Puisi: Hal Indah yang Sulit Dimaknai
Tuesday, April 28, 2020
Edit
Alkisah suatu
waktu, ada salah seorang teman saya, yang mahir sekali membuat puisi. Saking mahirnya,
saya pun takzim kepadanya sol per-puisi-an. Entah kenapa, semakin ke sini, rasa
takzim saya kepadanya semakin bertambah. Saya merasa, puisinya sangat cocok
dengan saya pribadi. Walaupun sebenarnya, saya juga kurang tahu kenapa bisa
begitu. Mungkin katanya, ini hanya soal sebuah selera. Tapi saya rasa, sampai
hari ini dan ketika tulisan ini dibuat, selera puisi saya belum jelas lebih
condong ke arah mana dan puisi yang seperti apa.
Pada dasarnya,
puisi itu bagi saya selalu mengandung paradoks dan kontradiktif. Bukan lantas
puisi selalu salah di mata saya, bukan. Maksud saya, puisi adalah tulisan yang
meminta perhatian lebih ketika ingin dipahami dan dimengerti. Oleh sebab itu,
saya selalu menganggap seorang penyair, adalah orang-orang yang diberi bakat
alami dan diberi kelebihan tersendiri. Kelebihan yang berbeda dari orang
kebanyakan. Dan kelebihan ini, sayangnya belum bisa saya cerna tuntas sampai ke
akarnya.
Seperti seorang
teman yang sudah saya sebutkan di atas. Ini hanya sekedar info ya, jangan
diberi tahu ke orangnya. Takutnya nanti dia marah, kalau saya sebut terus-terusan
dalam tulisan ini. Ia adalah seorang yang sangat idealis soal hubungan. Hubungan
dengan lawan jenis. Kisah cintanya tak seindah drama sinetron, pun tak sesendu
yang bisa kita bayangkan. Dalam artian, kisah cinta dan hidupnya, sangatlah
rumit. Sama halnya dengan puisi yang sering ia buat. Namun, anehnya hal itu
pula yang membuat kemahirannya semakin bertambah setiap hari.
Dalam puisi-puisinya,
ia selalu membayangkan soal idealnya hubungan antara laki-laki dan perempuan. Mulai
dari cara mengungkapkan perasaan, menyampaikan keinginan, mengutarakan
keresehan, hingga meyakini hari indah yang akan datang. Tidak hanya itu, saya
perkirakan setiap pembaca yang belum mengenal dirinya, niscaya akan beranggapan
kalau ia sudah melalang-buana soal percintaan. Uniknya lagi, dari kebanyakan
puisinya, sosok perempuan begitu nyata disodorkan kepada pembaca. Yang tak ayal
membuat pembaca ikut terbawa oleh puisinya.
Namun, seperti
yang sudah saya bilang, puisinya pun tak luput dari yang namanya salah
dipahami. Pernah pada waktu itu, ia membuat sebuah stori di WhatsApp. Storinya tentang
puisi karyanya sendiri. Puisi tersebut, setidaknya berhasil membuat salah
seorang teman saya jadi kelabakan. Lantaran, isinya dianggap seksis dan tidak
berpihak kepada perempuan. Dan tak urung, teman saya yang satunya tadi, kalang
kabut menjelaskan puisi tersebut kepada penanya.
Belajar dari
kejadian tersebut, saya pun langsung mengambil sebuah kesimpualan. Bahwasannya,
mengartikan sebuah puisi itu tidak cukup dengan cara satu pandang. Belum lagi
jika ingin masuk ke taraf untuk mengkritisinya, untuk memahaminya saja,
kebanyakan orang butuh kemampuan yang tidak biasa bagi saya. Dengan kata lain,
menjadi aneh jika ingin mengartikan dan memahami puisi, tapi tidak berangkat
dari kerangka pemikiran yang sama.
Hal ini bukan
lantas menjadikan puisi tidak bersinggungan dengan hal lain di luar sastra. Akan
tetapi, puisi jelas tidak bisa dikritisi tanpa pengetahuan soal puisi itu
sendiri sebelumnya. Yang kalau terus dipaksakan, malah menghancurkan bangunan
keindahan dan pesan dari puisi itu sendiri menurut saya. Sama halnya dengan
cabang ilmu lain, tanpa bangunan dasar pengetahuannya, menjadi pincang jika
ingin mengkritik sebuah puisi.
Saya jelas
bukan fanatik terhadap puisi. Karena puisi juga tidak perlu didukung dan dibela
secara mati-matian menurut saya. Dari banyaknya jenis puisi dan keragaman bahasa
yang dipakai untuk membuatnya, menjadikan puisi tidak sekadar barisan kalimat
indah yang enak dibaca dan didengar. Lebih jauh dari itu, puisi mengandung
kerunyaman ibarat labirin tanpa ujung. Bagaikan lingkaran yang tak pernah tahu
awalnya. Dan laksana bangunan yang asimetris, tapi terkadang bisa menjelma
menjadi bangunan yang sangat proporsional.
Setidaknya,
kita patut bersyukur jika pernah bersinggungan langsung dengan seluk-beluk
puisi. Lantaran, tidak semua orang akan tertarik dengan hal itu. Dan juga,
tidak semua orang bisa mudah dan cepat dalam memahaminya. Maka, menjadi sebuah
keberuntungan pula saya kira, apabila catatan hidup kita tergambar dan direkam
serta diabadikan dalam bentuk puisi. Pasalnya, butuh keberanian untuk sampai ke
taraf itu. Yang bilamana kita masih ragu terhadapnya, maka puisi bisa lebih jauh
bisa meragukan kita.
Sampai di titik
ini, dari beragamnya penilaian dan anggapan yang “negatif” terhadap puisi, saya
kira menjadi sah-sah saja. Karena tidak bisa dipungkiri, puisi juga akaan
selalu melahirkan sebuah celah. Celah yang mengakibatkan puisi itu akhirnya
dikritik, dihujat, dimaki, dicemooh hingga dianggap sebagai sebuah sampah. Namun
tak mengapa, toh pada akhirnya puisi akan menjadi lebih hidup dengan cara yang
begitu. Dan jika tidak begitu, maka bukan pusi lah namanya. Melainkan sekadar
omong-kosong yang dipoles menjadi lebih indah.