Merawat Toleransi dalam Bingkai Keberagaman
![]() |
Sumber Foto: cbpancasilademokrasi7.blogspot.com |
Penulis: Andra
Hakim*
Menyandang gelar “City of
Tolerance”, Yogyakarta selayaknya menjadi tempat yang nyaman bagi setiap
pemeluk agama untuk melakukan ibadah. Akan tetapi, hal tersebut
mesti kita pertanyakan ulang. Setelah melihat kejadian yang menimpa jemaat di Gereja St. Lidwina
pada Minggu lalu (11/02/2018). Peristiwa tersebut, tentu saja
mengganggu status provinsi istimewa ini sebagai kota yang menjunjung tinggi
nilai toleransi, dan akrab dengan slogan “Yogyakarta Berhati Nyaman”.
Menurut data yang dipublikasikan
oleh Wahid Foundation, intoleransi terjadi di Yogyakarta sejak tahun 2012 dan
terus bertambah setiap tahunnya. Fakta tersebut, seharusnya
mendapat perhatian yang serius dari pemerintah dan aparat keamanan. Mengingat, Yogyakarta adalah
miniatur negara dan dinilai sebagai daerah yang memiliki budaya dan tradisi
multikultural.
Banyak terjadinya kasus intoleransi, membuat para
penganut agama, khususnya agama minoritas, semakin merasa tidak aman untuk
melakukan kegiatan beribadah. Hal itu terkadang juga dipicu oleh kebijakan yang
dibuat pemerintah. Seringkali kita menemukan kebijakan-kebijakan yang justru tidak
sesuai dengan nilai-nilai toleransi. Di antaranya, penutupan tempat ibadah,
pelarangan aktivitas ibadah, dan tidak dikeluarkannya izin mendirikan tempat
ibadah.
Dari beberapa
contoh di atas, menjadi tidak heran jika kebijakan-kebijakan
tersebut menjadi alasan kaum radikal untuk melancarkan aksinya. Padahal,
kebebasan beragama sudah diatur sedemikian rupa di dalam Pancasila dan UUD
1945. Hal ini yang selanjutnya
menjadi paradoks di negeri yang penuh ragam ini. Bukannya bersatu karena perbedaan
yang ada, kita malah ingin membeda-bedakan yang sudah satu!
Berpijak pada fakta tersebut, banyak
cara yang bisa dilakukan untuk menghentikan kasus intoleransi di Yogyakarta. Pertama,
dimulai dari keluarga. Sebagai kelompok terdekat, keluarga mempunyai peran
besar dalam membentuk kepribadian seluruh anggota keluarga. Teladan yang baik
dalam memahami, serta pengetahuan akan pentingnya menghargai perbedaan, sudah
harus dipupuk mulai dari keluarga.
Kedua, pemuka agama dan elit ormas.
Sebagai individu maupun kelompok, pemuka agama dan elit ormas sudah seharusnya
turun ke tataran akar rumput dan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Hal
itu dilakukan guna mencegah ketegangan, atau perselisihan antar kelompok.
Mengingat, kasus intoleran yang terjadi seringkali bermula dari pemahaman
yang rendah mengenai perbedaan, dan mudahnya terprovokasi oleh isu agama.
Ketiga, peningkatan kinerja
intelejen. Aparat intelejen harus meningkatkan kemampuan untuk deteksi dini dan
cegah dini. Mengingat angka intoleran yang semakin tinggi, diharapkan agar
pihak intelejen cepat tanggap dalam mencegah kasus-kasus intoleran, yang
seringkali berujung pada tindak kekerasan, dan bahkan pembunuhan.
Keempat, perlunya peran dari
pemerintah. Pemerintah seharusnya bersikap tegas dalam menanggapi kasus
intoleran, serta menggalang persatuan masyarakat untuk menolak radikalisme dan
terorisme intoleransi. Upaya tersebut dapat dilakukan dalam berbagai cara. Di
antaranya melakukan agenda berupa sosialisasi atau seminar yang isinya
mengedepankan dan menghargai perbedaan dalam keberagaman.
Sebenarnya, bukanlah pekerjaan yang
sulit bagi pemerintah DIY untuk mewujudkan “Yogyakarta Berhati Nyaman” bagi
seluruh pemeluk agama. Hal itu dikarenakan DIY memiliki budaya yang lentur dan
tidak menolak akan adanya perbedaan. Dengan partisipasi seluruh kalangan, mulai
dari masyarakat, pemuka agama dan elit ormas serta pemerintah, harapannya
status “City of Tolerance” tetap melekat pada DIY.
Apa yang
terjadi di DIY ini, adalah gambaran nyata yang berlaku di banyak tempat di
Indonesia. Karena diakui atau tidak, jika DIY yang “berhati nyaman” saja punya
contoh kasus semacam ini, bukan tidak mungkin di daerah lain, konflik yang
terjadi lebih runcing lagi. Pasalnya, toleransi di DIY bisa dibilang sudah
masuk dalam angka yang paling tinggi, tapi masih terdapat konflik. Lalu,
bagaimana kondisi di daerah lain?
Dari beberapa
langkah yang saya jelaskan di atas, sah saja jika disebut terlalu normatif. Karena
menurut hemat saya, langkah-langkah tadi cukup jadi pengantar. Kalau pengantarnya
sudah bisa dipahami, bukan tidak mungkin kita akan lebih naik level lagi. Untuk
memahami yang namannya makna keberagaman tersebut. Nah, kalau pengantarnya saja
kita belum paham, bagaimana bisa masuk ke isinya bukan?
Memang, untuk
memunculkan toleransi itu saja, sudah terbilang tugas yang berat dan sulit,
apalagi untuk merawatnya. Akan tetapi, seberat dan sesulit pekerjaan, pada
akhirnya harus tetap dilaksanakan bukan? Agar apa? Agar nanti, bisa
menghasilkan intoleransi yang mendewasakan peradaban kita yang berisi ragam
orang, ragam budaya, dan ragam agama ini.
*Pemerhati isu
toleransi dan keberagaman