Mainan Uang
Friday, April 17, 2020
Edit
Penulis: Kusmi Novitasari
“Tidak salah lagi.”
Maklumat kedua itu adalah lanjutan dari maklumat pertama
tempo lalu. Lamat-lamat aku mulai mengerti, kalau maklumat kedua dan pertama
tempo lalu hanyalah akal-akalan dari pemerintah wilayah Lamunan Antah Berantah.
Sambil kuletakkan jari di daguku dan memperpanjang lamunanku, aku tersadar
bagaimana ini semua menjadi tidak masuk akal. Ya, benar-benar tidak masuk akal
sama sekali. Dan sudah jelas, ini yang dinamakan mencari untung dalam
kesusahan, atau mengambil kesempatan dalam kesempitan.
“Sungguh, aku tidak habis pikir”, ucapku dalam hati.
Bagaimana pemerintah tega mengelabui rakyat yang sedang susah ini. Yang memang
selalu susah hidupnya sejak wabah ini pun belum datang. Tapi kenapa? Kenapa
mereka setega itu kepada kami. Kami yang dianggap tidak tahu-menahu duduk
persoalannya, tetap saja jadi korban keserakahan. Pun kami sebenarnya tidak
ingin dibegitukan. Kami tidak ingin hanya menjadi korban dari perut-perut yang
sedang kelaparan, dan korban dari kantong-kantong para perampok itu.
Benar, ini sudah jelas. Tidak salah lagi. Kalau ini
bukanlah sebuah permainan, bagaimana akan secepat itu. Bagaimana bisa uang yang
begitu banyaknya habis dalam sekejap. Kalau tidak mereka bagi-bagi untuk diri
mereka sendiri. Sedangkan, sedangkan kami belum merasakan uang yang harusnya
diperuntukkan kepada kami. Ya, kami yang rakyat kerajaan Lamunan Antah Berantah
ini.
“Jadi maksudmu kita ini dikelabui ndre?” tanya Resno yang
seketika membuyarkan lamunanku siang itu.
“Ini tak bisa ditunggu lagi, No. Kita akan sampaikan pada
masyarakat, kalau inilah yang disebut sebuah pembodohan. Pembodohan yang sudah
direncanakan sejak awal. Masalah ini kita harus usut tuntas sampai ke akar.
Kalau terus dibiarkan, bukan tidak mungkin, kita dan rakyat Lamunan Antah
Berantah ini pasti mati kelaparan.”
Belum ada tanggapan dari Resno, ia masih seakan
memikirkan sesuatu untuk menjawab perkataan Andre barusan. “Bukankah niat awal
kita tidak begini, Ndre? Harusnya kita tidak perlu memancing kemarahan yang
lain. Kalau seperti ini bukannya nanti kita akan dianggap pembuat onar?”
“Persetan dengan itu, No. Yang paling penting bukanlah
bakal jadi seperti apa kita nanti, dan dianggap apa oleh para perampok itu. Ini
soal kemaslahatan bersama, No. Setidaknya kamu harus mendukungku, karena ini
bukan hanya kepentingan kita lagi. Ini kepentingan semua orang, dan untuk semua
orang.”
Andre dan Resno yang awalnya masih menaruh kepercayaan
kepada wakil rakyat itu, akhirnya tidak bisa tinggal diam. Tepat setelah
maklumat kedua itu keluar. Yang dianggap oleh Andre dan Resno sebagai sebuah
pengumuman penipuan. Maklumat yang berisi pemangkasan anggaran daerah, yang
rencananya akan disalurkan untuk mengatasi wabah yang sedang melanda Lamunan
Antah Berantah saat ini. Namun nyatanya, alih-alih disalurkan, rakyat tidak ada
yang tahu ke mana semua uang itu. Uang sejumlah 18 milyar lebih hilang dalam
waktu belum sampai satu minggu. Bagaikan sirna ditelan bumi.
Yang gilanya lagi, adalah isi maklumat kedua itu. Setelah
uang yang tidak sedikit sebelumnya belum dirasakan dampak dan manfaatnya oleh
rakyat Lamunan Antah Berantah, pemerintah sudah bersiap menganggarkan dana yang
jumlahnya jauh berkali-kali lipat dari sebelumnya. Prakiraan, dana yang akan
diambil untuk menangani wabah impor ini senilai 100 milyar lebih. Bayangkan,
silahkan kira-kira sendiri jumlah uang yang segitu. Meski disebut sebagai keharusan,
karena ini sudah instruksi dari pemerintah pusat Karta Jaya sana, tetap saja
tidak masuk di akal. Pasalnya, sejak wabah ini dianggap sebagai sebuah ancaman,
pemerintah Lamunan Antah Berantah masih terlihat santai-santai saja.
Dengan kata lain, ini bakal menjadi malapetaka di
kemudian hari. Yang jika terus dibiarkan, akan memakan korban yang tidak
sedikit. Karena yang seharusnya difasilitasi oleh uang itu adalah rakyat, bukan
mereka para perampok tak tahu malu itu. Bukannya mereka yang banyak duduknya
dan ngocehnya itu. Bukan, sekali lagi bukan. Uang itu adalah hak kami, hak
rakyat Lamunan Antah Berantah. Karena kamilah yang seharusnya dilindungi.
Bukannya malah dibodohi seperti ini.
“Tapi Ndre, bukannya kita bakal cari mati kalau begini?
“Kata siapa No? Sejak kapan kau jadi banci macam begini?
Sejak kapan kau takut kepada orang yang juga sama-sama makan nasi? Lebih baik
mati hari ini No, daripada mati besok kalau aku harus ikut-ikutan menjaga
kebohongan ini. Kebohongan yang aku juga menjadi korban di dalamnya!”
“Lalu apa yang kau mau perbuat, Ndre? Bagaimana juga kita
menyadarkan rakyat kalau ini adalah penipuan? Bukannya kita tidak punya kenalan
di parlemen sana?”
“Ah, sejak ada wabah ini otak kau semakin tumpul saja No.
Ayolah, jangan pura-pura bego, sekarang bukan waktunya bercanda. Keadaan sudah
genting, kau masih saja mau melawak. Pantek memang kau ini.”
“Ini aku serius Ndre. Aku sedang tidak melawak. Aku
benar-benar kehabisan ide soal ini.”
“Ya sudah kalau begitu, kau ikuti rencanaku saja. Dan
jangan bocorkan ke siapa-siapa rencana ini. Sampai kita sudah yakin merasa
menang. Paham?
Resno masih mencoba mencerna pertanyaan sekaligus
permintaan Andre barusan. Dengan wajah bingungnya, ia masih belum paham
sepenuhnya dengan rencana yang sedang Andre buat.
“Lalu, mau kau apakan rencana itu. Apa yang bisa kita
lakukan dalam jangka waktu dekat ini? Bukannya kita tidak bisa mengumpulkan
orang gara-gara adanya khitah ‘dilarang berkumpul’ ini?”
“Ai ai ai, kalau ada otak dipake dong, No!” Andre merasa
geram tapi masih bisa menahan amarahnya. Dia sadar, cuma Resno yang bisa
diandalkan untuk urusan ini. Komunikasi Resno ke publik jauh lebih baik
ketimbang dirinya. Oleh karena itu, Andre sadar betul apa yang harus ia perbuat
agar rencana penyadaran ini berhasil. Ya, dia membutuhkan Resno. Orang yang
bisa menyampaikan gagasannya kepada orang banyak dan lebih luas.
“Jadi begini, No. Walaupun kita dilarang berkumpul, toh
kita masih punya alat komunikasi. Itu alat yang selalu kau bawa ke mana-mana.
Yang sering kau pake nonton bokep itu.” Andre mencoba menyindir Resno dengan
halus. Berharap Resno langsung paham dengan apa yang ia maksud.
“Hehehe kau ngejek aku yo, Ndre?
“Syukurlah kalo Resno Sadar”, ucap Andre dalam hati.
“Tapi, Ndre. Aku masih belum paham bisa apa kita dengan
alat komunikasi ini.”
“Alamak, awak kira kau sudah paham, No. Rupanya otak kau
tumpul nian sekarang, sejak libur mencari berita. Tidak awak sangka kalau teman
awak jadi dungu sekarang.
“Hahahaha”, tawa pecah dari mereka berdua sampai
terdengar ke rumah samping kiri dan kanan.
“Kau ini Ndre, gak puas-puas ngejek aku dari tadi. Sudah
sampaikan saja apa yang harus aku lakukan. Aku ini orang lapangan, bukan
konseptor kayak kau. Harusnya kau bersyukur punya teman sehebat aku di
lapangan, hehehe”, ucap Resno.
“Inilah kalau keseringan nonton bokep No. Harusnya kau
sudah paham sejak tadi kalau mengurangi sedikit aktivitas nonton bokepmu.”
“Aiihhh, sudahlah jelaskan saja”, ucap Resno yang sudah
tidak sabar lantaran disindir dari tadi.
“Nah, kau kan sudah tahu sendiri, ada larangan berkumpul,
dan rakyat yang lain sudah paham betul dengan larangan itu. Tapi coba aku
tanya, kira-kira masih memungkinkan tidak, adanya demonstrasi kalau rakyat tahu
yang sebenarnya. Kalau uang 18 milyar kemaren, ditambah lagi rencana anggaran
100 milyar dalam jangka waktu dekat ini, adalah sebuah penipuan?
“Tergantung kondisi. Kalau memang keadaannya sudah
memaksa, pasti rakyar tidak akan tinggal diam. Dan bukan tidak mungkin rakyat
turun ke jalan menuntut apa yang sudah jadi hak mereka. Apalagi kalau
keadaannya semakin parah, Ndre. Terlebih kalau harga barang sudah banyak yang
naik, dan banyak barang yang sudah langka di pasaran.”
“Oi cerdas juga ternyata kawanku satu ini.”
“Ai panteklah kau ini. Cepat dikit sampaikan saja
rencanamu itu.”
“Yo, yo, sabar dulu. Dari apa yang kau bilang tadi, aku
akan menyadarkan rakyat kalau rencana pemerintah untuk anggaran 100 milyar itu
adalah penipuan. Dan lagi, aku akan menyadarkan rakyat kalau uang 18 milyar
yang seharusnya kita nikmati, tidak pernah ada transparansi dari pemerintah.”
“Terus?.”
“Nah, makanya aku akan menulis sebuah selebaran yang berbentuk
semacam pengumuman, kalau masalah ini sebenarnya tidak bisa terus kita diamkan.
Sudah waktunya rakyat bergerak. Dan melawan pemerintah yang kurang ajar itu.”
“Lalu apa ukurannya rakyat akan sadar dengan hal itu,
Ndre?”
“Haduh, berlagak bego kau ini. Emang sialan betul. Kau
pengen mengujiku?”
“Oh ya jelas, aku harus tahu dulu, Ndre. Sebelum rencana
ini aku sebarkan. Dan aku juga bisa menghitung-hitung apakah rencana ini akan
berhasil atau tidak.”
“Oke, baiklah. Kau kan tahu sendiri, kita berdua ini wartawan.
Wartawan mana mungkin tidak punya data, bukan? Itu koran yang menumpuk di pojok
kamarmu, bukannya itu bisa kita jadikan data. Kan kau juga tahu, selama ini
tidak ada pemberitaan soal transparansi dana sebesar 18 milyar itu.”
“Hmmm, betul juga. Terus ndre, ini terakhir. Seperti yang
kau bilang di awal tadi, dan sebelum rencana ini aku sebarkan, apa ukuran kalau
kita bakal menang?”
“Pertanyaan yang bagus, No. Semakin banyak yang menerima
pesan selebaran itu, dan semakin banyak yang menjadikan itu stori, maka di situ
semakin besar kemungkinan kita menang.
“Oke, kalau gitu. Segera buat selebaran pengumuman itu
Ndre. Biar sore ini aku bisa sebar. Syukur-syukur besok kita bisa langsung
kumpul untuk demonstrasi di depan kantor Wedana Lamunan Antah Berantah.”
“Siap, No. Aku suka kalau ada kawan semangat kayak kau.”
Dan begitulah sekelumit kisah ini. Andre langsung membuat
selebaran pengumuman penipuan itu. Yang isinya tentu saja mempertanyakan
transparansi dana yang tak kunjung datang kepada rakyat Lamunan Antah Berantah.
Sore itu juga Resno langsung menyebarkan selebaran pengumuman itu. Keadaan
menjadi heboh dan riuh seketika. Rakyat banyak yang tak habis menduga dengan
kelakuan para wakil rakyatnya. Dan ada kemungkinan besar, besok harinya mereka
akan melabarak kantor Wedana Lamunan Antah Berantah. Untuk mengambil hak mereka
yang selama ini dicuri oleh Wedana dan orang-orangnya.
Malam itu, Andre bisa tidur dengan nyenyak dan berharap
mimpi indah. Baginya, tak menjadi soal berapa banyak orang besok yang hadir.
Setidaknya ia merasa sudah menjalankan kewajibannya. Kewajiban untuk
menyadarkan rakyat yang dirampok uangnya. Rakyat yang ditindas perlahan, dan
ditikam diam-diam~