Balada Harian dan Pikiran-pikiran yang Meminta Berkelana
Thursday, April 16, 2020
Edit
Penulis: Gerbera*
Rutinitas, sering kali menjadi hal yang begitu dikeluhkan oleh
banyak orang. Tidak dapat dipungkiri, bekerja, kuliah, pengangguran bahkan,
akan menemui fase jenuh dengan aktivitasnya. Bagaimana mungkin, seseorang yang
menjalani waktu 24 jam dengan kegiatan yang sama dan ya itu-itu saja.
Sebenarnya, bukan keteraturan yang bermasalah, tapi setelan kondisi
“full auto” yang membuat ngeri. Bangun pagi, mandi, sarapan, pergi ke tempat
kerja atau sekolah, mengejar matahari pagi sebelum naik terlalu tinggi. Berkutat
dengan pekerjaan dan aktivitas yang sama, hingga sore tiba. Belum lagi jika ada
lembur, lalu pulang larut malam, tak sempat bertemu dengan matahari sore. Padahal
kan, senja adalah lukisan langit paling indah kata orang-orang indie itu.
Walaupun, tidak sedikit juga orang-orang yang sudah merasa nyaman
dengan rutinitas yang dijalaninya. Tapi rutinitas akan menemui titik jenuhnya
sendiri. Seakan tidak ada beda antara hari ini dan esok, dengan lusa, bulan
depan, bahkan tahun depan.
Pun sebenarnya bukan tentang apa pekerjaannya, tapi masalahnya jika
manusia tersebut sudah menekan diri dengan aktivitas yang sedemikian rupa,
sehingga menjadikannya seperti robot, tanpa pernah mengetahui esensi dari apa
yang dikerjakannya. Dan jika perasaan suntuk itu melanda, semua jadi terasa
biasa-biasa saja. Hari ini sama besok ya gitu-gitu aja. Flat
Pada dasarnya, rutinitas memang diperlukan sebagai tanda bahwa kita
manusia yang bergerak setiap harinya. Sebagaimana pelajaran biologi sewaktu
sekolah dulu, bahwa tanda-tanda makhluk hidup adalah dengan bergerak. Jadi sisi
baiknya, kita berarti masih menjadi manusia seutuhnya. Namun, di sisi lain rutinitas
juga dapat membunuh kebahagiaan dalam diri itu sendiri.
Beberapa bulan lalu, saya memasuki sebuah pintu baru yang belum
pernah saya bayangkan sebelumnya. Memasuki ritme dunia kerja yang katanya lebih
keras dari kehidupan kuliah. Saat itu, membayangkan bekerja selama 8 jam dari
jam sekian sampai jam sekian setiap hari di hadapan laptop adalah mimpi buruk
bagi saya.
Hanya memiliki waktu luang di hari sabtu dan minggu. Yah, seperti
pekerjaan orang-orang kota pada umumnya. Padahal rutinitas sebelumnya lebih
santai dan fleksibel. Walaupun sama-sama padat. Tapi kata orang-orang bijak itu
lagi, yah begitulah hidup. Akan terus bergerak, dan kita, mau tidak mau
mengikuti alurnya.
Kemudian di jam-jam kerja seperti itu, biasanya pikiran seperti
melayang kemana-mana. Saat raga hanya dapat duduk dengan pekerjaan-pekerjaan
yang menumpuk, pikiran justru mengembara jauh. Meminta berkelana.
Berharap dapat pergi jauh dan menikmati udara dingin pegunungan
sungguh sangat menggairahkan. Atau sekedar jalan-jalan di taman dan mendengar
kicauan burung-burung yang sedang membuat sarang. Atau menghabiskan seharian di
kamar menonton drama korea yang berepisode-episode itu.
Lebih parahnya lagi, jika sudah mulai berfantasi melintasi ruang
dimensi. Halaah. Pikiran akan berkhayal tiba-tiba menemukan pintu Doraemon,
atau lemari tua di gudang bekas yang lama tidak digunakan, layaknya di film Narnia.
Yang kemudian, harapannya dapat membawa kita pergi dari kejenuhan akan
rutinitas yang mematikan. Lalu pergi ke tempat antah-berantah yang belum pernah
ditemui sebelumnya.
Memasuki Lantern Weste, tempat Lucy dan Tumnus si Faun bertemu di
bagian barat Narnia. Lalu melewati hutan antara dunia-dunia, hutan yang lebat
dengan banyak air mata dan merupakan terminal antar dunia yang menghubungkan Sorlois, Bramandine, atau Charn. Hingga
kemudian menyusuri Rush River yang bermuara di Subarine. Atau menjelajahi Great
Forest dan menemukan Table Stone, tempat Aslan si Singa itu dihakimi.
Sensasi petualangannya yang seru memang seakan memenuhi isi kepala.
Membayangkan hutan yang masih asri terjaga karena tidak terbakar seperti di
Sumatera dan Kalimantan. Dapat melihat hewan-hewan yang bisa berbicara, dan
mungkin jika hewan di Indonesia bisa bicara, mereka akan membnetuk pasukan
untuk melawan manusia-manusia yang telah membakar tempat tinggalnya.
Tangi o, lur.
Jangan lupa untuk kembali ke dunia nyata, yang mungkin tidak
seindah Narnia namun lebih realistis. Tempat kita hidup dan menghidupi. Hiyahiya
Ingat juga, ada biaya kos yang nunggak meskipun harga sayur
kangkung masih dua ribu per-ikat. Pun biaya hidup lainnya tidak bisa dibayar hanya
dengan khayalan.
Dan tetaplah bergerak untuk memberi makan mimpi-mimpi yang selalu
diaminkan~
*"Mau hidup dengan seribu pohon"