Pendidikan 4.0 dalam Kepungan Pandemi
Saturday, April 25, 2020
Edit
Penulis: Dimas Ahmad Rizal
Beberapa waktu
terakhir, sebelum Pandemic Corona menyerang, wacana
mengenai Revolusi Industri 4.0, massive diperbincangkan. Baik itu di ruang-ruang diskusi akademisi, ataupun di warung kopi yang
dilakukan oleh para aktivis.
Wacana mengenai Revolusi Industri 4.0, memang menjadi satu fenomena yang
sangat menarik untuk dibicarakan. Pasalnya, gelombang Revolusi Industri 4.0
akan mendisrupsi berbagai aspek dalam kehidupan manusia, termasuk salah satunya
adalah dunia pendidikan. Para pemikir, pengamat, pemerhati pendidikan
maupun akademisi, dan pemangku kebijakan, semuanya memikirkan langkah-langkah
strategis tentang pendidikan dalam menghadapi gelombang besar Revolusi Industri
4.0.
Sejarah revolusi industri dimulai ketika ditemukannya mesin uap pada abad ke-18, yang kemudian merubah cara produksi barang. Terjadi sebuah percepatan produksi karena pergesaran cara produksi, yang awalnya dari tradisional menjadi mekanik. Inilah yang disebut sebagai Revolusi Industri 1.0, yaitu perubahan cara produksi dari penggunaan tenaga hewan dan manusia, lalu digantikan dengan mesin.
Seabad setelah
itu, Revolusi Industri 2.0 dimulai. Ditandai dengan ditemukanya listrik. Sehingga sangat memungkinkan
untuk melakukan produksi masal. Pada masa ini jugalah pembagaian kerja mulai
diperkenalkan. Kemudian, pada abad ke-20, Revolusi Industri 3.0 dimulai, dengan ditemukannya
internet dan jaringan yang kemudian tercipta automasi dalam
dunia kerja. Dan saat ini, di awal abad
ke-21, terjadi gelombang revolusi Industri 4.0. Yaitu revolusi berbasis Cyber Physical System.
Revolusi Industri 4.0 ditandai dengan
ditemukannya
fungsi-fungsi kecerdasan buatan (artificial intelligence), mobile
supercomputing, intelligent
robot, self-driving cars, neurotechnological brain enhancements, era big data
yang membutuhkan kemampuan cybersecurity, era pengembangan biotechnology dan genetic editing (manipulasi gen).
Dari beberapa ciri
tersebut, menandakan sebuah perubahan struktur
dan konsep pekerjaan serta kompetensi pekerja. Gelombang revolusi Industri 4.0, lalu membawa dampak tantangan tentang
relevansi. Manusia sangat mungkin menjadi irrelevan, atau manusia yang tidak memiliki daya
guna. Karena
perannya sudah
digantikan dengan robot pintar dengan kecerdasan buatan.
Lalu pertanyaannya, bagaimana eksistensi manusia di tengah arus Revolusi Industri 4.0? Bagaimana jika kecerdasan robot akhirnya melebihi manusia?
Untuk tetap
menjaga Eksistensi dan Relevansinya, tentu manusia harus memahami potensi
lebih di dalam dirinya, yang tidak
dimiliki oleh orang lain. Kita tahu bahwa manusia
adalah ciptaan Tuhan, yang diberikan tugas
sebagai Khalifah Fil ard. Hal ini menunjukan
bahwa manusia memiliki kemampuan lebih yang tentunya tidak dimiliki oleh makhluk lain.
Menurut hemat saya, ada beberapa
hal penting yang harus dimiliki atau dikembangkan oleh manusia agar tetap berguna
di era Revolusi Industri 4.0. Yaitu kreativitas,
critical thinking, kemampuan kerja sama,
keterampilan berkomunikasi, kemampuan bermasyarakat atau bersosial, dan
karakter yang kuat. Selain beberapa keterampilan
tersebut, manusia juga harus memiliki sikap
kebijaksanaan dalam dirinya. Ini menjadi hal penting yang harus dimiliki oleh
manusia, agar menjadi manusia yang tetap relevan
dan memiliki nilai guna.
Mau diakui
atau tidak, kini
Revolusi Industri 4.0 telah mendisrupsi pendidikan sedemikian
rupa. Mulai dari
paradigma,
konsep, dan metode dalam pendidikan, dituntut harus bisa menyesuaikan hal
tersebut. Pendidikan gaya lama, rasanya sudah tidak bisa sepenuhnya diterapkan. Pendidikan
perlu dikaji dengan serius, agar bisa
menyeseuaikan dengan kondisi sekarang.
Mulai dari bagaimana melatih chritical
thinking di era informasi teknologi yang melimpah informasi, bagaimana
menginternalisasikan karakter, bagaimana melatih kemampuan komunikasi, dll.
Pemerintah
Indonesia melalui Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sudah merespons
gelombang Revolusi Industri 4.0. Pak menteri Nadiem dalam
pidatonya, pernah menyampaikan bahwa “saat ini kita
memasuki era dimana gelar tidak menjamin kompetensi,
kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya, akreditasi tidak menjamin mutu”.
Mendikbud juga telah mengaluarkan kebijakan Merdeka Belajar dan
Kampus Merdeka.
Namun sayangnya, sebelum kebijakan tersebut sempat benar-benar berjalan, Indonesia sudah
dilanda pandemik virus Corona. Pandemik Covid-19 ini,
muncul dan memberikan dampak besar dalam lini kehidupan kita. Mulai dari
ekonomi, sosial, politik, bahkan
pendidikan.
Dalam rangka
mengatasi pandemik ini, dan untuk mencegah
penularan, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk social
distance. Yang kemudian, dalam dunia
pendidikan aktivitas pembelajaran di kelas dihentikan, dan digantikan
dengan distance learning atau pendidikan jarak jauh. Metode yang
digunakan dalam distance learning ini variatif. Di sekolah dasar dan
menengah, menggunakan televisi sebagai media belajar. Dan di perguruan
tinggi rata-rata melakukan diskusi online, dengan
mengunakan smart phone.
Saya rasa, masa pandemik ini bisa
dijadikan sebagai momentum untuk menilai kondisi dan kesiapan kita, dalam
menghadapi Revolusi Industri 4.0. Karena, distance learning atau kuliah online, mengharuskan
setiap subjek pembelajaran memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Bayangkan saja jika pembelajaran online tidak didasari dengan
kemampuan komunikasi yang baik. Maka yang akan terjadi adalah ketidakjelasan
pembelajaran. Bisa karena pembahasannya tidak terarah, ataupun diskusi menjadi
mandek dan tidak berjalan.
Jika kita lihat lebih jauh, ternyata penerapan pembelajaran online
ini masih banyak kendala. Bukan hanya kendala di masalah keterampilan, tetapi
juga di masalah teknis. Seperti kendala jaringan, kuota, bahkan didaerah-daerah
tertentu, ada yang terkendala karena masalah listrik. Mulai dari listrik yang
tidak stabil, kadang mati-jarang hidup, sampai yang memang belum ada listrik di
daerahnya.
Selain itu, masa pandemik ini juga
memberikan pelajaran berharga kepada kita. Yaitu tentang
kemampuan kita dalam chritical dan analytical thinking. Karena di masa yang seperti ini, ketika kita tidak pintar memproses informasi, maka akan menjadi stres sendiri. Hal ini terbukti dari banyak terjadinya kepanikan di masyarakat. Mulai dari stress akibat
berita yang simpang-siur mengenai Covid-19, ditambah lagi karena ketidaksiapan
dari kita sendiri.