Musik yang tidak Sekedar Aku, Kamu, dan Kita!
Saturday, March 21, 2020
Edit
Penulis: Vivi
Qia Agustin*
Data Film
Judul: Bohemian Rhapsody
Sutradara: Bryan Singer
Produser: Graham King, Jim Beach
Aktor/Aktris: Rami Malek, Lucy Boynton, Gwliym Lee, Ben
Hardy, Joe Mazzello, Aidan Gillen, Allen Leech, Tom Hollander, Mike Myers
Durasi: 134 menit
Produksi: 20th Century Fox, New Regency, GK
Films, Queen Films
Menjadi idola
banyak orang, adalah hal yang lumrah bagi tokoh publik. Tidak terkecuali bagi
seorang musisi dan sekumpulan orang yang tergabung dalam sebuah grup band.
Ketenaran, kekayaan, dan gaya hidup glamor, adalah keniscayaan ketika sudah
berada di posisi puncak. Saya jadi teringat sebuah kata-kata yang isinya
begini; “Perempuan akan diuji pada titik terendahnya. Dan laki-laki sebaliknya.
Ia akan diuji ketika berada di posisi puncak.”
Kata-kata
tersebut, lantas mengena sekali ketika saya menonton film Bohemian Rhapsody.
Film yang rilis dua tahun lalu ini, adalah film bergenre musikal kedua yang
berkesan bagi saya. Sebelumnya, saya lumayan terkesima setelah menonton film A
Star Is Born. Sehingga, saya menyimpulkan bahwa tahun 2018 yang telah lalu,
adalah tahun di mana saya banyak menghabiskan waktu menonton film yang bergenre
musical.
Lain A Star
Is Born, lain pula Bohemian Rhapsody. Walaupun keduanya adalah film
tentang musik, kedua film ini punya sorotan utama yang berbeda. Film A Star
Is Born, secara tidak langsung adalah film yang mendongkrak kembali
kepopuleran Lady Gaga. Sedangkan Bohemian Rhapsody, adalah film yang
bertujuan mengenang. Ya, untuk mengenang grup band Queen. Grub band
legendaris dengan vokalis yang gayanya arogan, urakan, serta ceplas-ceplos.
Tokoh utama
film ini adalah Freddie Mercury (Rami Malek), sang vokalis grup band Queen. Diceritakan,
Freedie yang awalnya bernama Farrokh, adalah salah satu pekerja di bandara London.
Freedie berasal dari keluarga keturunan Pakistan, yang akhirnya memilih menetap
di Inggris.
Simbolisme
Pemberontakan
Hubungan yang
kurang harmonis antara Freddie dan sang ayah, adalah gambaran nyata keluarga
zaman dulu. Di mana, ayah menjadi posisi terhormat dan berjarak dengan anak
lelakinya. Sebisa mungkin, ayah menjadi orang yang selalu ingin dihormati dan
dicontoh setiap tindak-tanduknya. Hal ini terbukti dari percakapan antara
Freddie dan ayahnya, yang memita agar dirinya juga memikirkan masa depannya
kelak.
Tetapi, ia
bukan sekedar anak lelaki yang langsung mengamini perkataan dari sang ayah; ia
anak yang berani dan mempertanyakan ulang hasil prinsip yang selalu didambakan
ayahnya. Film yang berlatar waktu dari rentang tahun 1970-1980an ini,
memberikan gambaran jelas kondisi keluarga yang ada di Eropa waktu itu. Karena,
secerah-cerahnya Eropa pada waktu itu, nyatanya juga belum tercerahkan
sepenuhnya. Buktinya ialah, unsur Bapakisme yang masih kuat melekat di
kebanyakan keluraga yang ada, termasuk keluarga Freddie.
Mencermati hal
ini sebagai sebuah simbol pemberontakan, Freddie adalah tokoh yang tepat
sekaligus inisiator yang terbentuk karena rasa kekecewaan. Memang, tentu setiap
orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Akan tetapi, apakah keinginan orang
tua tersebut lantas menjadi kebutuhan sang anak? Saya rasa belum tentu. Apalagi jika dikaitkan dengan kebanyakan
pandangan orang tua pada waktu itu yang masih sangat konservatif.
Tidak hanya
kepada keluarganya, Freedie nyatanya berani memberontak kepada stereotip sosial
yang memarjinalkannya. Karena baginya, penampilan bukanlah ukuran nomor satu
yang bisa dijadikan sebuah patokan. Freddie pun membuktikan, dengan giginya
yang berlebih, ia bisa bernyanyi setara dengan para penyanyi terkenal yang
lain. Secara rasional dia menjelaskan kepada Roger Taylor (Ben Hardy) dan Brian
May (Gwilym Lee), bahwa kelebihan giginya, membuat ia punya jangkauan yang
lebih besar ketimbang orang yang bergigi normal.
Secara lantang,
ketika Roger dan Brian masih mempermasalahkan penampilannya ketika ia ingin
membuat sebuah grup band dengan mereka, ia langsung pergi begitu saja. Saya rasa
memang sudah seharusnya seperti itu. Ketika kita secara pribadi punya daya
tawar, tidak elok malah kita yang terlihat mengemis. Karena, kualitas seseorang
diakui atau tidak, itu tergantung waktu yang menjawab.
Gaya Freddie
yang begitu, mungkin bagi sebagian orang terlihat sebagai sebuah kecongkakan. Akan
tetapi, saya pribadi lebih senang dengan tipikal orang yang seperti Freddie. Yang
berani tampil apa adanya, dan tidak naif hanya untuk tampil baik di depan orang
lain. Gaya Freddie yang apa adanya itu, nyatanya tetap berlanjut sampai ia
sudah menjadi seseorang yang terkenal.
Sebenarnya, mempertahankan
prinsip semacam itu bukanlah hal yang mudah. Tetapi juga bukanlah hal yang
mustahil. Jika tujuan sudah diperjelas, dan mental telah terbangun, setiap
orang saya rasa punya kemampuan mempertahankan prinsip. Seperti yang
dicontohkan oleh Freddie.
Eropa yang
Belum Tercerahkan
Film ini,
mendapat banyak kritikan dan pujian bukan karena banyak hal-hal yang tidak
akurat. Namun, lebih kepada opini publik yang belum mampu menerima sosok
Freedie yang nyatanya biseksual. Film ini sekaligus memperlihatkan sisi
lemahnya Eropa. Benua yang digadang-gadang dan dianggap sebagai kiblatnya
segala kiblat. Melalui film ini, saya akhirnya mempercayai sesuatu, bahwa Eropa
tidak secerdas dan secergas yang selama ini kita bayangkan. Hal ini sangat
jelas digambarkan dalam film Bohemian Rhapsody.
Selain berusaha
mengangkat kelemahan—atau yang lebih tepat disebut sebagai kagetannya—Eropa,
film ini juga berusaha mengangakat posisi orang-orang yang termarjinalkan,
tersubordinasikan, dan terpinggirkan karena orientasi seksusalnya. Hal ini yang
selanjutnya punya relasi dengan Hak Asasi Manusia yang universal itu. Lebih lanjut,
kita akhirnya bisa belajar sejarah dari film ini. Bahwa kagetan dengan hal yang
baru itu tidaklah baik.
Kenapa bisa
begitu? Sosok Freddie yang bisesksual, menjadi fenomena baru di Eropa waktu
itu. Kecemasan dan kekhawatiran orang-orang yang ada di sekitarnya,
menjadi-jadi ketika HIV/AIDS juga berbarengan munculnya.Gaya hidup Freddie yang
sering gonta-ganti pasangan, akhirnya berimplikasi penyakit menular itu
menimpanya.
Semua itu, bagi
Freddie bukanlah masalah besar yang seharusnya ditangisi dan dibuat sedih yang
berlaurt-larut. Bahkan dengan gagahnya ia berkata, “ Kalau yang perlu
dilakukannya adalah menjalani takdir yang sudah ditentukan. Bukan malah
terjebak dalam lingkaran kesedihan yang tidak akan pernah ada habisnya itu.” Karena,
dalam hidup, yang bisa kita lakukan adalah menjalani takdir sebaik mungkin. Bukan
berharap agar takdir itu bisa dirubah sesuai keinginan kita.
Terakhir, yang
jelas film ini sangat menggugah hati nurani saya. Bukan karena filmnya yang diangkat dari kisah nyata dan
benar-benar heroik. Akan tetapi karena film ini mampu menyadarkan saya tentang
satu hal; pertemanan dan persahabatan itu tidak melulu selalu mujur berjalan
lurus. Ada kalanya ia menempuh jalan berliku, dan berhenti sejenak. Dan ada
kalanya, hubungan pertemanan dan persahabatan itu membutuhkan perenungan yang
tidak singkat!
*Maniak Film