Secabik Kisah tentang Merokok
Wednesday, March 11, 2020
Edit
![]() |
Sumber Foto: poliklitik.com |
Penulis: Kakak Reformasi
Merokok
bukanlah hal yang sederhana bagi saya. Sejak kecil, saya hanya menjadi penonton
orang-orang yang merokok. Kakek saya dari ibu, adalah perokok berat. Hampir
setiap hari, sejak saya bisa mengingatnya, kakek saya rutin ngelinting
tembakau. Jenis tembakaunya adalah tembakau Bali. Ya, tembakau yang terkenal
keras itu, dan biasanya berbentuk balok ketika dibungkus dalam kemasan.
Sampai
menginjak usia 17 tahun lebih, saya terbilang perokok pasif. Jangkan terbayang
bisa menjadi perokok aktif, ketika ada asap rokok saja saya lebih memilih
menjaga jarak. Bukannya sombong, tapi memang seperti itulah saya yang dulu.
Seorang lelaki yang membayangkan bisa disenangi banyak wanita karena tidak
menjadi perokok. Tapi, itu hanyalah kenangan masa lalu, dan menjadi bagian
pikiran remaja saya waktu itu. Untuk sekarang ini, saya pribadi harus mengakui
kalau saya mengingat hal tersebut, pasti saya menertawainya.
Sebagaimana kita
ketahui bersama, industri rokok adalah salah satu industri yang tidak terkena
dampak ketika krisis moneter menjelang Reformasi. Informasi ini, saya dapatkan
ketika saya mengikuti sekolah tembakau 2017 silam. Waktu itu, acaranya
bertempat di salah satu wisma di Kaliurang, Yogyakarta. Pesertanya terbilang
sedikit, namun tidak mengurangi antusias kami sebagai peserta waktu itu. Bahkan,
wajah sumringah kami para peserta, masih saya ingat jelas sampai sekarang.
Para peserta
memang perokok semua waktu itu. Sama halnya dengan panitia dan para pemateri
yang diundang. Terdapat beragam jenis rokok, mulai dari yang filter sampai
kretek menemani jalannya acara. Panitia sendiri menyiapkan rokok Gudang Garam
Merah dan Djarum Retro waktu itu. Tidak lupa pula kami disediakan penginapan
dan konsumsi yang terbilang lumayan bagi para mahasiswa.
Acara sekolah
tembakau ini sendiri, sebenarnya diinisiasi oleh mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Persyaratan
ketika ingin menjadi peserta, kami diberi tugas untuk khatam membaca PDF
tentang tembakau. Dari PDF itu pula lah, saya mendapat informasi bahwa merokok
dan sekian hal yang terlibat dengannya, tidak sesederhana anggapan banyak
orang. Karena nyatanya, merokok sudah menjadi budaya yang tentu saja sulit dipisahkan
dari kultur orang Indonesia hari ini.
Oke kembali
pada tema awal. Sebenarnya ini adalah kisah pribadi saya, yang mungkin tidak
ada manfaatnya bagi para pembaca. Akan tetapi, tidak jadi soal. Karena saya
hanya ingin berbagi kisah, yang siapa tahu punya kesamaan dengan para pembaca
sekalian.
Seperti yang
saya sebutkan sebelumnya, saya mulai merokok ketika di usia 17 tahun ke atas. Lebih
tepatnya ketika saya sudah pergi merantau dari rumah. Hal ini memang keputusan
pribadi saya untuk memilih menjadi perokok. Terlepas saya pernah mengikuti sekolah
tembakau, sebelumnya saya sudah tergolong menjadi perokok berat. Sekolah tembakau
bagi saya, semakin mengokohkan posisi saya sebagai perokok. Dan dari sekolah
tembakau tadi lah, saya bisa belajar banyak hal tentang aktivitas merokok, dan
hal yang berkaitan dengannya.
Rokok,
diasumsikan sebagai salah satu alat pembunuh. Banyak orang, terkhusus
orang-orang yang bergerak di bidang kesehatan, mengutuki rokok serta para
perokok. Tentu saja dengan alasan yang klise, yaitu ancaman bagi kesehatan. Padahal,
asumsi asap rokok yang membahayakan kesehatan, nyatanya tidak diiringi dengan
asumsi dasar yang jelas. Sehingga, citra yang terbangun bahwa merokok itu
membunuh, dan tidak memberi manfaat sama sekali.
Saya akan coba
membantah anggapan yang nihil data tersebut. Industri rokok sendiri, termasuk
salah satu penyumbang pajak terbesar hari ini. Yang bagi kebanyakan orang, hal
tersebut sudah menjadi rahasia umum, tapi masih malu untuk diakui.
Selain itu,
orang yang tidak merokok, terkadang terlalu mengeneralisasi bahwa rokok tidak
punya manfaat apa-apa. Pasalnya, sepengelaman saya yang hampir lima tahun ini
merokok, rokok sendiri mampu memberi ketenangan. Yang ketenangan itu sendiri
sulit dijelaskan dalam rangkaian kata-kata.
Biasanya,
ketika sedang kepikiran sesuatu, dan saya akhirnya tidak bisa tidur, ada dua
pilihan alternatif yang biasa saya lakukan. Pertama, saya akan memilih makan
yang banyak sampai kekenyangan. Kedua, saya akan memilih merokok dua sampai
tiga batang rokok. Kebiasaan saya ini, masih terus berlanjut sampai sekarang. Karena
bagi saya, rokok sudah menjadi teman setia yang sulit diganti.
Selain anggapan
yang bersifat subjektif tersebut, nyatanya banyak pihak yang masih saja tidak
terima. Karena dari merokok ini pula lah, saya belajar yang namanya toleransi. Jangan
anggap remeh para perokok sebagai orang yang non toleran terhadap orang yag
tidak merokok. Justru, menjadi perokok itu sungguh tidak mudah. Sekian norma
dan aturan, mau atau tidak, harus menjadi kewajiban bagi seorang perokok.
Misalnya,
perokok tidak boleh merokok di dekat anak kecil yang berumur di bawah lima
tahun. Selain angapan akan membuat sesak nafas, nyatanya memang paru-paru anak
umur segitu belum sekuat orang dewasa. Paru-paru mereka, belum mampu menyaring
dan memfilter udara yang bercampur dengan asap rokok. Oleh karena itu, akan
sering kita temui anak kecil yang batuk-batuk ketika berada di dekat orang yang
sedang merokok.
Lantas kenapa
masih merokok, ketika sudah tahu asapnya berbahaya? Masalahnya juga tidak sesimpel
itu. Kalau asap rokok dianggap berbahaya, dan salah satu penyumbang polusi yang
ada, sebenarnya logika ini benar, tapi tidak sepenuhnya benar. Logikanya begini,
pasti banyak orang yang mampu bertahan dua jam lebih di dekat perokok. Akan tetapi,
kebanyakan orang pasti tidak akan tahan ketika selama dua jam diasapi oleh asap
kendaraan. Padahal, keduanya sama-sama asap? Hal tersebut menunjukkan kalau
asap rokok tidak lebih berbahaya dari asap kendaraan.
Selain itu
juga, sampai hari ini sudah banyak pengobatan medis yang memanfaatkan asap
rokok sebagai media penyembuhan. Hal ini yang selanjutnya, membantah sekian
asumsi abstrak dari para penolak rokok selama ini. Dan mau diakui atau tidak,
nyatanya rokok masih punya banyak manfaat lain yang tidak cukup untuk saya
jelaskan di tulisan ini.
Sejak merebaknya
wabah Corona, kondisi publik kita juga semakin diperkeruh karena rokok kembali
disalahkan. Bukan saja masih dianggap penyebab kanker, rokok malah
dikait-kaitkan dengan virus Corona tersebut. Ditambah lagi, anggapan rokok
sebagai mesin pembunuh, menjadi fondasi agar rokok bisa kembali disalahkan. Ya apa
sih, kok mau kembali ke zaman primitif lagi?
Sebagai orang
yang masuk dalam organisasi ekstra mahasiswa yang berlatar belakang Nahdiyin,
saya tidak ingin mengkampanyekan bahwa merokok itu perlu dan wajib. Dengan ditulisnya
kisah ini, saya berharap kita menjadi semakin bijak dalam memandang dan menilai
rokok serta perokok. Karena merokok, adalah pilihan pribadi. Yang bagi saya,
tidak bisa dipaksakan pada orang yang tidak atau belum merokok.
Saya menulis
tentang ini, berawal dari ingatan saya soal puntung rokok yang berada di
toilet. Sejak saya merokok, saya memang tidak bisa merokok sambil boker. Entahlah,
terbilang aneh mungkin. Bagi saya, merokok cukup jadi perangsang awal untuk
memantik agar bisa boker. Selebihnya, sama dengan orang yang tidak merokok.
Dari tulisan
ini, saya hanya ingin menyampaikan bahwa saya bukan perokok handal yang mampu
boker sambil merokok. Karena boker dan wc, bagi saya menjadi tempat dan
aktivitas berimajinasi tersendiri. Namun, saya juga bukan perokok lemah yang
tidak mampu membuang puntung rokok di tempat sampah, dan lebih memilih membuang
puntung rokok di toilet...Baaahhh....