Mengusik Kemapanan, Menanggalkan Kegagahan
Sunday, April 26, 2020
Edit
Identitas buku
Judul: The God
of Small Things
Penulis: Arundhati
Roy
Penerjemah:
Reni Indardini
Penerbit: Mizan
Publika
Tahun: Juni,
2018
~Entahlah, bisa saja hal ini menjadi sebuah kebetulan
yang sudah ditakdirkan~
Setelah
berselang dua hari saya membeli buku Arundhati Roy, yang berjudul The God of
Small Things, lalu membacanya, ada email masuk dari Asumsi. Email tersebut
membuat saya heran dan tidak habis pikir. Pasalnya, sejak Corona menyerang,
Asumsi pun turut memberitakan soal Corona ini. Hal ini yang lantas membuat saya
terkadang memilih tidak membaca email dari Asumsi. Ya, surat rutin 5.45 lah
yang saya maksud.
Pada pagi itu,
entah kenapa saya berhasil menyelesaikan membaca surat Asumsi yang dalam waktu
belakangan, tidak menarik minat saya sama sekali. Dari sekian banyaknya
pemberitaan tentang Corona, tak ayal membuat saya bosan. Oleh karena itu, surat
5.45 Asumsi pun saya perlakukan demikian. Selain agar pikiran saya bisa beralih
kepada hal lain, mengurangi membaca pemberitaan dan tulisan soal Corona,
setidaknya membuat saya merasa lebih tenang.
Namun, hari itu
jelas berbeda. Surat yang ditulis oleh Raka Ibrahim, dan dikirim pagi itu,
berhasil menyihir saya seketika. Padahal, isinya juga soal Corona. Hal tersebut
yang selanjutnya saya sebut sebagai sebuah kebetulan. Kebetulan yang menurut
saya sudah ditakdirkan. Sebab, buku Roy yang sedang saya baca, mempunyai
kesamaan latar belakang dengan surat rutinnya Asumsi pagi itu. Ya, pada tanggal
20 April 2020, Asumsi mengirim surat yang berjudul Pelajaran dari Kerala. Dan Kerala, adalah latar tempat novel yang
sedang saya baca itu.
Sebagaimana yang
ditulis dalam surat Asumsi tersebut, Kerala, menjadi teladan dalam mengatasi
virus Corona. Bersama dengan Kuba dan Vietnam, Kerala dipuji-puji karena
keberhasilannya menangani virus Corona. Berbanding terbalik dengan India, yang
sangat lamban dalam merespon virus Corona, Kerala dengan tepat dan cepat
mengambil inisiatif untuk menangani virus ini. Sehingga, Kerala menjadi wilayah
yang menonjol ketimbang wilayah India yang lain. Hal ini yang akhirnya membuat
Kerala punya reputasi dan prestasi baik di mata dunia.
Setidaknya begitulah
yang ingin disampaikan Asumsi dalam surat 5.45-nya pagi itu. Lantas, apa yang
menmbuat Kerala menarik dan patut dijadikan teladan bagi kita? Rupanya, Kerala
punya sekian banyak infrastruktur terbaik di seantero India. Tidak hanya itu, tampaknya
keberhasilan Kerala juga didukung oleh kesadaran tinggi di masyarakatnya.
Selain karena
tingkat literasi yang tinggi, keberhasilan Kerala saya rasa selaras dengan
kedewasaan masyarakat di sana. Solidaritas sosial, kematangan
organisasi-organisasi, sikap gotong royong, hingga distribusi yang tepat
sasaran, menghasilkan capaian sebagaimana yang diharapakan masyarakatnya. Pertanyaannya,
apakah Indonesia sudah mempunyai itu semua? Andaikan belum, mungkin menjadi hal
yang amat sulit untuk mencontoh keberhasilan Kerala bukan?
Oke, saya akan
menarik keberhasilan Kerala ini, dan membandingkan hasil bacaan saya dengan
buku Roy tadi. Sesuai dengan apa yang tertulis di catatan penutup novel ini
dalam terjemahan bahasa Indonesianya, keberhasilan buku ini, beriringan dengan
pencapaian Ayu Utami. Lewat Saman yang memenangakan sayembara Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ), dan banyak diperbincagkan pada tahun 1998.
Serupa dengan yang
disampaikan oleh Dr. Janet Steele, George Washington University kepada Melani
Budianta, buku ini merupakan karya pertama seorang perempuan muda, yang
langsung mengorbit dan menimbulkan kontroversi. Lebih luas dari karya Ayu itu, buku
ini mengguncang dan menimbulkan pembelahan yang sangat jelas di sekian banyak
tempat. Bahkan, buku ini menjadi sebuah karya yang memastikan dualitas dan
dualisme dalam banyak masyarakat di berbagai belahan dunia.
Pertanyaannya,
mengapa bisa begitu? Jawabannya, buku ini ibarat shock therapy untuk dua kubu
yang saling bertolak belakang, dan semakin meruncingkan perbedaan yang setelah
sekian lama terpendam. Bagi kubu yang sepakat dengan buku ini, tentu saja
beranggapan kalau buku ini adalah master piece penggugah kesadaran
manusia menjelang abad ke-21. Bagi kubu yang menolak, tentu akan beranggapan
kalau buku Roy ini, adalah karya sampah yang tidak pantas dibaca. Apakah benar
demikian?
Di sini, saya akan
mencoba memberikan pendapat yang tampaknya berbeda sama sekali, dari dua
pilihan yang di atas. Pertama, sebagai pembaca karya Ayu Utami, saya tidak
menemukan sebuah adegan erotis yang sangat vulgar dari buku ini. Yang jika kita
bandingkan dengan novel Saman, buku ini tidak membangkitkan gairah
seksual saya sama sekali. Dan kalau hendak kita bandingkan dari sisi ini, tentu
buku ini akan kalah jauh dalam mengguncang ketabuan di masyarakat dibanding novel
Saman.
Namun, tentu
tidak akan elok kalau kita hanya mengukur dari satu sisi saja, bukan? Walaupun sebenarnya,
bagi kubu yang menolak buku Roy ini, adegan seksual begitu banal ditampilkan. Hal
demikian, menjadi alasan yang sangat dibuat-buat bagi saya. Hal tersebut, bagi
saya pribadi menandakan sebuah kekolotan dalam menilai sebuah buku sastra. Karena,
sastra tidak lahir dari aturan baku dan pakem yang dikehendaki masyarakat. Lantas,
kenapa sastra harus mengikuti aturan tersebut? Sungguh tidak masuk akal, bukan?
Kedua, tentang
Kepinggiran yang MahaKecil. Serasi dengan Indonesia, Kerala adalah negara
bagian yang punya identitas keragaman budaya, yang selanjutnya semakin dikusutkan
oleh kolonialisme. Sama halnya dengan Indonesia, hal ini menjadikan Kerala
tidak bisa hanya ditafsirkan oleh satu tafsiran semata. Kiranya begitulah yang
ingin Roy sampaikan lewat bukunya ini. Di saat yang sama pula, buku ini
menghadirkan hardikan yang langsung mengena pada monopoli tafsir tadi.
Tidak berhenti
sampai di situ saja, purwa-rupa atau keragaman identitas, menjadi hal yang
sangat indah dimainkan oleh Roy dalam buku ini. Dengan kata lain, sebuah
perbedaan adalah hal yang niscaya bagi Roy. Dan tentu saja, sampai kapanpun,
yang namanya perbedaan akan sulit untuk dihilangkan. Kesimpulannya, Roy lebih
menekankan kepada “Berbeda-beda lah yang akhirnya membuat bersatu. Bukan malah
satu yang menghilangkan semua perbedaan yang ada”.
Ketiga,
struktur dan tingkat kesulitan memahaminya. Setelah menemukan kesulitan membaca
dan memahami Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Marquez, pada
akhirnya saya harus bertemu kembali dengan pengalaman serupa ketika membaca
buku Roy ini. Namun, perbedaan dan tingkat kesulitannya, saya rasa masih lebih
tinggi buku Roy ini ketimbang Seratus Tahun Kesunyian. Lantaran, buku
Roy ini ibarat sebuah spiral. Yang tak urung membuat para pembacanya, harus
sabar dan rela berputar-putar dulu untuk benar-benar memahaminya.
Bahkan, dalam
kesulitan dan kerumitan tersebut, Roy sangat lihai menyisipkan sebuah kritikan.
Baik itu bagi dirinya pribadi, masyarakat di sekitarnya, India sebagai sebuah
negara, dan negara dunia pertama yang sering berlaku sok superior. Maka,
menjadi sebuah kepantasan jika buku ini sangat berkesan dan menohok ke ulu hati
sebuah kecongkakan. Ya, kecongkakan dari kita yang masih merasa lebih baik dan
pantas merendahkan yang lain. Melalui buku ini, Roy juga menyajikan secara
gamblang soal struktur karya yang mampu mengguncangkan sebuah dunia.
Keempat,
intelektualitas dan kearifan budaya lokal. Dari sekian banyak bab yang ada, Roy
terampil memainkan dan mencipatakan sebuah drama kehidupan yang penuh
kontradiktif. Hal ini akan kita temui dari beberapa tokohnya yang sangat gandrung
akan peradaban Barat, tetapi malah melupakan budaya aslinya. Seakan-akan, Barat
adalah sebuah penentu. Dengan kata lainnya, kritik Roy kepada Barat ini bukan
lahir dari ke-iri-an karena merasa tertinggal dari Barat. Lebih jauh dari itu,
Roy mencanangakan sebuah ajakan untuk kembali kepada asal-usul.
Alusi yang
digunakan Roy pun tidak bisa diremehkan. Dengan meminjam kebiasaan anak-anak
yang suka bercanda, Roy ibarat menertawakan kebodohan-kebodohan karena terlalu
menghamba pada Barat tadi. Sampai-sampai, untuk membalik kekeliruan tersebut,
Roy menggambarkan perilaku Rahel dan Estha tokoh utama dalam buku ini, membaca
dan menyebutkan kosakata dalam bahasa Inggris dengan carra terbalik. Ya, dari
belakang lalu ke depan. Malahan, dalam penulisan bahasa Inggris pun, Roy menolak
tunduk pada aturan baku.
Kelima, sebuah
syair yang amat panjang dan permainan bahasa lokal. Bukan hal yang berlebihan,
kalau saya menyebut buku ini sebagai sebuah novel berbaju “syair” yang amat
panjang. Tentu saja saya tidak hapal kata apa saja, dan di bagian mana saja yang
saya sebut sebagai “syair” tadi. Tapi untuk membuktikan hal tersebut, akan saya
masukkan salah satunya di bawah ini;
The had never
been shy of each other’s bodies, but
they had never
been old enough (together) to know
what shynyess
was.
Now they were. Old
enough.
Old.
A viable
die-able age.
Nah silahkan
artikan sendiri syair ini. Untuk yang bahasa Inggrisnya belum lancar, dan
kepada yang sudah lancar sekalipun, butuh tenaga ekstra mengartikan syair ini saya kira. Bukan
hanya menuntut kecakapan yang tinggi terhadap penguasaan syair, buku ini
menghendaki kita merelakan perasaan yang jauh lebih banyak ketimbang membaca
syair pada umumnya. Oleh sebab itu, hal ini pula yang menjadikan seorang Roy
sebagai arsitekutr kelas wahid dalam dunia sastra.
Penggunaan bahasa
lokal yang khas Kerala, menjadi pembukti bahwa Roy, tidak tercerabut dari akar.
Kata benda yang absurd, dan imaji yang konkret, menjadi cara Roy untuk
menjelaskan setiap tokoh yang ada dalam bukunya ini. Hal ini yang kemudian,
menjadi pembeda Roy dengan pengarang lain. Yang kebanyakan, mendeskripsikan
seorang tokoh secara gamblang, Pramoedya Ananta Toer, misalnya. Berkebalikan dengan
itu, Roy selalu menjelaskan seorang tokoh dengan cara yang tersirat.
Membaca buku
ini, memberikan pengalaman unik dan berharga bagi saya. Di samping membuat saya
lebih mengenal India tidak hanya melalui film saja, buku ini menjadi penunjuk atas
usaha keras seorang pengarang. Kemudian, lewat buku ini pula kita bisa
merasakan pergolakan seorang penulis dengan dunianya. Yang tak jarang, membuat
penulis akan merelakan idealismenya. Arundhati Roy, adalah gambaran murni tentang
bagaimana kemerdekaan sejati seorang penulis, yang seharusnya dan terus bisa “Mengusik
Kemapanan, dan Menanggalkan Kegagahan”.