Membaca Demokrasi Perspektif Kebangsaan dan Ideologi
Tuesday, April 21, 2020
Edit
![]() |
Sumber Foto: IG Marjin Kiri |
Identitas Buku
Judul: Rosa Luxemburg: Sosialisme dan Demokrasi
Penulis: Dede Mulyanto
Penerbit:
Marjin Kiri
Cetakan: November, 2019
Tebal: i-xx+253
Oleh Lenin, Rosa Luxemburg dijuluki sebagai “Sang Elang.”
Julukan ini bukanlah tanpa sebab. Riwayat hidup Rosa yang melalang buana dari
satu negara ke negara lain, merupakan salah satu faktor dirinya mendapat julukan
tersebut. Selain itu, secara kepribadian Rosa memang bukanlah sekedar perempuan
biasa. Konon, Tan Malaka pernah memberi saran kepada salah seorang murid
perempuannya “agar bertauladan kepada Rosa Luxemburg” (hlm 2).
Sosok yang satu ini memang tidak bisa didefinisikan
secara sederhana. Lahir dari seorang keluarga Yahudi dan orang Polandia, tidak lantas
menghalanginya untuk keluar dari kebiasaan agama yang dianut keluarganya, serta
kebiasaan orang-orang di negaranya. Rosa Luxemburg lahir 15 Maret 1871 di
Zamosc, sebagai anak bungsu dari lima bersaudara (hlm 13). Sedari kecil, Rosa
sudah dibiasakan membincangkan karya-karya pujangga Pencerahan dari Prancis dan
Jerman, serta karya sastra Polandia.
Rosa Luxemburg, bukanlah nama yang asing bagi para pejuang
kemerdekaan Indonesia masa silam. Mulai dari Alimin, Kasman Singodimedjo,
sampai Perdana Menteri pertama kita, Sutan Sjahrir, mengenal dan menekuni
pemikiran perempuan berkebangsaan Polandia ini. Akan tetapi, karya-karyanya
belum pernah secara utuh diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Yang artinya,
Rosa Luxemburg memang dikenal, tetapi ia bukanlah orang yang pemikirannya
dianggap penting.
Lewat buku yang ditulis oleh Dede Mulyanto ini, kita bisa
mengenal lebih dalam siapa sosok Rosa Luxemburg yang sebenarnya. Buku ini, bisa
disebut buku yang paling otoritatif menjelaskan siapa sebenarnya Rosa, dan
kontribusinya bagi percaturan pemikiran dunia. Meski buku ini adalah buku
biografi, kita tidak akan terjebak dalam sebuah kejenuhan ketika membaca buku
ini. Karena penulisnya sendiri menggunakan model riwayat untuk menyajikan
pemikiran Rosa Luxemburg.
Ada banyak hal yang bisa kita petik dari kehidupan Rosa.
Salah satunya yaitu perihal kebangsaan. Pelajaran yang bisa kita ambil justru
melalui kesalahan yang pernah diperbuatnya. Akan tetapi, kesalahan Rosa ini
bukanlah kesalahan seorang Chauvinis dengan nasionalisme yang sempit. Namun
kesalahan yang jujur dari seorang “Revoluisoner sejati.”
Dalam konteks Indonesia dewasa ini, menjadi penting kiranya
bagi kita untuk mengenal lebih dekat siapa sebenarnya sosok Rosa. Penyempurnaan
alat komunikasi dalam bentuk komputer, internet, satelit, dsb bagi kita kebanyakan,
tentu sebagai sebuah kemajuan yang niscaya. Dan secara tidak langsung menjadi
perangkat pendukung dari demokrasi itu sendiri.
Namun menurut Rosa, hal-hal yang demikian alih-alih
memajukan, justru malah menyiapkan “krisis bagi demokrasi dalam bentuk yang
paling parah.” Selain itu, kekhawatiran Rosa dan kritiknya terhadap demokrasi,
nyatanya benar-benar terjadi di Indonesia. Di mana demokrasi kita sekarang
dikuasai oleh segelintir elit oligarki, baik oligarki politik dan oligarki
ekonomi. Hal inilah selanjutnya yang menjadi ihwal penting dari pembahasan di
dalam buku ini.
Demokrasi bisa diibaratkan sepotong kue. Semua golongan
dan kelas mana pun pasti memperebutkannya. Hal itu bukan tanpa dasar saya kira.
Karena melalui demokrasi lah, kepentingan kelas dan golongan bisa terwujud.
Apalagi melihat kondisi Indonesia pasca Reformasi, di mana kepentingan kelas
dan golongan begitu ditonjolkan. Kondisi demikian, yang membuat demokrasi akhirnya
dimanfaatkan untuk kepentingan sedemikian rupa.
Di Indonesia, kita mengenal demokrasi tidak seperti yang
dipahami oleh Rosa. Pasalnya, demokrasi kita sudah terlanjur menjadi
demokrasi-liberal. Sejak tumbangnya orde baru, muncul semacam euforia di
kalangan pejuang demokrasi. Dengan semboyan “reformasi”, kita menganggap kalau
penindasan sudah berakhir. Padahal, kondisi yang terjadi selanjutnya tidaklah
demikian. Dengan adanya otomoni daerah, perjuangan untuk mewujudkan demokrasi
malah tidak lagi terpusat dalam satu gerakan perjuangan yang utuh. Melainkan
terpisah-pisah dan terpecah-belah.
Hal ini yang kemudian menjadi tepat kalau kita belajar
dari kisahnya Rosa. Di Polandia, nasionalisme tidak sesederhana seperti di
Indonesia. Karena Polandia waktu itu, terbagi menjadi tiga wilayah bagian.
Selain itu, kondisi demokrasi Polandia tidak menunjang demokrasi terwujud
sepenuhnya. Akan tetapi berbentuk demokrasi semu, demokrasi yang hanya bisa
dinikmati oleh segelintir kalangan, terkhusus kalangan elit dan para orang
kaya.
Rosa Luxemburg jelaslah seorang Marxis. Bahkan bisa
dibilang kalau ia adalah seorang Marxis yang ortodoks. Dengan ideologi yang
dianutnya, menurut Rosa, “demokrasi” bukanlah kue yang mewah bagi sebuah
kehidupan di suatu negara, dan bukan menjadi tujuan final. Melainkan sebagai
hal yang niscaya. Kondisi tersebut yang selanjutnya membuat Rosa berbeda
pandangan, dan berseberangan dengan sejawat perjuangannya kala itu. Sekaligus
posisi yang mengukuhkan bahwa ia tidak mengamini nasionalisme menjadi prioritas
untuk mewujudkan demokrasi.
Menurut Rosa, sebagai ideologi politik, “nasionalisme”
hanya akan merecoki kesadaran pejuang demokrasi. Karena mengalihkan dengan
urusan-urusan yang sifatnya terjebak pada persoalan tanah air dan kebangsaan.
Contohnya seperti keutuhan wilayah dan kerukunan antar sesama. Hal tersebut
sepenuhnya ditampik oleh Rosa. Menurutnya, demokrasi dan nasionalisme tidak
bisa dipadukan, karena memang tidak kompatibel.
Sering kali memang terjadi saling tindih dari yang
namanya nasionalisme dan demokrasi. Akan tetapi, untuk konteks di Indonesia
justru hal tersebut sebenarnya sangat mungkin diatasi. Melihat sejarah
perjalanan Reformasi sampai hari ini, saya kira memang tidak bisa
menyederhanakan persoalan yang ada. Perlulah memang kiranya kalau kita
mengambil semangat kesetaraan, yang menjadi salah satu seruan perjuangan dari
seorang Rosa.
Tentunya sebagian dari kita masih beranggapan bahwa
nasionalisme masih punya tenaga progresifnya. Terutama untuk menyelesaikan
masalah kepentingan ekonomi dan politik kita hari ini. Di bawah bayang-bayang
yang bernama bangsa Indoensia, patut jikalau kita mengilhami hal tersebut
sebagai takdir yang menjadikan kita senasib dan setanah-air.
Hal ini yang kemudian harus kita susun menjadi bekal
untuk mendewasakan demokrasi kita. Agar tidak ada lagi tuduhan kepada sebagian
golongan yang dianggap separatis. Karena memang pada dasarnya kita adalah sama,
sama-sama menjadi bagian dari Indonesia.
Ada kalanya biografi seorang tokoh tidak melulu
menjenuhkan. Sampai hari ini, sebelum saya membaca buku ini, secara pribadi
saya memang terkesan dengan biografinya Sjahrir. Tak disangka, seorang Sjahrir
yang demokrat ternyata juga menganjurkan untuk membaca karya-karya Rosa yang
dianggapnya sebagai seorang demokrat sejati.
Melalui hal tersebut, saya kira buku biografi ini memang
cocok dibaca oleh semua kalangan, apalagi dengan kondisi kita sekarang. Bukan
hanya karena ia seseorang yang tidak pernah berhenti menyuarakan kesetaraan.
Akan tetapi, supaya kita juga bisa belajar dari kesalahan masa lalu seorang
demokrat sejati.