Menyoal Penolakan Harlah NU oleh Muhammadiyah Kauman
Tuesday, March 3, 2020
Edit
Perihal kondisi
hubungan NU dan Muhammadiyah, memang sedang tak baik-baik saja. Sejak
terbentuknya hingga sekarang, antara NU dan Muhammadiyah cuma sekedar terlihat
rukun, tapi tak pernah bisa bersatu. Bisa dikata, hubungan antara kedua ormas
ini memang tidak seharmonis yang kita kira. Baik NU dan Muhammadiyah, belum ada
yang namanya “saling memahami” antara satu sama lain. Oleh karenanya, mau
sampai kapanpun juga, NU dan Muhammadiyah ibarat kopi dan teh, yang tidak akan
pernah enak untuk dicampur dalam satu wadah.
Menyorot
penolakan harlah NU yang akan diadakan pada Kamis, 5 Maret 2020 bertempat di
masjid Kauman nanti, ibarat sedang menyaksikan drama roman. Pasalnya, NU
diibaratkan sebagai tamu yang ingin berkunjung, dan Muhammadiyah sebagai tuan
rumahnya. Tamu ini, alih-alih dijamu dengan sebagaimana layaknya, malah diusir
sebelum mendekati pintu masuk. Tamu ini diusir karena berbagai alasan. Salah
satunya yaitu, di dalam rombongan tamu ini terdapat orang yang (dianggap)
pernah membuat keributan.
Berangkat dari
hal tersebut, patut jika kita membaca ulang hubungan yang terjalin antara NU
dan Muhammadiyah dewasa ini. Bukan karena ingin repot-repot mendamaikan. Akan
tetapi, karena pada dasarnya dua ormas ini sudah sama-sama dewasa. Dan sudah
selayaknya tidak perlu ada lagi konflik yang bersifat kekanak-kanakan semacam
ini.
Gesekan—yang
jika tidak bisa dibilang perseteruan—antara NU dan Muhammadiyah, bukanlah hal
yang baru. Ironisnya, konflik yang terjadi sering kali bermula dari faktor
berbedanya kebudayaan. Mulai dari masalah tahlil, qunut, penentuan hari
valentine, eh maksud saya hari pertama Ramadhan, sampai ke persoalan rokok, NU
dan Muhammadiyah seakan memang tak pernah bisa akur. Anehnya lagi,
konflik-konflik ini bukan malah membuat kedua ormas ini belajar dari kesalahan
masa lalu, justru malah mencari celah kesalahan dari pihak yang lain.
Menanggapi surat
edaran yang berisi penolakan harlah NU di masjid Kauman nanti, patut
kalau kita
bicarakan lebih lanjut. Selain menandakan keretakan hubungan antara NU dan
Muhammadiyah, kejadian ini malah membawa soal tepa selira. Yang artinya,
komunikasi antara kedua ormas ini terbilang cukup buruk. Terlepas ada anggapan kalau
harlah NU ini akhirnya mengganggu kondusifitas umat Muhammadiyah di sana, tentu
tak elok kalau kita
cuma membincang soal akibat yang ditimbulkan.
Belajar dari
Kisahnya Gus Dur dan Pak Abdul Rozak Fakhruddin
Gus Dur,
sebagai orang yang pernah menjabat posisi ketua PBNU, pernah sewaktu-waktu
membawa pentolan Muhammadiyah ke pondok Tebuireng, Jombang. Bukan hanya
diundang untuk sekedar berkunjung, tokoh Muhammadiyah tadi malah diminta Gus
Dur untuk mengimami salat tarawih di sana. Ya, kejadian ini tepat pada saat
Ramadan. Dan tokoh yang diundang adalah Pak AR. Eh tapi bukan Amin Rais lho
ya... AR yang dimaksud di sini adalah inisial dari Pak Abdul Rozak Fakhruddin.
Ya, beliau
adalah Ketua Umum Muhammadiyah sejak tahun 1971-1990. Tokoh yang satu ini
memang terkenal dekat dengan para tokoh NU, termasuk Gus Dur sendiri. Berlanjut
ke kisahnya tersebut, sebelum memulai tarawih, selayaknya tamu, Pak AR pun
bertanya lebih dahulu kepada jemaah yang ada. Katanya, “Ini mau tarawih pake
cara NU yang 23 rakaat, atau cara Muhammadiyah yang 11 rakaat? Sontak saja
jemaah yang ada diibelakang menjawab kompak, “cara NU!!!”
Mendengar permintaan
dari para jemaahnya, Pak AR akhirnya mengiyakan dan memulai salat tarawih
tersebut. Karena mungkin sudah kebiasaan, cara ngimami Pak AR pun lirih,
pelan, dan kalem. Sehingga, baru sampai pada rakaat ke delapan, sebelum
melanjutkan salat tarawihnya, Pak AR menanyakan ulang, “Apakah masih mau
dilanjut dengan cara NU?”
Kompak dan
penuh semangat, jemaah dibelakang pun menjawab, “Ala Muhammadiyah saja.” Pak AR
pun menyetujui lagi permintaan dari para jemaahnya. Anehnya, kejadian itu tidak
membuat pihak NU yang diimami oleh Pak AR menjadi tersinggung. Justru yang ada,
para jemaah pun tertawa kompak. Semacam ada kebahagiaan tersendiri karena hal
tersebut.
Seusai salat,
Gus Dur pun berkata pada jemaah tepat di hadapan pak AR. “Baru kali ini ada
sejarahnyanya NU dimuhammadiyahkan secara massal oleh seorang Muhammadiyah saja
di kandang NU sendiri...”
Semua orang
akhirnya terkekeh, tidak terkecuali pak AR sendiri.
Bagi saya yang
tidak mengalami kejadian tersebut, secara pribadi bisa membayangkan suasana
harmonis yang berlangsung. Tidak hanya itu, saya turut bisa merasakan
kegembiraan yang terjadi pada malam itu. Belajar dari kisahnya Gus Dur dan Pak
AR ini, bukan berarti bahwa jemaah NU lebih dewasa ketimbang jemaah
Muhammadiyah (walaupun sebenarnya bisa saja seperti itu).
Namun, ada
baiknya bagi jemaah NU dan Muhammadiyah yang ada di Jogja dan Kauman khususnya,
bisa memetik pelajaran dari kisah tersebut. Karena sebenarnya dari kisah tersebut kita bisa mengambil
sebuah pelajaran. Bahwa, tidak ada yang perlu merasa lebih unggul baik NU dan
Muhammadiyah. Selain itu, dari kisah tersebut kita juga bisa memahami makna
dari yang namanya “persaudaraan”, yang terjalin antara NU dan Muhammadiyah.
Hal ini yang
justru berbanding terbalik dengan kondisi penolakan harlah NU nanti. Bukan saja
terkesan lebih tidak masuk akal. Dari surat edaran yang disebar, alasan
mengganggu kondusifitas dan soal menjaga aset, adalah alasan yang bagi saya
sungguh tidak bisa dinalar. Terlepas dari tokoh pembicara yang diundang adalah
Gus Muwafiq—yang dianggap oleh para pemuda Muhammadiyah pernah menimbulkan
kontroversi—alangkah baiknya kalau kita mengingat kembali kisah semacam yang
dialami Pak AR tadi.
Karena, bagi
saya pribadi yang memang secara kultural NU, cukup kaget dengan adanya kasus
penolakan semacam ini. Menurut saya, kejadian yang semacam ini tidak akan
terjadi antara NU dan Muhammadiyah, jikalau benar-benar menganggap NU dan
Muhammadiyah itu bersaudara.
Selanjutnya,
menyoal alasan yang dipaparkan dalam surat edaran tadi, pihak Muhammadiyah
mengingkan agar tidak terjadinya gesekan antara anak bangsa. Yang justru bagi
saya, dengan adanya penolakan disertai surat edaran semacam itu, malah memantik
gesekan yang sebenarnya tidak diinginkan.
Terakhir, patut
kalau kita memang benar-benar mencermati inti sari dari kisah Gus Dur dan Pak
AR tadi. Bukan hanya soal membaik-baikkan dan melebih-lebihkan. Tapi pada
nyatanya, baik Pak AR, Kiai Usman dan Kiai Azhar, yang semuanya adalah orang
Muhammadiiyah, dekat dengan para tokoh NU yang ada. Dan memang dari kisah
tersebut, kita bisa mengambil pelajaran kalau tidak ada yang perlu merasa lebih
unggul baik NU dan Muhammadiyah sendiri.
Cukup kiranya,
gesekan yang kekanak-kanakan semacam ini selesai sampai di sini. Di kemudian
hari, harusnya kita malu kalau kejadian semacam ini terulang kembali. Hal ini
berlaku baik bagi Muhammadiyah dan NU, ketika nanti menjadi tuan rumah dari
acara yang akan diselenggarakan oleh pihak di luar internalnya. Salam tabik!!!