Wabah yang Menyadarkan Kita
Monday, March 23, 2020
Edit
![]() |
Sumber Foto: pixabay.com |
Penulis: Deka
Maikel Prananca*
Sampai hari
ini, jumlah korban di seluruh dunia, dan perkiraan orang yang positif Covid-19
masih belum pasti. Dengan diberlakukannya kebijakan lockdown, social
distancing, sampai keputusan lainnya dalam menanggulangi virus Covid-19,
keakuratan jumlah orang yang terkena
virus ini semakin tersamarkan. Hal ini karena pemeriksaan massal belum
diberlakukan, dan membutuhkan tenaga yang tidak sedikit jika ingin
melakukannya.
Menilik hal
tersebut, angka kecemasan yang ditimbulkan tidaklah kecil. Belum lagi jika
dihitung efek yang ditimbulkan ke banyak sektor kehidupan kita. Mulai dari
wilayah pendidikan, pariwisata, ekonomi, teknologi dan aktivitas keseharian
kecil lainnya. Lantas, apa yang mesti kita lakukan untuk menghadapi fenomena
wabah yang mengerikan ini?
Anjuran, seruan
dan ajakan untuk menghadapi virus Covid-19, secara bersamaan sudah menjadi
kesepakatan yang tidak bisa diganggu gugat. Walaupun masih ada yang menganggap
virus ini secara remeh, pada akhirnya kita juga harus lebih berhati-hati bukan?
Selain karena replikasi dan daya tahan hidup virus Covid-19 yang terbilang
tinggi, serum penyembuhannya belum ditemukan sampai sekarang. Harapan besar
kita, tentunya agar fenomena wabah ini cepat berlalu, dan tidak lagi memakan korban
yang lebih banyak.
Bukan, hal
tersebut bukanlah sekedar fiksi ilmiah yang menjadi angan-angan semata. Dari
lubuk hati kecil yang paling dalam, semua orang tentu tidak ingin lama-lama
berurusan dengan wabah yang satu ini. Selain penyebarannya yang belum bisa kita
atasi, kita masih meraba-raba mencari solusi tepat untuk memukul mundur virus
Covid-19 sejauh mungkin. Mengingat, aspek kesehatan selalu berjalin kelindan
dengan aspek-aspek lainnya.
Sebelum
Covid-19 benar-benar dirasa sebagai sebuah ancaman yang mematikan, kita
terkesan masih menganggap enteng keganasan virus ini. Lalu, bagaimana
kondisinya sekarang? Bukankah Covid-19 akhirnya menyadarkan kita, bahwa
kebiasaan menganggap remeh seringkali berujung menjadi bumerang? Ketika sudah
seperti sekarang kondisinya, masihkah kita terus ingin congkak dihadapan
sesuatu yang belum kita kenali jelas seluk-beluknya?
Mengutip seorang ilmuwan Inggris bernama James Lovelock, peran manusia dalam menghadapai wabah—semacam
Covid-19 dan wabah lainnya—tidak cukup hanya dengan tindakan yang kooperatif
semata. Negara memang wajib menjamin keselamatan
masyarakatnya, khususnya mereka yang kurang mampu, sebagai kelompok masyarakat
yang paling rentan terkena wabah ini. Akan tetapi, jika hanya berpangku tangan dan
menunggu uluran bantuan, sama saja kita seperti bunuh diri secara perlahan
bukan?
Keberanian
dalam menjaga keselamatan nyawa atas dasar kemanusiaan, adalah hal yang
seharusnya lebih diprioritaskan oleh kita bersama. Ujaran kebencian,
penghinaan, dan rasa saling meragukan, sebaiknya kita hilangkan terlebih dahulu
dalam jangka waktu dekat ini. Selama, wabah Covid-19 belum mampu untuk kita
jinakkan. Jika masih ada sesuatu yang memancing konflik di tengah masyrakat,
bukan hal yang mustahil pekerjaan menangani Covid-19 menjadi lebih berat.
Mari sejenak
kita melihat gagasan kontroversial Lovelock ketika dikaitkan dengan wabah
Covid-19 ini. Lovelock, terkenal dengan gagasannya tentang Hipotesis Gaia.
Tesisnya ini menyebutkan, bahwa bumi dan seisinya adalah satu-kesatuan yang
hidup. Bumi, memiliki kemampuan dan kecenderungan untuk menjaga
keseimbangannya, termasuk ketika ada wabah seperti Covid-19 ini. Selanjutnya,
konsep Lovelock ini berasumsi bahwa bumi memiliki kesanggupan swa-kendali
tubuh. Yang tampaknya mengarah pada kelangsungan kehidupan yang selaras di
bumi.
Gagasan ini,
selanjutnya memang menimbulkan pro-kontra di kalangan ilmuwan. Akan tetapi pada
sisi yang lain, menjadi perspektif baru untuk kita memahami bahwa bumi tidak
sekadar sebagai benda mati. Mungkin sebagian besar dari kita, menyadari bahwa hasil penelitian Lovelock akan sulit sekali diterima. Sebab,menurut Lovelock, bumi yang kita tinggali ini, memiliki
kemampuan sibernetik untuk merawat keseimbangan. Dengan kata lain, kemampuan sibernetik ini mampu mengoptimalkan sebuah kehidupan untuk
terus berlanjut.
Namun, di sini
Lovelock memberikan sebuah penjelasan yang sangat rasional soal konsepnya
tersebut. Menurutnya, daya sibernetik itu dapat kita lihat melalui bagaimana
stabilnya suhu di bumi, yang menyebabkan planet ini layak dan nyaman dihuni
seluruh makhluk hidup. Ia selanjutnya menanalogikan proses ini layaknya
homeostasis. Yakni respon tubuh ketika menyesuaikan
dan beradaptasi dengan kondisi iklim tertentu.
Konsep Lovelock ini, berbanding lurus dengan kondisi yang terjadi pada kita sekarang. Lovelock, juga mempersoalkan kegiatan-kegiatan manusia yang menghasilkan emisi karbon yang berlebih dan membahayakan keseluruhan ekosistem yang ada. Jika mau kita cermati, semenjak Tiongkok memberlakukan status lockdown, emisi karbon di sana menurun drastis.. Bahkan, menurut informasi NASA, setelah diberlakukannya lockdown, kondisi di Tiongkok menunjukkan perubahan signifikan pada atmosfernya.
Wabah Covid-19 adalah ujian bagi kemanusiaan kita. Akan tetapi, pada sisi lainnya, dengan adanya wabah ini menjadi kesempatan kita untuk merenungkan sebuah perubahan yang dapat kita buat untuk keberlanjutan kehidupan ini. Kemanusiaan memang perlu diperjuangkan, walaupun banyak yang harus dikorbankan.
Ketika melihat keberanian para tenaga medis yang berada di garda depan, serta kedermawanan yang dilakukan relawan dan komunitas di seluruh dunia, seharusnya hal tersebut bisa untuk kita teladani. Jika ada sebuah kesalahan dan kekeliruan yang ditimbulkan dalam menghadapi Covid-19, bukan lantas malah kita saling menyalahkan. Itu semua pada akhirnya tidak membangkitkan harapan terhadap kemanusiaan. Namun malah memperlemah persatuan yang sudah ada.
Momen
menghadapi Covid-19, secara tidak langsung adalah penentu bagi rasa kemanusiaan kita hari ini. Dengan adanya wabah ini, kita kembali
tersadarkan. Tentang betapa mungilnya ideologi kita,
politik, juga makna kekuasaan di hadapan wabah ini.
Selanjutnya,
bukan hal yang pantas kalau masih tetap saja ada yang mencoba mencari
keuntungan dengan adanya wabah ini. Karena secara tidak langsung, titik nadir
kemanusiaan kita memang sedang diuji. Layaknya seperti berpuasa, kita harus
menahan ego masing-masing terlebih dahulu. Agar tidak lagi muncul hal-hal yang
dirasa tidak perlu.
Terakhir, mari
rapatkan barisan dan saling berpegangan tangan, bahu-membahu menanggulangi dan
menjawab tantangan dari virus yang membuat kita kewalahan ini. Karena mau
disadari atau tidak, selain sisi kemanusiaan kita yang sedang diuji, Covid-19
juga menguji persatuan kita. Mari kita tunjukkan di mata dunia, bahwa Indonesia
adalah negara kesatuan tanpa omong kosong. Indonesia yang penuh perbedaan di
dalamnya, adalah negara yang paling mengerti dengan yang namanya persatuan.
Karena persatuaan, sudah menjadi kewajiban kita bukan?
*Pemerhati
Corona dan isu sosial