Sejarah Kolonial yang Menyegarkan
Monday, April 13, 2020
Edit
Penulis: Suana Wiyadi
Identitas Buku
Judul: Semua untuk Hindia
Penulis: Iksaka Banu
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan: Maret 2018
Tebal: xvii+154
Jika boleh jujur, sejarah adalah mata pelajaran yang
tidak saya sukai semasa sekolah. Selain karena gurunya yang menurut saya tidak
kompeten, sejarah disampaikan dengan cara yang amat membosankan. Contoh
kecilnya, jika ditarik ke belakang tidak terlalu jauh, yang masih saya ingat
sampai hari ini, ialah muka merinding guru saya ketika menyampaikan sejarah G30S/PKI.
Dari situlah akhirnya hari ini saya tahu, guru sejarah sekolah saya dulu tidak
pernah benar-benar serius ketika kuliah.
Bukan, tulisan ini tidak bermaksud menjelekkan guru saya
tersebut. Yang ingin saya sampaikan ialah, sejarah tidak bisa kita lihat hanya
sekedar hitam-putih. Karena beda pandangan, akan berbeda pula artinya. Belum
lagi kalau berbicara makna tersirat yang terkandung di dalamnya. Tentu banyak
rupa-rupa warna yang bakal kita temui. Malah bisa jadi, sejarah datang kepada
kita dengan transparan sama sekali. Hingga akhirnya, membuat kita menafsirkan
sendiri dengan warna yang kita dapati.
Sejarah, bukan pula sebatas siapa menang dan siapa kalah.
Jikalau hanya dimaknai sebatas itu, maka kita tidak akan memetik hikmah atas
frasa “belajar dari sejarah”, bukan? Menurut hemat saya, bukan waktunya lagi
sejarah kita anggap sebagai sebuah momok hari ini. Kalau sejarah terus
dijadikan sebagai alat dari sang pemenang, pertanyaannya, sampai kapan kita hendak
melahirkan kekalahan-kekalahan baru?
Bukankah sejarah sama sekali berbeda dari yang namanya
persaingan? Dan untuk apa pada akhirnya kita bersaing mengatakan sejarah
versiku yang paling benar? Apakah ada sebuah kerugian di kemudian hari, kalau
sejarah hari ini yang kita amini, pada nyatanya tidak sesuai dengan apa yang
terjadi? Entahlah, butuh waktu banyak saya kira untuk membincang hal itu. Oleh
karenanya, mari kita bahas saja salah satu novel sejarah yang sangat cocok
menjadi konsumsi umum.
Ya, Iksaka Banu sudah bisa dikatakan sebagai ahli sejarah
hari ini. Dengan keterampilan meracik narasi sejarah, ia seakan menghadirkan
wajah sejarah yang sama sekali baru. Dalam artian, dirinya benar-benar bebas
bergerak tanpa takut dengan jeratan-jeratan sejarah itu sendiri. Secara tidak
langsung, ia juga seperti menolak pakem yang sudah digariskan oleh ahli sejarah
nasional. Tidak berhenti sampai di situ, nyatanya ia mampu berdiri sendiri
sekaligus menyatakan, bahwa inilah yang dinamakan sejarah! Bahwa ia juga bisa
menyegarkan para pembaca sejarah, sama sekali tanpa niat untuk membodohi.
Nama Iksakan Banu, awalnya juga nama yang asing di
telinga saya. Hal ini tidak terlepas karena minimnya referensi sastra saya hari
ini. Ditambah lagi, saya juga yang kurang baca sejarah. Barangkali, ini salah
satu kelemahan saya dan kebanyakan dari kita, yang belum bisa mendamaikan
sastra dan sejarah itu sendiri.
Karena sulit untuk dipungkiri, kita masih mengkonsumsi
cema bahwa sastra tidak bisa dipakai sebagai bahan sejarah. Padahal,
bukankah sejarah kita selalu diabadikan
dalam cerita-cerita yang sastrawi? Lantas, kenapa kita masih bersilaju anggapan
bahwa sastra akan selalu berada di belakang sejarah? Apa yang membuat sastra
tidak bisa berjalan beriringan dengan sejarah? Apakah karena kecongkakan kita
dalam menafsirkan sesuatu? Yang jelas, hal ini bakal terus menjadi tantangan
sastra-sejarah kita di kemudian hari. Apabila kita masih menganggapnya sebagi
hal yang wajar.
Untuk mengakhiri perdebetan itu semua, saya kira buku
kumcer Iksaka Banu yang berjudul Semua Untuk Hindia adalah jawabannya.
Buku ini diawali oleh cerpen yang berjudul Selamat Tinggal Hindia.
Secara tidak langsung, cerpen ini yang saya sebut sebagai pelopor untuk
mengakhiri beberapa perdebatan di atas. Kenapa bisa begitu? Dari judulnya saja,
kita sudah bisa menebak kalau Iksaka Banu bermaksud mengucapkan selamat tinggal
pada perdebatan antara sastra dan sejarah yang usang, dan sebenarnya sudah
tidak patut kita perpanjang.
Selanjutnya cerpen yang berjudul Stambul Dua Pedang.
Pengkhianatan, pemberontakan, dan independensi dalam mengambil keputusan,
adalah tema pokok yang ada dalam cerpen ini. Iksaka, dengan mahir mengemukakan,
bahwa pada zaman kolonial, pengkhianatan menjadi hal yang teramat biasa pada
akhirnya. Selama ini mungkin kita akan mengutuki dan dibuat membenci seorang
tokoh yang—entah benar-tidaknya—melakukan sebuah pengkhiantan. Terlebih jika
orang itu berasal dari kita, kaum pribumi, dan lebih memilih berpihak kepada
penjajah.
Namun, bagaimana jika kita mendapati bahwa sosok pengkhianat
ini, adalah kaum pribumi yang berkhianat kepada
penjajah? Patutkah kita senang dan berbangga? Sekalipun pengkhinat ini
adalah istri dari kompeni tadi. Tidak perlu dijawab langsung saya kira, cukup
pikirkan dulu matang-matang. Bukankah hal yang tergesa-gesa akan tidak selalu
baik hasilnya? Nah, maka dari itu, saya berikan waktu sampai benar-benar siap
untuk menjawab pertanyaan tadi.
Cerpen yang berjudul Keringat dan Susu, akan
mengantar kita kepada sebuah kisah yang penuh dilema. Ya, kisah seorang tentara
non pribumi yang pernah disusui oleh perempuan pribumi. Dalam perjalanan
karirnya, yang tampak di mata orang-orang, hal tersebut adalah murni jerih
payah keringtanya.
Walakin siapa sangka, ternyata ada peran dari perempuan pribumi
tadi, sehingga ia bisa menjadi seorang tentara yang hebat. Hal ini tentu saja
adalah sebuah rahasia pribadi, yang sampai akhir cerpen tidak dibuka oleh
Iksaka. Namun, unsur keringat dan susu yang bercampur, begitu kental sehingga
tidak akan bisa ditutupi walaupun cerpen sudah berakhir.
Cerpen yang juga menarik perhatian saya, adalah cerpen
yang berjudul Gudang Nomor O12B. Cerpen ini, mengandung unsur mistis di
dalamnya. Yang harus diakui, membuat cerpen ini sebagai cerpen yang paling
mencekam di antara cerpen-cerpen sisanya. Usaha pencurian, ibarat bangkai yang
ditutup-tutupi tapi tidak dikubur. Pada akhirnya, tercium pulalah bau dari aksi
pencurian ini. Yang menariknya, cerita ini sekalipun memasukkan unsur mistis,
Iksaka tetap tidak mau tercerabut dari akar. Terbukti, rasionalitaslah yang
akhirnya menjadi pemenang dari cerpen ini.
Cerpen terakhir yang akan saya ulas, adalah cerpen yang
menjadi judul dari buku ini. Semua untuk Hindia, menceritakan kisah
surat menyurat antara seorang putri kerajaan dan seorang wartawan. Cerpen ini
adalah cerpen yang paling menyedot perhatian. Pasalnya, di cerpen ini pulalah
Iksaka akhirnya menghantam dengan keras kronik sejarah yang seringkali berakhir
hitam putih itu. Bagi Iksaka, klaim yang dilakukan oleh pemenang, tidak bisa
lantas kita setujui. Banyak pertimbangan yang patut kita lakukan. Hingga
akhirnya, kita tahu persis apa yang nanti menjadi pelajaran di kemudian hari.
Untuk cerpen-cerpen sisanya, saya rasa para pembaca yang
belum membaca buku ini, patut untuk menyelaminya sendiri. Karena, apa yang saya
jelaskan di sini, bisa jadi sangat-sangat subjektif. Oleh karena itu, saya
sarankan untuk para pembaca, merasakan sendiri pengalaman menyelami samudera
imajinasi Iksaka ini. Tidak akan berakhir dengan kesia-siaan, dan saya tebak,
setelah anda membaca buku ini, anda akan menjadi orang yang sama sekali baru.
Atau minimal mengalami perubahan dalam melihat sejarah serta printilannya. Yang
tentu saja tidak bisa kita hakimi dengan mudah benar-salahnya.
Selamat membaca dari orang yang belum berhasil belajar
dari sejarah~