Membaca Semasa dan Mendalami Makna Tentang Rumah
Saturday, April 18, 2020
Edit
Penulis: Gerbera*
Setelah sebulan berpuasa ke toko buku, akhirnya pada awal November
kemarin, saya menyempatkan diri mengunjunginya. Bersamaan dengan ulang tahunnya,
toko buku tersebut mengadakan diskon 30% untuk semua bukunya. Waw! Benar-benar kesempatan
yang tidak boleh dilewatkan. Hehe~
Saya menemukan buku Semasa di antara jejeran novel dan buku
milik penerbit Oak. Setelahnya, saya baru tahu bahwa ternyata buku itu terbitan
lama. Ah, tapi saya justru senang dengan buku-buku terbitan lama. Menarik juga
membaca sinopsisnya. Seketika, saya sambar buku itu dan langsung pergi ke kasir
dengan tiga buku lainnya di tangan.
Sengaja saya membacanya secara perlahan, karena topik dalam novel
tersebut juga membutuhkan waktu lebih untuk mendalaminya. Hingga akhirnya, saya
menyesal buku ini tandas pada waktu kurang dari 3 hari. Ah,
harusnya bisa lebih lama.
Semasa, karya Teddy
W. Kusuma dan Maesy Ang mengangkat tema yang sederhana, yakni tentang keluarga
dan rumah. Semasa sendiri bercerita
tentang sepasang sepupu, Coro dan Sachi yang kembali ke rumah masa kecil
mereka di Pandanwangi.
Sepasang sepupu tersebut dibersamai oleh orangtua mereka. Bibi Sari
dan Paman Giofridis merupakan orang tua Sachi. Sedangkan, Bapak merupakan Ayah
Coro. Bibi Sari dan Ayah Coro merupakan kakak-adik dengan hubungan yang sangat
dekat. Mereka kemudian membangun rumah tersebut sebagai rumah peristirahatan,
dengan harapan bisa menjadi tempat untuk pulang dua keluarga tersebut.
Paman Giofridis yang berasal dari Yunani, akan pindah bersama Bibi
Sari untuk menghabiskan hari tua di tanah kelahiran Paman Giofridis. Sedangkan
Sachi sendiri yang telah menempuh pendidikan hingga bekerja di Belanda, memutuskan
untuk tinggal di sana. Permasalahannya adalah, ketika mereka kembali ke rumah
tersebut setelah sekian lama. Dan mereka berniat menjualnya, rumah yang penuh
dengan kenangan tersebut harus berat hati, terutama Bapak, dipindah tangan ke
orang lain.
Yah, rumah selalu identik dengan
sebuah keluarga. Ada juga yang mengartikan 'rumah’ sebagai suatu kepulangan
atau hal lainnya. Rumah, tempat nyaman untuk berbagi peluk-peluk hangat dan
canda tawa lepas. Walaupun tidak sedikit juga yang menganggap rumah sebagai tempat
paling tidak menyenangkan. Karena kita juga tidak bisa memilih dari keluarga
seperti apa kita dilahirkan. Semua itu memang tidak jauh dari kenangan, dan
hal-hal yang terjadi didalamnya.
Bagi saya, rumah adalah di mana pun
kehangatan keluarga dapat terasa. Lebih dari apapun, rumah adalah tempat
ternyaman. Tempat meraih sunyi saat dunia luar sudah terlalu riuh. Walaupun tidak
menutup kemungkinan masalah akan selalu ada, entah masalah dari luar atau dari
dalam rumah itu sendiri.
Membaca Semasa, saya seperti diajak mendalami lagi makna
rumah dan kepulangan. Ada sensasi memutar kenangan-kenangan masa kecil dahulu. Sebagai
orang yang merantau sejak umur 12 tahun (pasca sekolah dasar), rumah adalah
tempat semua lelah itu meluruh.
Dulu, saat saya harus pindah dari rumah di Sukorejo ke Paciran, berat
rasanya meninggalkan rumah yang sudah dihabiskan selama masa kecil di sana
dengan keluarga yang masih utuh, Abah, Ibu, dan tiga kakak saya. Hingga
kemudian semua merantau (termasuk saya), dan hanya menyisakan orangtua di sana.
Sehingga, Abah dan Ibu memutuskan untuk pindah dari rumah itu.
Layaknya rumah Pandanwangi dalam Semasa, rumah Sukorejo juga
menyimpan banyak kenangan. Tapi bagaimanapun, ia tetap ‘rumah’, hanya benda
mati. Yang hidup adalah kenangan-kenangan di dalamnya.
Seperti kata Bibi Sari dalam Semasa, “Hidup memang
seperti itu, kamu melepaskan sesuatu, lalu memulai sesuatu. Rumah ini,
bagaimanapun, ya, benda mati. Yang hidup itu kenangan di dalamnya, juga
alasan-alasannya berdiri. Semua kedekatan emosional yang muncul darinya, juga
terhadapnya, itu tidak akan lepas, tidak akan hilang. Aku akan memegangnya
terus-menerus, memeluknya erat-erat di hatiku, sampai kapan pun” (hal. 101).
Entah mengapa, karya apapun tentang keluarga, baik film, buku,
seni, atau sekedar tulisan esai, selalu berhasil mengeluarkan sisi melankolis
saya. Seperti Film Keluarga Cemara, Gifted atau Miracle in Cell No. 7, semuanya
benar-benar berhasil membuat saya sedih dan menangis. Tapi tak apa, saya bisa
menerima sisi melankolis saya yang seperti ini.
Hingga pada akhirnya, saya berani memutuskan untuk menambahkan Semasa
karya Teddy dan Measy sebagai daftar novel favorit saya, setelah Norwegian
Wood milik Haruki Murakami dan Of Mice And Men karya John Steinbeck.
Cerita yang sederhana namun disampaikan dengan penuh makna, dibangun dengan
diksi yang menarik.
*"Mau hidup dengan seribu pohon"