Orgasme Perempuan dan Otak Kita yang Sangean tapi Cupu
Tuesday, March 10, 2020
Edit
Identitas Buku
Judul: The ‘O’ Project
Penulis: Firliana Purwanti
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan: 2010
Tebal: x+142
Apa yang kamu
bayangkan ketika mendengar kata “orgasme perempuan?” Apakah langsung terbayang
gambaran wajah seseorang? Atau malah membayangkan kalau kata itu identik dengan
perempuan nakal? Perempuan tidak baik? Dan sebutan negatif lainnya? Ya, itulah
penanda kalau otakmu masih patriarkis dan menganggap perempuan inferior. Seakan-akan,
orgasme hanya milik para lelaki, dan perempuan dilarang menikmatinya.
Orgasme, adalah
kegiatan yang masih saja malu diakui sebagai sebuah kenikmatan. Tidak jarang,
banyak orang yang mengutuknya di depan publik, tapi menikmatinya diam-diam di
belakang layar. Lewat buku The ‘O’ Ptoject, Firliana Purwanti mengajak kita
untuk segera mengakhiri sikap naif seperti itu. Baginya, orgasme adalah salah satu
anugerah terbesar dari Tuhan untuk manusia. Dan bukan selayaknya sikap kita
untuk mengutuk hal tersebut, apalagi mengkonstruk bahwa orgasme, adalah hal
yang seharusnya tidak dibicarakan secara terbuka.
Menurutnya lagi,
orgasme itu ibarat ledakan dalam gambaran teori “the big bang” dalam proses
penciptaan alam semesta. Oleh karena itu, bisa kita tarik kesimpulan bahwa
orgasme nyatanya tidak seburuk yang kita bayangkan selama ini. Bahkan lebih
jauh lagi, patut kiranya kalau kita membicangkan hal tersebut secara serius. Agar
tidak lagi terbangun mitos yang sia-sia tentang apa sebenarnya orgasme perempuan,
dan kenapa kita harus memahaminya.
Indonesia,
masuk dalam salah satu negara yang mengagungkan keperawanan. Simbol baik
tidaknya seorang perempuan, diukur dari selaput dara yang tipis dan mudah robek
itu. Selanjutnya, tolak ukur layak dan idealnya perempuan tergantung dari ia menjaga keperawanannya. Halo, apa kabar untuk
para lelaki? Ya tentu saja hal itu tidak berlaku bagi laki-laki. Sehingga,
keperawanan menjadi alat kontrol bagi lelaki untuk mengkerangkeng perempuan
sedemikian rupa.
Banyak yang
bisa kita kroscek ulang mengenai kasus keperawanan ini. Misalnya tingginya
angka frustasi dan rendah diri yang dialami oleh perempuan, ketika ia sudah
tidak perawan lagi. Tidak jarang, ketika perempuan sudah tidak perawan, ia
memilih mengakhiri hidupnya. Karena merasa
sudah tidak berharga lagi, dan tidak layak meneruskan hidupnya.
Hai, para
perempuan, yakinlah kalau tidak perawan bukan menjadi akhir dari dunia. Karena bisa
jadi perawan itu mitos bukan? Atau malah sebenarnya itu adalah hantu yang tidak
jelas dari mana asalnya, dan bentuknya seperti apa? Kalau sudah tidak jelas
seperti itu, kenapa kita masih terus meyakininya? Bukankah secara iman saja,
kalau kita yakin terhadap sesuatu, terlebih dulu harus paham dan mengerti
dengan apa yang diyakini?
Lalu, adakah
yang salah dengan tubuh perempuan selama ini? Sehingga perawan hanya berlaku
baginya? Dan hidup-mati, baik-buruk, ideal-tidaknya perempuan diukur dari sana?
Kalau sudah merasa was-was seperti itu, lantas apa lagi yang bisa dinikmati
darinya? Apakah aktivitas seksual selamanya akan berjarak dengan yang melakukan?
Tentu saja tidak bukan?
Kalau sudah
seperti ini, lantas siapa yang bisa kita salahkan? Perempuan kah yang tidak
berani bersuara? Atau para lelaki yang seenaknya saja? Untuk menjawab hal
tersebut, saya sarankan membaca buku Firliana ini. Tidak hanya membedah tentang
mitos keperawanan, buku ini adalah upaya penjernihan terhadap aktivitas seksual
kita yang seharusnya bisa dinikmati dan memberi manfaat. Bukan malah
menakut-nakuti sedemikian rupa, sehingga para pelakunya dibuat menjadi orang
yang sangat berdosa.
Paham tapi
tidak Menikmati, Lantas buat Apa?
Orgasme
perempuan, bukan saja sulit dimengerti karena berupa ragam, tetapi juga karena
orgasme perempuan masih dianggap sebagai hal yang tabu hari ini. Penilaian dan
anggapan yang negatif terhadap perempuan sangean, turut memperparah kondisi
tersebut. Padahal, kalau sudah melakukan aktivitas seksual, para lelaki
mengingkan perempuan yang aktif bukan?
Sudahlah mari
akui saja, kita masih malu-malu kucing untuk mengakuinya. Jangankan untuk
menikmatinya, kalau paham saja belum dengan orgasme perempuan, para lelaki
sudah merasa yang paling benar dan tahu gitu? What the Fuck, ketika ingin
merasakan kenikmatan tapi masih egois. Boro-boro ngomongin keadilan untuk orang
banyak, ngomongin keadilan di atas ranjang saja belum.
Pemahaman orgasme
perempuan, nyatanya juga masih terbatas di kalangan perempuan itu sendiri, dan
kalangan tertentu. Secara umum, masih banyak perempuan sendiri yang malu dan
takut menyuarakan orgasme yang seharusnya bisa ia nikmati. Hal ini, karena
kesan patriarkis yang begitu mengurat akar di kita. Yang menyebabkan perempuan
terus merasa inferior dan tidak berani jujur serta terbuka dalam persoalan ini.
Selanjutnya, hal tersebut semakin menyeret perempuan ke dalam labirin penuh
jebakan.
Melalui kisah
beragam soal kenikmatan seksual, Firliana mengkampanyekan pentingnya arti
orgasme perempuan. Bukan saja karena aktivitas seksual yang dilakukan perempuan
harus dinikmati, tetapi juga sebagai bentuk perlawanan kepada tatanan yang
terkesan mensubordinasi perempuan. Oleh karenaya, ketika sudah paham soal
orgasme, tetapi tidak menikmatinya, lantas buat apa pemahaman tadi? Bukankah sesuatu
yang kita pahami dan kerjakan harus bisa dinikmati? Kalau tidak, saya rasa
lebih baik kalau kita tidak paham sama-sekali.
Kenikmatan
Orgasme adalah Lambang Kesetaraan
Tidak hanya
membedah soal aktivitas perempuan yang heteroseksual, buku ini juga
membicarakan hal yang lebih luas daripada itu. Buku ini juga melacak bagaimana ativitas
perempuan yang lesbian, transgender dan biseksual. Yang masih belum banyak
terekspos di publik, dan masih belum dianggap keberadaannya.
Melalui kisah
yang beragam dalam buku ini, setidaknya kita bisa mengetahui pendidikan seks
yang membebaskan dan memerdekakan. Bukan malah pendidikan seks yang terkesan
menakut-nakuti. Sebagaimana yang dipahami oleh kita kebanyakan. Sehingga, hanya
sebagian orang saja yang berhak bicara soal itu. Yang selanjutnya penilaian
benar-tidaknya tergantung pada sebagian kecil orang ini tadi.
Melalui buku
ini, setidaknya kita juga bisa mengerti arti kesetaraan yang sesungguhnya. Kesetaraan
yang bisa dirasakan oleh semua orang. Bukan kesetaraan yang tidak
mengikutsertakan kelompok minoritas di dalamnya. Firliana, saya rasa sukses
mengkampanyekan hal tersebut, dan hal ini yang sebenarnya mesti masuk dalam
obrolan kita soal Hak Asasi Manusia (HAM).
Kalau kesetaraan
harus diseragamkan dan dikontrol oleh negara sedemikian rupa, saya rasa itu
menjadi salah besar. Yang perlu kita lakukan adalah, ikut mendengar keresahan dan
keluhan yang belum banyak terekspos di publik. Karena, bisa jadi cara pandang
kita juga masih terbatas soal kesetaraan tersebut. Lebih jauhnya lagi, buku
Firlianan ini saya rasa cocok dibaca semua kalagan. Karena ia menjadi jembatan
yang mendorong kita untuk melewati kepandiran yang bercokol lama di otak kita.