Kawabata, Kumpulan Satwa, dan Daun Bambu
Thursday, April 9, 2020
Edit
![]() |
Sumber Foto: kineruku.com |
Identitas Buku
Judul: Daun-daun Bambu
Penulis: Yasunari Kawabata
Penerjemah: Nurul Hanafi
Penerbit: EA Books
Cetakan: Desember, 2015
Tebal: v-xvii+154
Jujur, walaupun
saya punya keinginan kuat bisa berkunjung ke Jepang, pengetahuan saya tentangnya
minim sekali. Yang saya tahu, hanyalah sebatas anime dan beberapa masakan
Jepang yang terlihat sangat menggiurkan. Selain itu, saya cuma sedikit paham
dengan keindahan bunga Sakura dan gunung
Fuji di sana.
Entah, masih
perlu menunggu waktu berapa lama lagi agar saya bisa ke sana. Tetapi yang pasti,
dari lubuk kecil hati saya yang paling dalam, setidaknya sekali dalam seumur
hidup, saya sangat ingin menginjak tanahnya para Samurai dan kiblatnya anime
itu. Yang nanti dengan siapa dan kapannya, tak jadi soal bagi saya.
Selain memang
sejak kecil sudah membayangkan bisa ke sana, saya sekarang terikat janji dengan
seseorang. Janji yang berkaitan dengan tanah Jepang juga. Janji yang sangat
ingin saya tepati. Janji di mana saya dan dia, nantinya bisa ke Jepang bersama.
Dan mengabadikan momen itu dalam lanskap sebuah foto, yang latar belakangnya
adalah gunung Fuji dan pohon bunga Sakura yang bermekaran. Andaikan saja bisa
begitu~
Bicara soal
sastra Jepang, literatur saya tentangnya juga sangat minim. Dari sedikit buku
yang pernah saya baca, belum pernah ada sastra terjemahan Jepang. Sampai pada
suatu waktu, ketika saya berkunjung ke asrama seorang teman, saya menemukan
buku kumpualan cerpen Kawabata yang berjudul Daun-daun Bambu, tergeletak
di rak buku kamarnya. Saya pun langsung mengambil buku tersebut, dan
membolak-balikkan seadanya, sembari menunggu sang tuan kamar yang sedang mandi.
Buku yang
diterbitkan EA Books ini langsung mencuri perhatian saya siang itu. Covernya yang
bergambar daun bambu dan dibuat agar terlihat mirip seperti yang ada di anime,
semakin menggoda saya untuk meminjamnya. Tidak perlu menunggu waktu yang lama,
dan tanpa pikir panjang, saya beranikan diri untuk meminjam buku tersebut. Beruntungnya
saya, sang pemilik bersedia meminjamkan.
Sebelum akhirnya
kami berangkat ngopi, terlebih dulu kami ngalor-ngidul mengobrolkan buku
tersebut. Tentang siapa penulisnya, tentang apa yang menjadi tujuan tulisannya,
sampai kepada siapa yang paling menggetoli karya-karya Kawabata. Siapa sangka,
pengetahuan saya soal sastra Jepang bertambah hari itu. Dan saya patut
mengucapkan terima kasih kepada teman saya sekaligus sang pemilik buku.
Yasunari Kawabata,
memanglah bukan nama yang asing bagi pembaca sastra di Indonesia. Tapi saya
ingin menggaris bawahi pernyataan tersebut. Dengan kata lain, nama Kawabata
tidak menjadi asing bagi mereka yang memang menggemari sastra Jepang. Selain memang
sudah banyak diulas oleh sastrawan angkatan tua, tapi nyatanya nama Kawabata
hari ini tidak sebersinar dulu, khususnya di Indonesia. Entahlah. Bisa jadi
karena selera pembaca sastra di Indonesia yang sudah bergeser, atau memang karena
ada faktor lain yang memengaruhi.
Dari sembilan
judul karya Kawabata yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, dengan
beragam pilihan dan tawaran yang disuguhkan, membuat Kawabata selalu mengalami
perubahan ketika ditafsirkan. Tidak hanya berhenti sampai di situ, Kawabata
menurut saya pribadi punya keunikan tersendiri. Keunikannya ini, saya rasa
tidak akan diketahui ketika kita cuma selesai membaca satu judul karyanya.
Ditambah lagi,
bahkan dalam buku ini saja, Kawabata mampu mengalami perubahan yang kadang
sulit jika diukur memakai cara pandang aliran sastra pada umumnya. Ia bergerak
ke arah yang tidak tertebak. Saking dinamisnya, ia bagaikan berubah menjadi air
yang cair, dan mengisi ruang-ruang kosong yang tidak bisa diisi oleh benda
padat. Dengan kata lain, ia menjadi daun bambu itu sendiri. Yang susah
ditangkap ketika ia gugur dengan sendirinya.
Dengan analogi-analogi
serta simbol yang ia sisipkan pada cerpen-cerpennya, para pembaca diminta agar
bekerja keras membaca, memahami, dan menafsirkan jalan pikiran serta imajinasi
si Kawabata. Ibarat sebuah pom bensin, Kawabata adalah pemilik pom bensin
tersebut, dan para pembaca adalah para pembeli yang datang kepadanya. Jika ingin
mengisi bahan bakar (baca: pengetahuan) lewat karya-karya Kawabata
(baca:bensin), para pembeli dan pelanggan harus rela mengisi sendiri bensin itu
ke kendaraannya (baca:otak).
Jika tidak
begitu, bukan Kawabata namanya. Selain itu, Kawabata adalah pencerita yang
handal. Lewat unsur binatang dan terkhususnya burung-burung, Kawabata mengajak
kita berjalan-jalan lewat bukunya ini. Kita diajak untuk lebih mengenal lagi
berbagai macam jenis burung secara khusus, dan kumpulan satwa pada umumnya.
Kawabata, adalah
orang yang juga menolak tunduk pada suatu pakem tertentu dalam sastra dan dalam
pemikiran. Baginya, tidak penting keberpihakan kepada siapa, jikalau pribadi
seseorang harus menjadi budak dari keberpihakannya. Sebagiamana yang ia
sepakati, seseorang haruslah menjadi tuan bagi pemikiran dan dirinya sendiri. Bukan
malah menjadi hamba mengikuti alur mainstream yang ada. Oleh karena itu,
ia lebih menekankan intuisi, dan menolak segala intervensi yang datang dari
luar diri.
Hal ini yang
selanjutnya, ketika membaca cerpen-cerpen Kawabata, kita akan menemukan sebuah
ketajaman deskriptif tentang alam dan sekumpulan makhluk hidup di dalamnya. Yang
secara tidak langsung, merupakan ekspresi emosional yang ada di dalam diri
Kawabata. Dengan kata lain, Kawabata juga tidak menghilangkan identitasnya
sebagai orang Jepang. Bahkan sudah masuk ke fanatik bagi saya.
Namun hal itu
tidak menjadi soal. Karena kalau kita cerdik, kita akan lebih memilih
meneruskan imajinasi, ketimbang menunda menyelesaikan membaca karya Kawabata
ini. Keberanian Kawabata lainnya ialah, ketika ia seakan berdiri di atas dua
sisi dalam buku ini. Sisi pertama, ia akan begitu detail mengisahkan imajinasi
yang ada di kepalanya. Tapi di sisi lain, ia seakan bermain teka-teki, yang akhirnya
membuat para pembaca akan sibuk menakar maksud si Kawabata.
Membaca kumcer ini, saya kira tidak cukup berhenti pada sebuah rasa takjub. Keganjilan, keheranan, dan kepelikan yang ditimbulkan ketika kita membaca kumcer ini, sangat baik jika kita selesaikan. Kawabata, pada akhirnya juga bisa kita ibaratkan sebagai orang yang menujukkan jalan. Yang tidak ingin repot menjelaskan arah lengkapnya tentang sebuah tujuan yang hendak kita datangi. Karena baginya, kesesatan itu sekaan hal yang tidak perlu ditakuti~