Dunia yang (sedang) Tunggang-langgang
Thursday, April 2, 2020
Edit
![]() |
Sumber Foto: eramuslim.com |
Dunia ini
berubah begitu cepat. Lebih tepatnya lagi: dunia ini (sedang)
tunggang-langgang. Lebih jauhnya lagi, dunia ini sedang ngos-ngosan melewati
fase perubahan. Artinya, semacam ada ketidaksiapan dengan dunia yang sedang
kita tinggali sekarang ini. Itulah kira-kira yang ingin saya katakan, tentang
globalisasi yang—sudah dan akan—memakan banyak korban. Yang kecepatan perubahannya,
tidak mampu dikontrol oleh sekian miliar nyawa yang hidup di muka bumi.
Contoh mencolok
dari dunia yang ngos-ngosan ini, terlihat dari krisis akibat virus Covid-19.
Diakui atau tidak, diam-diam semua negara yang terjangkit dan terdampak
Covid-19, termasuk Indonesia, telah mempraktikkan upaya yang memperlemah
demokrasi. Yang jika kita tinjau lebih dalam, akan menghambat laju perubahan
menuju tatanan yang lebih baik, dan menghasilkan chaos di kemudian hari.
Tambahannya, setelah badai Covid-19 ini berlalu, apa yang sudah kita persiapkan
sebelumnya, masih akan jauh dari kata “mendekati” sempurna.
Dengan mengutip
Anthony Giddens, ketika habis-habisan mengkritik konsep neoliberalisme, apa
yang sedang kita alami sekarang, adalah konsekuensi yang harus kita tanggung.
Pasalnya, disadari atau tidak, risiko yang dihasilkan oleh neoliberalisme—yang dalam
hal ini dianut oleh Indonesia—juga merupakan konsekuensi niscaya. Dengan kata
lain, neoliberalisme memang akan menghasilkan kubangan krisis yang
berkepanjangan. Sampai ketika, kita menemukan alternatif yang sama sekali belum
pernah ada.
Giddens terkenal
dengan konsep “jalan ketiga”-nya. Walaupun menuai banyak kritik sana-sini, dan
tetap ada yang mengamini, nyatanya bagi saya, ada yang dapat kita ambil sebagai
sebuah pelajaran dari konsep penyelesaian Giddens tersebut. Memang, kita tentu
akan tergoda untuk mencemooh gagasannya Giddens ini. Terlebih jika hal ini
dikaitkan dengan konteks Covid-19, dan mengingat rentang waktu yang lumayan
lama sejak gagasan Giddens tersebut muncul.
Tetapi
sesungguhnya kita tak pernah benar-benar tahu, apakah konsep Giddens tersebut
memang telah usang di waktu-waktu sekarang ini. Mengingat, konsep “jalan
ketiga” Giddens sering disempitkan maknanya. Penggampangan ini terlihat dari
penyederhanan “jalan ketiga” sebagai alternatif di antara kapitalisme dan
sosialisme. Padahal, apa yang dimaksud Giddens dengan “jalan ketiga”-nya jauh
lebih padat, mendalam serta kompleks.
Giddens, secara
tidak langsung adalah orang yang mengakhiri perdebatan dualisme dalam ilmu
sosial. Menurutnya, nilai hakiki demokrasi sosial terletak pada solidaritas,
kesamaan, keamanan, dan peran aktif dari negara. Yang kalau kita rujuk kepada
konteks Covid-19, bisa diartikan demokrasi sosial tidak terjadi di Indonesia
sekarang ini. Terbukti, kita belum mampu mengukur sejauh mana solidaritas yang
sudah terbangun dan terjalin dalam menghadapi wabah ini. Hal ini juga ditandai
oleh keterbelahan kita yang masih meng-vis a viskan antara masyarakat dan
pemerintah.
Selanjutnya,
kita juga belum mempunyai kesamaan dalam menghadapi Covid-19 ini. Jelas, ini
bisa dibuktikan dari cemooh yang masih berseliweran di platform media sosial.
Terakhir, kita memang harus mengkritik negara yang masih belum mampu
menyediakan rasa aman bagi warganya. Hal ini menandakan bahwa negara belum
berperan secara aktif untuk mengatasi wabah ini. Karena yang kita butuhkan
bukan hanya berdiam diri selama kurang-lebih 14 hari, tapi sebuah janji pasti
yang bisa terealisasi.
Jelas dalam
konteks wabah Covid-19 ini, kritik Giddens tersebut masih relevan. Dan yang
menjadi ramalan Giddens soal neoliberalisme, nyatanya juga berlaku bagi
Indonesia. Giddens juga berpendapat, bahwa di abad global ini, yang namanya
politik bisnis tak boleh dilepaskan dari sosial-politik. Begitupun sebaliknya.
Ketika kondisi pasar sudah sangat dinamis dan berubah secara revolusioner,
pemerintah memang perlu menginvestasikan kemampuan manusia yang ada.
Maksudnya,
dalam hal fenomena Covid-19, pemerintah harus terus memberikan kesempatan
kepada warga negara untuk terus mendidik diri agar mampu menanggapi wabah ini.
Karena secara tidak langsung, hanya dengan investasi dan pendidikan sumber daya
manusia yang ada, mental kolektif untuk survive akan terbangun dengan
sendirinya. Tanpa perlu ada paksaan dari negara yang tidak berarti dan lebih
cenderung mengecewakan warga negaranya.
Ketika masih
terbangun sebuah ketidaksamaan, baik dalam hal skala prioritas dan cara
memandang wabah Covid-19 ini, perlu kiranya kita membangun sebuah jaringan
relasional dan finansial untuk mengatasi ketidaksamaan tersebut. Masih
mengambil pendapat Giddens, menurutnya lewat konsep “jalan ketiga”, yang perlu
ditekankan adalah human capital ketimbang pembagian kekayaan dari yang
kaya terhadap yang miskin.
Pendapat
tersebut, menemukan momentumnya jika kita pakai menganalisis wabah Covid-19
ini. Di mana, himbauan serta anjuran yang berasal dari pemerintah, terkesan
terlalu memakai cara pandang “bagi-bagi”, dan tidak menyentuh sama sekali pada
aspek human capital. Baik itu yang berbentuk bagi-bagi uang, sembako dan
keperluan lain dalam persiapan menghadapi Covid-19. Hal ini membuktikan, kalau
kita belum beranjak dan bergeser dari kubangan dan krisis neoliberalisme tadi.
Selain apa yang
sudah tersampaikan di atas, masih terdapat efek yang dihasilkan dari Covid-19
ini kepada kita. Yaitu soal pergeseran kebiasaan kita yang mau tidak mau juga
ikut berubah dengan adanya wabah ini. Ketika awalnya kita masih harus melakukan
aktivitas dengan langsung tatap muka, dalam waktu yang belum ditentukan, kita
hanya bisa menjalin interaksi lewat dunia maya. Ini menjadi penanda, kalau di kemudian
hari beginilah aktivtias yang akan kita jalani. Kita akan lebih banyak
menghabiskan waktu di dunia maya ketimbang di dunia nyata.
Bisa
disimpulkan, kalau Covid-19 mengubah kebiasaan kita secara radikal. Dan memang
begitulah yang dikehendaki olehnya. Pertanyaanya, sudah siapkah kita menghadapi
hal tersebut? Secara tersirat, tentu kita perlu mengupayakan optimalisasi di
banyak sektor, yang mengharuskan kita mengubah kebiasaan lama secara
revolusioner. Karena dunia yang kita tinggali ini, tidak lagi bergerak secara
evoluisner, tetapi sudah dengan kecepatan yang tidak bisa dikendalikan
(revolusioner).
Dengan
demikian, kita masih membutuhkan peran negara. Hanya saja, di abad globalisasi
seperti sekarang, negara tidak akan mampu menyelesaikan semua persoalan. Oleh
karena itu, negara sudah diharuskan untuk bisa lebih fleksibel dan responsif
ketika ada fenomena perubahan semacam Covid-19. Ini artinya, negara tidak akan
bisa lagi mengandalkan birokrasinya. Yang bisa diandalkan adalah peran dari
warga yang ada. Agar nanti, warganya bisa mengejar ketertinggalan dari dunia
yang memang (sedang) tunggang-langgang ini.