Sebuah Refleksi Hari Bumi;
Wednesday, April 22, 2020
Edit
Penulis: Annatiqo
Kita Butuh Apa? Pembangunan Berkelanjutan
atau Keberlanjutan Ekologi?
“All these shootings, pollution, we under
attack on ourselves”
Sepenggal lirik lagu milik Lil Dicky ini
seringkali membuat saya merenung. Lagunya yang berjudul “Earth”, dan
dinyanyikan oleh berbagai penyanyi terkenal di luar sana selalu berhasil
membuat saya termenung. Berfikir tentang peran manusia dan hewan dalam kondisi
bumi yang kian hari kian memburuk ini.
Selama ini, kerusakan lingkungan yang disumbangkan
oleh manusia benar-benar mengancam kehidupan. Bukan hanya kepada hewan dan
makhluk hidup lainnya, juga kepada manusia itu sendiri. Penyebabnya pun tidak
lain karena manusia keliru memandang alam, dan keliru menempatkan diri dalam konteks
alam semesta seluruhnya.
Contohnya saja, kerusakan hutan, pembukaan lahan, dan pembalakan liar,
yang menjadi sebab deforestasi terus meningkat setiap tahunnya. Bahkan berdasarkan
data yang dihimpun Tirto, Indonesia menempati posisi kelima terkait dengan
negara-negara yang kehilangan tutupan pohon terbesar.
Sejak 2001 hingga 2014, Global Forest Watch mencatat Indonesia
telah kehilangan 18,91 juta Ha hutan. Pada periode yang sama, Rusia, yang
menempati posisi teratas, kehilangan 42,13 juta Ha hutan, disusul oleh Brasil
yang kehilangan 28,77 juta Ha.
Selain itu, Badan Karantina Ikan
Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil perikanan (BKIPM) menyebutkan, bahwa
kerusakan terumbu karang dari perairan Sabang sampai Merauke disebut sudah
mencapai 46 persen.
Pun tak hanya itu, polusi udara serta
mobilisasi manusia yang begitu pesat sangat memungkinkan adanya gangguan
penyakit dan menurunnya kualitas kehidupan manusia.
Entah sampai kapan kondisi seperti ini akan
terus berlangsung. Hutan kehilangan pohon-pohonnya. Laut kehilangan terumbu karangnya.
Udara kehilangan kebersihannya. Hewan kehilangan habitatnya karena ekosistem
yang semakin rusak. Dan semua permukaan bumi, akhirnya akan dipenuhi oleh sampah.
Kehancuran lingkungan hidup seperti itu, menyebabkan
Negara dan masyarakat harus membayar mahal. Bukan saja
dalam hitungan nilai finansial, melainkan juga dalam bentuk kehancuran
kekayaan sosio-budaya, serta kekayaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup.
Hutang kita sudah begitu banyak kepada
bumi. Kepada hutan dan pohon, misalkan.
Berdasarkan penelitian, setiap 1 Ha hutan tropis dapat mengubah 3,7
ton CO2 menjadi 2 ton Oksigen (O2). Bertambahnya pohon akan menambah jumlah
oksigen yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia.
Satu pohon menghasilkan 1,2 kg oksigen sehari. Satu manusia
membutuhkan 0,5 kg okigen sehari. Berarti dengan kata lain, satu pohon dapat menghidupi
manusia 2 orang. Menebang 1 pohon, artinya sama dengan membunuh 2 orang
manusia. Jika kita jaga alam, alam akan jaga kita.
Makin besarnya kesadaran masyarakat Indonesia terhadap kerusakan
hutan dan kebutuhan akannya, sebenarnya membuat banyak orang semakin marak juga
menyerukan jargon dan aksi yang mengkampanyekan penanaman pohon.
Tapi memang tidak semudah itu membuat orang
hendak bergerak sekalipun mereka sadar. Ada banyak aspek dan pertimbangan yang
harus dipikirkan serta prioritas dari masing-masing individu. Terdapat berbagai
kekeliruan cara berfikir yang kemudian menghambat.
Sebagaimana dilontarkan oleh Arne Naess dan
ahli etika lingkungan lainnya, kekayaan alam selalu dibaca dan dilihat
semata-mata sebagai sumber daya ekonomi yang siap dieksploitasi demi
pertumbuhan ekonomi.
Kekeliruan lain adalah, perhatian
utama pembangunan ekonomi hanya tertuju pada perbaikan standar kehidupan,
khususnya standar material. Yang menjadi pusat perhatian dari seluruh proses pembangunan
adalah tercapainya kesejahteraan material, seakan, hanya
inilah yang utama bagi hidup manusia.
Dengan kata lain, yang dituju oleh
pembangunan bukan kualitas kehidupan, melainkan perbaikan standar kehidupan
material. Yang dikejar hanya uang, materi, kemewahan. Dan jalan
untuk mewujudkan itu, dengan menguras habis kekayaan alam yang
ada, yang direduksi semata-mata sebagai bernilai ekonomis saja.
Yang perlu kita pertanyakan kembali adalah sebenarnya
kita sedang menuju ke mana? Pembangunan berkelanjutan atau keberlanjutan ekologi?
Ah, lupakan semua janji-janji manis soal
perbaikan lingkungan dan konservasi. Harapanmu akan padam seketika oleh
undang-undang yang mengatasnamakan perbaikan ekonomi rakyat, namun justru
membuat para pemilik modal itu dengan longgarnya mengeksploitasi alam. Membabat
habis hutan-hutan dan mencemari sumber-sumber air.
Kita semua tahu, tidak bisa hanya dengan
dua tangan kita untuk merubah lingkungan tempat kita tinggal agar menjadi
lebih baik. Akan tetapi, kesadaran semua orang yang benar-benar dari
semua oranglah, perubahan itu dapat bekerja.
Karena jika boleh mengutip paragraf
terakhir sebuah artikel yang ditulis oleh Raka Ibrahim di Asumsi.co. “Pada akhirnya permasalahan kolektif
membutuhkan penyelesaian kolektif juga. Bukan kesaktian indovidu, apalagi lilin-lilin
konotatif. Sekadar mengutuk kegelapan memang menjengkelkan, tetapi menyalakan
lili tidak ada gunanya bila kita tidak pernah bertanya mengapa ruangan ini
senantiasa gelap gulita.”
![]() |
Orang yang terobsesi dengan kata 'Jauh' |