Persahabatan dan Ilusi Kekeluargaan
Thursday, March 19, 2020
Edit
Banyak yang
bilang, kalau ikatan persahabatan lebih kuat dari ikatan pertemanan. Bagiku,
semua sekarang sama saja. Tidak ada yang lebih antara satu sama lain. Kedua-duanya
hanyalah konsep yang berada dalam kepala seseorang, dan tidak pernah jelas
bentuknya seperti apa. Berdasarkan pengalamanku, kata sahabat hanyalah buatan
agar kita terlihat mengikuti Nabi Muhammad SAW. Tapi apa yang kita lakukan
sebenarnya, jangankan untuk mendekati Rasul, malah sering kali berbanding
terbalik dengan apa yang dianjurkan oleh beliau.
Tulisan ini
adalah kumpulan kontemplasi saya, yang selama hampir lima tahun ini mencari
arti yang namanya “sahabat.” Terkadang saya bingung, adakah yang salah dengan
badan saya ini? Sehingga selalu dilanda kebingungan itu sendiri. Sampai hari
ini, saya masih belum paham artinya persahabatan itu. Bagi saya, yang sudah
dikhianati untuk yang kedua kalinya ini, kata sahabat menjadi kata yang paling
memuakkan. Ia menjadi sebuah bentuk ilusi, bak oasis di tengah padang pasir
sahara. Pun seperti pulau nyaman yang ada di tengah samudera.
Terserah jika
nanti ada yang menganggap saya adalah orang yang kecewa karena terbuang, orang
yang tak pernah dianggap, dan orang yang tak berdaya, itu semua tidak menjadi
soal bagi saya sekarang. Karena sesungguhnya, saya sudah lepas dari stereotip
semacam itu. Bagi saya, bukanlah hal penting penilaian orang lain terhadap
kita. Yang lebih penting adalah penilaian kita terhadap orang lain. Pun begitu
pula dengan yang namanya perasaan. Tidak penting orang merasa kita macam apa,
tapi yang lebih penting adalah perasaan kita kepada orang lain.
Karena
kehidupanmu, kamu sendiri yang menjalani. Bukan mereka yang berada di sekitar
dan sekelilingmu. Bukanlah mereka yang baru kamu kenal ketika menginjak umur
belasan tahun atau puluhan tahun. Bukan juga mereka yang hanya ada ketika kamu
merasa senang. Bahkan juga bukan mereka yang hadir ketika kamu sedih dan susah.
Yang kehadirannya hanya ingin memperlihatkan kelemahanmu. Yang kehadirannya
hanya ingin mengatakan kalau mereka lebih baik ketimbang kamu. Percayalah, kamu
akan selalu merasa lemah karena hal semacam itu.
Ada yang pernah
bilang ke saya, bahwa ikatan pertemanan atau persahabatan dan entah apa namanya
itu, tidak akan pernah putus. Tapi sekarang saya ingin mempertanyakan,
sebenarnya apa arti ikatan pertemanan dan persahabatan itu? Atas dasar apa ia
terbentuk dan terjalin? Apakah atas dasar waktu yang dilalui bersama? Ataukah karena
merasa senasib dan sepenanggungan? Entahlah, saya kira itu cuma sebuah ilusi
dan fatamorgana. Yang akhirnya menyiksa pelaku yang menggantungkan harapannya
pada hal yang abstrak tersebut.
Karena bagi
saya, tidak ada jaminan pasti ketika sudah melewati waktu bersama, hubungan
yang digambarkan sering kali kuat itu, bakal dengan sendirinya terbentuk dan
bertahan. Karena pada dasarnya, hubungan pertemanan dan persahabatan itu
serapuh bangunan kaca.
Tidak ada unsur
yang menjadikan ia kokoh dan sekuat yang sering kali orang bayangkan. Pun begitu
juga tidak ada yang menguatkannya kecuali rasa percaya yang tanpa batas. Tanpa hal
itu, pertemanan, persahabatan, dan rasa kekeluargaan yang dipercaya akan terbangun
olehnya, hanya menjadi omong kosong belaka.
Saya akan
menjelaskan omong kosong saya dari tadi. Semoga pembaca sekalian tercerahkan. Sebelumnya,
cari secangkir kopi panas, dan kacang sebagai cemilan, lalu nikmati
penjelajahan ini. Dan bersiaplah, akan ada perasaan serasa naik roller
couster yang selanjutnya akan kalian rasakan.
~~~
Saya adalah
seorang mahasiswa yang tergabung dalam organisasi mahasiswa ekstra kampus, di
salah satu kampus negeri. Organisasi yang saya masuki ini, terbilang organisasi
tua yang umurnya sudah lebih dari setengah abad. Sampai umurnya yang sekarang,
kisah yang saya alami ini adalah kisah yang biasa, dan dijadikan sebuah
kebiasaan. Yang pada akhirnya, tidak pernah membuat organisasi ini mengarah ke
arah yang lebih baik. Selengkapnya begini kisah yang ingin saya ceritakan:
Ketika pertama
kali masuk dalam organisasi ini, kami—maksudnya saya dan beberapa orang yang
pernah saya anggap teman—selalu didoktrin untuk mendahulukan yang namanya rasa
kekeluargaan. Kami didoktrin, ketika ada satu yang sakit, yang lain harus tahu
kabarnya. Begitu pula ketika ada satu yang kelaparan, wajib hukumnya untuk tahu
siapa orangnya dan membantunya. Nyatanya hal tersebut memang berjalan lancar ketika
di tahun-tahun awal. Akan tetapi, semua berubah ketika kami harus menghadapi
momentum pergantian kepengurusan.
Momentum tersebut,
mengharuskan angkatan saya mengemban amanah menjadi pengurus organisasi di
level terendah. Level di mana segalanya terpusat karena menjadi gerbang awal
untuk proses regenerasi. Level di mana doktrin yang masif begitu digalakkan. Dan
level di mana pembentukan watak serta mental organisasi dibangun.
Sedikit cerita,
angkatan saya sebenarnya tidak siap dengan hal itu. Ini terbukti dari persiapan
menjelang pergantian kepengurusan. Dengan tidak matangnya konsep yang akan
diterapkan nantinya, dan juga belum selesainya posisi yang akan ditempati,
membuat angkatan saya akhirnya kocar-kacir. Waktu itu, saya adalah calon terkuat
di mata senior organisasi, juga secara kapasitas yang dimiliki. Banyak senior
yang mengharapkan saya maju sebagai yang memegang komando kepengurusan.
Saya sebenarnya
tidak berniat menyombongkan diri, karena nyatanya memang begitu. Secara kapasitas
dan intensitas di organisasi, bisa dibilang di angkatan saya belum ada yang
bisa menandingi saya. Baik itu secara wacana, gerakan dan pengawalan. Namun apa
mau dikata, sekuat-kuatnya satu orang, akan tetap kalah dengan rencana yang
sudah disusun oleh delapan orang. Apalagi kalau rencana itu sudah bersekutu
dengan setan, maka akan terjadi apa yang diharapkan.
Pengkhianatan ini,
ketika saya sudah jelas yang akan maju, ternyata dicekal oleh teman-teman saya
sendiri. Teman yang dari awal didoktrin untuk merasa sebagai satu keluarga. Teman
yang didoktrin untuk saling bantu. Akan tetapi semua hanya omong kosong belaka.
Demi sebuah posisi jabatan, pada akhirnya mereka mengkhianati saya di balik
layar. Dan merencanakan sesuatu agar terlihat sebagai kehendak bersama.
Saya mengetahui
hal ini mendekati momentum yang sudah saya singgung di awal. Sedikit tidak
menyangka memang, tapi apalah daya. Saya akhirnya berpikir, bukan karena saya
tidak berani maju untuk bersaing, tetapi karena saya sudah merasa bahwa
angkatan saya sudah rusak. Saya pun akhirnya lebih memilih mengalah untuk
menang. Karena saya dalam kesepakatan politik berhasil mengajukan sebuah
syarat. Yang tidak boleh dilanggar oleh orang-orang yang mengkhianati saya
tadi.
Saya awalnya
memang sakit hati karena tahu hal tersebut. Akan tetapi, berkaca dari kisahnya
Gus Dur, saya memilih untuk memaafkan. Namun saya tidak akan pernah lupa dengan
hal tersebut.
Hasil pengkhianatan
tadi memang tidak berhasil baik. Terbukti dengan kegopohan orang-orang yang
bersengkongkol tadi. Mulai dari ketidakmampuan mereka menyiapkan agenda
organisasi, menghilangnya otak-otak yang merencanakan persengkongkolan tadi
(pecahnya kongsi antar mereka sendiri), sampai kepada tidak bisa mempertanggungjawabkan
hasil yang dilakukan selama kurang lebih satu tahun.
Apa yang saya alami
ini (pengkhianatan dari kepercayaan lebih kepada yang namanya “persahabatan
& ikatan kekeluargaan”), juga menimpa teman perempuan saya. Ia, yang
mencoba melawan wacana dominan (wacana yang sangat patriarkis) waktu itu,
akhirnya juga harus tersingkir oleh ego orang-orang yang itu-itu juga.
Namun bedanya,
ia lebih memilih keluar dari organisasi. Dan saya lebih memilih bertahan. Karena
bagi saya, dalam sebuah pertarungan semacam itu, yang menjadi pemenang adalah
ia yang bertahan paling akhir. Dan saya membuktikannya. Dengan bertahannya saya
sampai sekarang, membuktikan bahwa saya lah yang pantas jadi panutan. Bukan orang-orang
tadi yang mengaku teman dan sahabat saya. Terlepas ini hanya sebuah
keberuntungan, saya kira saya patut berbangga.
Untuk menyudahi
tulisan ini, saya akan kembali mengingatkan. Bahwa bergantung kepada harapan
yang bentuknya dengan segala macam rupa, tapi melupakan Tuhan di dalamnya, maka
ia akan menjadi hal yang mengecewakan. Termasuk jika para pembaca sekalian
bergantung pada sahabat, persahabatan dan sebutan lainnya itu, saya bisa jamin
akan menemukan kekecewaan. Karena pada dasarnya, manusia hanya mencari untung
dan posisi nyaman untuk dirinya. Hal ini yang selanjutnya akan sulit dibantah
dan diganggu gugat.
Semoga, selanjutnya
saya bisa melanjutkan tulisan ini di lain waktu, dan dengan pengetahuan
selanjutnya. Semoga para pembaca sabar menunggunya, karena tulisan ini pasti
akan berlanjut~
*Pemerhati
Manusia