Kisah Pertarungan yang Menenangkan
Friday, April 17, 2020
Edit
Identitas Buku
Judul: Yang Bertahan dan Binasa Perlahan
Penulis: Okky Madasari
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: November, 2018
Tebal: 196
Gelisah sebelum
akhirnya menjadi tenang~
Apakah ketenangan
merupakan sebuah keniscayaan? Apa yang melatari dan membuat diri seseorang
menjadi tenang? Apakah karena itu sudah bawaan dari lahirnya sebagai seseorang
yang tenang? Ataukah karena ia sudah sarat dengan pengalaman? Dan sudah sangat
erat dan lekat dengan pahit-asamnya kehidupan. Sehingga tidak ada lagi yang
mampu membuat ia gelisah. Kecuali kegelisahan itu sendiri?
Kenapa pula
akhirnya bisa menjadi tenang? Apakah tidak terdapat lagi rumus di pikiran, hati
dan jiwanya tentang sebuah kegelisahan? Bagaimana caranya agar ia bisa setenang
itu? Bukankah manusia tidak akan bisa tenang dalam waktu yang cukup lama? Sejak
kapan dan ketika apa kita bisa disebut tenang? Siapa orang yang paling tenang
di dunia ini? Bukankah Nabi Muhammad SAW, juga tidak pernah tenang dalam waktu
yang cukup lama seumur hidupnya? Lantas, kenapa kita harus tenang-tenang saja?
Walaupun berisi
cerita yang penuh dengan pertarungan, buku kumpulan cerpen Okky Madasari yang
berjudul Yang Bertahan dan Binasa Perlahan, menyimpan semacam kesejukan
di dalamnya. Itulah yang saya rasakan setelah menyelesaikan membaca buku ini. Meski
isinya tentang kumpulan kegelisahan, yang tergambar dari setiap pertarungan,
baik itu pertarungan dengan batin sendiri dan pertarungan dengan sesuatu yang
ada di luar tokoh-tokohnya, tetap saja ia menghadirkan ketenangan di dalamnya.
Sembilan belas
cerita pendek yang ada di dalam buku ini, berisi keresahan yang akhirnya
membuat kita berpikir. Bahwa, kehidupan ini tidak akan terlepas dari yang
namanya pertarungan. Dari sini, kita seharusnya sudah bisa membedakan, mana
yang bisa disebut pertarungan, dan mana yang bisa disebut sebagai sebuah
persaingan. Karena dua hal ini berbeda sama sekali. Yang kalau kita pribadi
tidak jeli, maka akan terjebak dalam sebuah kekeliruan yang mendalam.
Berangkat dari
hal itu, buku ini pantas saya sebut sebagai penunjuk jalan. Ia bisa berbentuk
kompas secara konvensional, atau Google Maps yang lebih modern, bahkan bisa
juga berbentuk plang yang banyak dipasang di jalanan. Saya pribadi lebih
sepakat dan memilih buku ini mirip plang yang banyak berada di jalanan. Karena,
kehadiran buku ini hanya menghantarkan pembaca untuk menemukan jalan yang ingin
dituju. Tanpa benar-benar mengarahkan ke tujuan yang ingin dicapai.
Seperti yang
sudah saya sebutkan sebelumnya, buku ini bisa ditafsirkan sebagai apa saja. Bisa
kompas, bisa Google Maps, dan bisa juga plang. Namun yang perlu kita ketahui, tiga
hal ini sangat-sangat berbeda antara satu sama lain. Misalnya saja kompas. Ia
hanyalah alat penunjuk arah mata angin, yang perlu ketelitian dan kemampuan
tersendiri membacanya. Dan apabila kita tidak teliti dan tidak punya kemampuan
membacanya, maka kompas tidak akan bisa disalahkan. Karena sesungguhnya
kesalahan itu berawal dan datang dari kita.
Beda lagi
halnya dengan Google Maps yang lebih modern. Ia bisa menunjukkan jalan mana
yang harus dilewati agar kita bisa sampai ke tujuan dengan tepat. Bahkan, sampai
ke detail jalan dan kondisi jalan yang akan kita lalui. Tapi masalahnya,
meskipun Google Maps tidak membutuhkan kemampuan tersendiri untuk membacanya,
ada prasyarat agar alat ini bisa berguna. Ya, kita harus punya paket data atau kuota. Dan apabila kita tidak
punya, maka alat yang satu ini tidak akan berguna sama sekali. Kecuali kita
bisa mendapat Wi-Fi gratis.
Selain itu,
Google Maps dan kompas juga bisa sama-sama menyesatkan sebagai sebuah alat. Kompas
akan eror jika medan magnet di sekitarnya sangat kuat. Yang membuat jarum
penunjuknya tidak lagi normal. Sehingga arah yang ditunjuk menjadi tidak
karuan. Begitu pun halnya dengan Google Maps. Ia sering mengalami eror, yang
tidak jarang menyesatkan, dan membuat penggunanya putar-putar terlebih dulu
sebelum sampai ke tujuan. Penyebabnya bisa apa saja, bisa kondisi jaringan yang
lemah, bisa kuota yang sudah habis, dan penyebab lainnya.
Jika diibaratkan
sebagai manusia, dua alat tersebut punya sifat yang sama sekali berbeda. Kompas
tidak ingin membuat penggunanya menjadi seorang yang manja. Oleh karenanya, kompas
hanya akan bisa terbaca dan digunakan oleh orang yang punya kemampuan
membacanya.
Google Maps
adalah kebalikannya. Ia adalah alat yang sangat memanjakan penggunanya. Terbukti,
para penggunanya bahkan sampai diarahkan sampai sedemikian rupa. Bisa memilih
jalan yang paling cepat, bisa mencari restoran terdekat, atau tempat lain yang
sekiranya ingin disinggahi oleh para penggunanya. Semacam diberi pilihan,
padahal nyatanya tidak benar-benar bisa memilih. Lantaran sudah diatur oleh
Google Maps sendiri.
Menimbang apa-apa
yang sudah saya jelaskan di atas, oleh karena itu saya lebih suka memilih
mengibaratkan buku Okky ini sebagai plang penunjuk jalan. Yang tidak perlu
kemampuan tersendiri untuk membacanya seperti kompas, dan tidak membutuhkan
prasyarat lainnya yang sedikit meribetkan seperti Google maps. Plang di jalan
hanya sekedar menujukkan. Ia memberikan pilihan sepenuhnya kepada para pembaca,
dan memberikan pula keputusan sepenuhnya kepada pembaca untuk menafsirkan.
Plang di jalan,
kehadirannya semacam tidak dibutuhkan, tapi ketiadaannya juga akan merepotkan. Ya,
begitulah pula saya mengibaratkan buku ini. Ia tidak menuntut lebih. Tidak pula
ingin dipercayai sepenuhnya. Karena ia hanya bertugas sebagai penunjuk jalan. Selebihnya,
para pembaca sendiri yang akan menentukan, akan dibuat apa hasil bacaannya.
Pun juga akan
dibagaimanakan hasil pembacaannya. Apakah akan mengikuti hasil tunjukkan yang
sudah diberikan, atau malah memilih jalan yang lain, tidak akan menjadi soal
saya kira bagi penunjuk jalan.
Saya lantas
teringat dengan bukunya Kawabata, yang berjudul Daun-daun Bambu setelah membaca
buku ini. Okky, sama halnya dengan Kawabata saya rasa. Ia tidak ingin
mengibaratkan pembaca sebagai pembeli, yang biasanya ingin disamakan dengan
raja. Saya sepakat dengan hal itu. Pembaca bukanlah raja sama sekali. Pembaca tidak
berhak menuntut kejelasan dari apa yang dibacanya. Pembaca justru harusnya bisa
mencari letak kejelasan itu saya kira. Bukannya melulu hanya diam menunggu,
ibarat anak burung yang disuapi induknya.
Begitulah kira-kira
saya menilai buku ini. Buku ini sama sekali tidak memanjakan para pembacanya. Pun
juga tidak bisa disebut membuat nyaman para pembacanya. Akan tetapi, buku ini
sangat menggugah siapa pun yang membacanya. Setidaknya begitulah anggapan saya.
Okky juga sangat
mahir menugasi pembaca untuk kembali mengingat pengalaman hidupnya. Ya, pantas
pula kalau buku ini saya anggap sebagai sebuah alarm. Alarm yang mengingatkan
kita. Tentang apa saja yang harusnya kita ingat. Dan lagi, buku ini
menenangkan. Menenangkan tapi tidak menghanyutkan~