memilih
menjadi bodoh dan keracunan. Orang itu adalah aku.
“Kamu benar-benar tidak mau membantuku?”
Deretan huruf yang terpampang di layar telepon
pintarku hanya kuabaikan saja tanpa berniat untuk membalasnya. Bus yang
membawaku dari Solo menuju Purwodadi ini sudah sampai Sumberlawang dan aku
memutuskan untuk tidur. Walau banyak orang yang bilang bus menuju kota
kelahiranku bobrok dan ugal-ugalan semua, aku tetap bisa tidur. Aku bisa tidur
dalam kondisi bus ngebut, banyak pedagang asongan, pengamen yang menyanyikan
lagu itu-itu saja, orang yang berbicara lewat telepon dengan begitu kerasnya,
bahkan ketika setir bus lepas ketika bus sedang berjalan, aku tetap bisa tidur.
Tapi aku terjaga gara-gara pesan itu.
“Aku tahu ini akan membuatmu tidak berkenan.
Tapi aku tahu kamu adalah orang baik yang tidak akan tega menolak permintaan
tolong manusia lainnya. Tolonglah, aku hanya ingin setangkai parijoto darimu,
untuk selamatan kelahiran anakku.”
Seseorang yang sudah kau hapus dari hidupmu
tiba-tiba muncul lewat pesan. Memintamu peduli dengan kehidupannya. Apakah
hidup memang sebercanda ini?
“Banyak orang yang menjual buah parijoto
beserta olahannya. Kenapa harus aku? Kenapa aku harus peduli dengan kelahiran
anakmu atau apalah itu? Adakah alasan yang lebih logis lagi untuk
menghubungiku? Aku sudah bilang tidak ingin mendendam padamu, aku hanya minta
tolong jangan menghubungiku. Dan kau baru saja melanggarnya.” Akhirnya kubalas
juga pesan itu.
“Maafkan aku telah melanggar kesepakatan itu.
Tapi apakah kau bisa menolak permintaan seorang ibu? Ibu yang menyuruhku
menghubungimu. Ia ingin kau yang memetik buah parijoto itu untuk cucunya. Ibu
bilang kamu adalah orang baik yang pantas melakukan itu. Perempuan baik yang
pernah disakiti oleh anaknya. Kamu boleh tak peduli padaku, tapi tolong, ini
ibu yang memohon padamu.”
Aku paling benci dengan jawaban seperti ini.
Bisakah ia berbohong dengan cara lain selain membawa-bawa nama ibu? Oh Gusti,
tidak cukupkah tangisku ketika melihat foto pertunangannya? Video
pernikahannya? Semua dikirim oleh teman-temannya kepadaku. Dan sekarang?
Sekarang aku harus peduli pula dengan kelahiran anaknya?
“Simpang Lima...Simpang Lima...yang
turun...yang turun...”
Teriakan kernet bus membuyarkan lamunanku. Aku
turun dan diserbu oleh penarik becak. Aku menggeleng dan memilih naik angkot
untuk kemudian pindah bus menuju rumahku. Di perempatan Bejo Purwodadi angkot
menurunkanku. Di sana sudah ada bus yang siap membawaku pulang ke rumah.
“Sulursari..Sulursari...,” kernet bus
memanggil-manggil penumpang. Berkali-kali ia berteriak begitu.
“Sulur, Mbak? Ayo mangkat!” kernet itu melambaikan tangan padaku sebelum bus
berjalan.
Tepat ketika bus menuju Sulursari hampir
berjalan terdengar teriakan dari bus di belakangnya.
“Kudus...Kudus...Kudus, Mbak?”
Aku mengangguk dan masuk ke dalam bus
tersebut. Entah apa yang merasukiku saat itu. Sepertinya aku memang sudah
keracunan makanan basi.
***
Yang kupikirkan pertama kali ketika bus berjalan
meninggalkan kota Purwodadi adalah menelepon Rendra, sahabatku. Aku tahu dia
akan mengerti dengan kegilaanku, meskipun aku akan dimaki-maki dahulu.
“Aku tidak peduli kau sedang apa. Dua jam lagi
kau harus sudah ada di Proliman Tanjung untuk menjemputku,” kataku begitu
telepon diangkat.
“He...cah
gemblung. Mudheng tah ora? Aku isih kerja.
Ngapa dadakan?” sudah kuduga ia pasti akan misuh-misuh.
“Sudahlah, dua jam lagi kau sudah pulang kerja
kan? Awas kalau kau tak muncul. Sayonara untuk pertemanan kita,” cepat-cepat
aku mematikan telepon sebelum ia ngomel-ngomel lagi.
Aku menelepon ibu, mengabarkan kalau aku
mengundur waktu pulang. Ada urusan dadakan di Kudus. Tepatnya urusan yang
kuada-adakan sendiri. Mungkin benar kata orang, aku memang orang yang susah
ditebak, bahkan oleh diriku sendiri.
Sebenarnya ini bukan urusan seseorang yang
memesan buah parijoto saja. Semua ini tidak menjadi masalah, kalau saja yang
memesan bukan seseorang yang ingin kuenyahkan dari ingatanku. Sudah sering aku
diminta tolong orang untuk mengirimkan buah khas Muria itu. Buah yang dipercaya
bisa meningkatkan kesuburan bagi perempuan. Aku sendiri pernah memakan buah
itu. Kupikir ini bukan buah yang enak untuk dimakan, rasanya sepet dan asam.
Persis seperti kisah hidupku.
Aku tersadar dari lamunanku ketika kernet
meneriakkan Proliman Tanjung. Lebih dari setengah penumpang turun di sini. Aku
menyeberang jalan menuju SPBU Tanjung untuk sekadar istirahat dan menunggu Rendra.
Anak itu tidak mungkin tepat waktu.
Setengah
jam kemudian sosok laki-laki mungil dan gempal datang dengan motor matiknya. Dengan
wajah yang menyebalkan ia menyodorkan helm padaku.
“Kau sungguh merepotkan,”
Aku hanya tertawa mendengar omelannya.
“Wis lah. Kau tak mungkin bisa marah padaku.
Kau senang kan kukunjungi?”
“Gak usah cerewet. Mau makan di mana?”
“Sak-sakmu.
Manut.”
Rendra membawaku ke tempat makan yang tidak
jauh dari tempat kami bertemu. Sebuah pusat tempat makan dengan banyak warung
berjejer yang menyajikan menu yang sama, Lentog Tanjung. Aku tak pernah lupa
mampir ke tempat ini ketika berkunjung ke Kudus. Kami tidak perlu kebingungan
memilih untuk makan di mana karena sudah punya langganan di sini. Sebuah kios
di tengah ruko dengan tulisan Warung Lentog Bu Karti menjadi tujuan kami.
Bu Karti, perempuan bertubuh gempal yang
kukenal ramah itu menyambut kami. Dengan logat Kudusnya ia menanyakan kabarku,
kenapa lama tak mampir. Dengan hafal ia menyajikan lentog tanpa aku repot-repot
memesannya. Seporsi lentog yang terdiri dari lontong dan sayur gori (nangka
muda) dengan ekstra cabai rawit, kuah yang banyak, ditambah bakwan dan sate
telur puyuh. Berbeda dengan Rendra, ia lebih suka menambahkan sate usus dan
tidak suka banyak cabe rawit. Mungkin karena itu ia sabar menghadapiku, karena
kata orang Jawa, orang yang sabar itu adalah yang panjang ususnya, ia suka
makan usus.
“Jadi apa tujuan kedatanganmu kali ini?” tanya
Rendra setelah puas memasukkan potongan lontong ke mulutnya.
Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku malah
sibuk menggigit bakwan. Aku baru menjawab pertanyaan itu ketika kulihat wajah
kesalnya. Kujelaskan soal pesan itu dan kenapa aku memutar tujuanku, dari yang
seharusnya pulang malah jadi makan lentog bersamanya.
“Tahun sudah berganti, dan kau masih sama saja
bodoh,” gerutunya sambil meletakkan sendok di piring dengan kesal. Bu Karti
sampai menengok ke arah kami karena mendengar dentingan sendok dari Rendra.
“Aku mungkin bisa mengabaikan dirinya, tapi
aku tidak bisa mengabaikan permintaan seorang ibu, Ren,” aku mencoba membela
diri.
“Tahu dari mana kalau lelaki itu tidak
berbohong? Ayolah aku sudah bosan memperingatkanmu. Kapan kau peduli dengan
dirimu sendiri?”
Kuhabiskan teh manis di hadapanku. Aku ingin
membayar pesanan kami tapi Rendra mencegahnya. Ia tidak memperpanjang masalah
ini. Aku menurut saja mau diajak ke mana. Tapi ia seperti biasa, selalu tahu
tempat mana yang ingin aku kunjungi.
Aku selalu suka berkeliling kota ini. Bau
kretek yang mengingatkanku pada Dasiyah, sang Gadis Kretek dalam novel karangan
Ratih Kumala, Pak Nitisemito Sang Raja Kretek yang melegenda itu atau Djamhari,
seseorang yang misterius sampai sekarang yang diyakini sebagai penemu kretek.
Aku lebih baik mengingat tokoh-tokoh itu daripada mengingat lelaki yang
melinting rokoknya di sebuah warung sate di Yogya. Lelaki yang kadang memintaku
melintingkan rokoknya, yang berkata selalu suka dengan lintinganku, dengan
manis ludahku. Lelaki yang sama yang memintaku memetik buah parijoto untuk selamatan
kelahiran anaknya.
***
Hari ini Rendra mengantarku ziarah ke makam
Sunan Muria. Kemarin ia sudah mengantarku ziarah ke makam Sunan Kudus. Aku
memang suka mengunjungi makam-makam wali untuk mencari ketenangan. Apalagi
setelah ziarah aku bisa makan makanan kesukaanku, martabak telur puyuh yang mangkal
di utara Masjid Menara.
“Yakin mau naik sendiri? Nggak mau ngojek?”
tawar Rendra yang kujawab dengan gelengan kepala.
“Nggak, Ren, aku ingin menikmati perjalanan
sowan Njeng Sunan dengan menaiki ratusan anak tangga itu.”
“Nggak capek?”
“Tidak ada rasa lelah untuk bertemu dengan
yang dicintai,”
Rendra mengerti pilihanku, dan bilang ia akan
menunggu di bawah. Aku mulai mendaki anak tangga satu demi satu. Di kanan kiri
banyak kios yang menjajakan barang dan jajanan. Dari garut, ganyong, buah
parijoto, makanan khas kudus seperti jenang dan berbagai macam baju. Para
penjual itu menawarkan dagangan yang mereka jual, yang akhirnya kubalas dengan
senyuman saja. Aku belum ingin membeli dagangan mereka sebelum turun dari
ziarah. Aku hanya sesekali saja berhenti untuk istirahat.
Di dalam
area makam aku tak bisa menahan air mataku. Segala keluh kesah kutumpahkan.
Segala doa kupanjatkan. Aku tak peduli dengan banyak peziarah di sekitarku,
yang penting aku puas menumpahkan rinduku pada Kanjeng Sunan.
Keluar
dari makam aku menyempatkan diri mengambil air dari mata air di area makam. Air
yang dipercaya memberi berkah. Aku membawa dua botol air minum untuk diisikan
oleh petugas. Kuselonjorkan kakiku sebelum menuruni anak tangga. Kulihat masih
banyak peziarah mengantri mengisi botolnya dengan air.
Seorang
wanita kutaksir berumur 60 tahunan. Ia duduk di sebelahku, seperti menahan
penat. Raut wajahnya menunjukkan rasa kecewa. Sepertinya ia kehausan. Aku
memberanikan diri menawarkan air minum.
“Mangga, Bu. Menawi badhe ngunjuk.”
Kataku sambil memberikan satu botol air minumku. Aku ragu ia akan menerimanya
karena bagaimanapun aku adalah orang asing.
“Walah, maturnuwun, Mbak.” Tak kusangka
ia menerimanya dan meminumnya sampai habis setengah botol. Setelah minum, ia
lalu bercerita bahwa lupa membawa botol sehingga tidak bisa ikut mengantri
mengisi air keramat. Botol di dekat mata air juga habis, mungkin karena banyak
pengunjung. Ia bercerita kalau air itu akan diberikan kepada anaknya yang
sedang mengandung agar mendapat berkah. Aku merasa iba padanya, kuberikan
sebotol airku padanya.
“Ini
untuk jenengan saja, Bu. Saya masih
punya kok. Semoga berkah untuk anak dan calon cucunya,” kataku sambil mohon
diri untuk meninggalkan tempat itu. Aku harus segera turun, membeli buah parijoto
di bawah dan segera menemui Rendra.
“Mbak,
Mbak, tunggu. Ini tolong diterima,” perempuan itu menyerahkan sesuatu padaku.
Sesuatu yang membuatku tercengang.
“Buat
apa ini, Bu? Bukannya anak ibu lebih membutuhkan? Saya tidak sedang mengandung loh,”
kataku sambil tertawa.
“Loh,
parijoto ini bukan hanya untuk orang hamil loh, Mbak. Buat kesehatan kan bisa.
Saya sudah maturnuwun sudah dikasih air, mohon diterima nggih,”
Kuterima setangkai parijoto itu. Aku percaya
setangkai parijoto ini bukan setangkai parijoto biasa. Dalam tiap tangkai dan
buahnya ada doa seorang ibu. Aku tidak bisa menolak permintaan seorang ibu. Aku
di sini karena permintaan seorang ibu, aku juga akan pulang dengan membawa doa
seorang ibu. Untuk kamu yang memintaku mengirimkan buah ini untukmu,
ketahuilah, setangkai parijoto ini kukirimkan untukmu, tapi bukan benar-benar
untukmu.
***