Membumikan Budaya Membaca (Tuntas)
Penulis: Kafka Zakaria
Tentunya, tidak asing lagi di telinga kita, ketika mendengar
istilah “membaca
mencerahkan otakmu”. Eh maaf, maksud saya “membaca adalah jendela
dunia”. Sebenarnya, dunia yang mana yang mau kita kasih jendela? Apakah dunia
dan seisinya ini butuh ventilasi? Karena sirkulasi udara (baca:pengetahuan)
terdistribusi secara tidak merata? Ataukah memang ada hal lain yang menuntut
kita untuk terus membaca sampai akhir hayatnya dia. Eh dia siapa? Akhir khayat
kita maksud saya. Maaf belepotan. Efek baru bangun. Ditambah liat thread
twitter yang kentang.
Oke, oke, gak usah lama-lama. Mari kita masuk
pada apa yang saya maksud dengan judul di atas. Kenyataan dan fenomena alam—membaca—tersebut, ternyata malah meragukan dewasa ini. Pasalnya, sepintar apapun kita setelah
membaca, pada akhirnya kita bukan siapa-siapa. Dirinya juga belum jelas
kabarnya, sampai hatinya pun kia tak tahu akan mendarat ke siapa? Bener, kan?
Tapi gakpapa dek. Selama yang jualan buku
masih ada, membaca adalah aktivitas yang harus ada. Kalau udah gak ada yang
baca, terus siapa yang mau beli buku? Presiden? Politisi? Ya jelas dong, kan
emang presiden dan politisi yang harus baca buku hari ini. Eh maksudnya baca
hati rakyat sih. Hayo, rakyat yang mana dulu nih? Rakyat senayan? Pondok indah?
Menteng? Jaksel? Atau rakyat yang di pinggiran sawah? Di bantaran kali? Dan yang
bermalam di pinggiran kereta serta jalan raya?
Ya, ya, ya. Saya serahkan kepada para tuan dan
nona yang terhormat saja mengurus itu. Yang belum terhormat dan merasa pintar,
silahkan minggir dulu ya. Apalagi untuk yang tidak mau membaca fenomena alam,
mari kita duduk santai saja. Rebahkan badanmu dan nyamankan bokongmu di kursi
atau di tempat kau berada saat ini. Eits, jangan lupa cemilannya dimakan
sembari menunggu wabah Corona lenyap dan hilang. Seperti bayangan dan kenangan
dia yang pernah berlabuh di ufuk hatimu yang paling syahdu.
Membaca, apappun itu, tidak elok kalau kita
kampanyekan sedemikian rupa. Apalagi sampai mengangkat duta baca. Yang kerjaannya
juga gak mengajari untuk membaca. Tapi tidak apa-apa. Setidaknya kita tidak
boleh berburuk sangka. Karena buruk sangka pada akhirnya masuk neraka.
Hey, hey, hey. Kok ya saya khotbah di jam
segini, dan bukan pada hari Jum’at pula. Fix ini gara-gara Hyung Korea gadungan
yang janjiin thread kuota gratis, ternyata cuma nyari sensasi. Minta dimandiin
di air panas, direndem kayak rendem beras, terus dibuang ke selokan tuh Hyung gadungan.
Hufttt....
Seperti yang sudah saya sentil-sentil di
bagian atas barusan, aktivitas membaca, saya tidak sepakat jika dijadikan ajang
dan perayaan. Selayaknya jalan kebenaran, menurut saya, membaca itu adalah
aktivitas sunyi. Yang menuntut perenungan dan pendalaman panjang bagi pelaku
yang menjalani. Jika ia dijadikan dan diabadikan menjadi perayaan, maka akan
menciderai kemurnian dan kesucian aktivitas yang saya anggap sakral itu.
Nah kan, beneran ceramah gak jelas ini
jadinya. Walau begitu, saya belum akan merampungkan tulisan ini. Pasalnya, saya
cuma ngecek ombak barusan. Lebih jauhnya lagi, saya ingin mengukur sejauh mana
kebodohan yang saya miliki. Tidak itu saja, saya akan membuka ruang dan waktu
lain kali, untuk memuncaki pikiran pandir saya ini.
Oke, kita kembali pada topik tulisan ini yang sebenarnya. Seperti yang sudah diperingatkan
oleh pemerintah, banyaklah
membaca, agar engkau pandai nantinya. Setelah pandai, dirimu akan berguna. Pertanyaannya,
berguna bagi dan untuk siapa? Untuk negara yang adigang, adigung adiguna ini? Atau
untuk pemerintah kita yang banyak maunya dan sedikit kerjanya? Oh ya ya, saya
tahu. Pasti kita disuruh membaca agar berguna bagi rakyat ya? Rakyat yang mana?
Ya tanyakan saja pada yang punya kuasa menjawabnya.
Lanjut ya? Oke kita lanjut saja biar gak berlama-lama.
Membaca, adalah aktivitas yang tidak jarang
disalahpahami makna aslinya. Ketika berhenti pada membaca teks, tanpa
menerjemahkan makna di dalamnya, membaca seakan merelakan waktu untuk terbuang
sia-sia. Belum lagi, perangkat yang kita pakai dan habiskan bersama dengan
berjalannya aktivitas membaca ini.
Selanjutnya, izinkan saya sebagai orang
Indonesia yang tidak terhormat ini dan tidak tahu hormat kepada siapa, untuk
melanjutkan racaun agar bisa menghadapi pertanyaan dari pembaca yang budiman.
Membaca itu juga termasuk sebuah upaya, yang
tidak sekedar sampai pada titik menghabiskan cadangan tenaga yang ada. Dengan kata
lain, ia adalah upaya untuk menyambungkan sanad pengetahuan yang pernah ada
sebelumnya. Bagaimana cara menyambungkannya? Itu dikembalikan kepada setiap
pelaku yang menekuni aktivitas membaca tersebut.
Misalnya begini. Ketika ada sebuah upaya
setelah membaca untuk menuliskannya, secara tidak langsung sudah menjadi
pekerjaan berharga. Karena, melalui upaya yang semacam itu, kita turut
mengabadikan sesuatu yang bisa jadi berguna di kemudian hari. Tidak hanya
sampai di situ. Melalui pekerjaan pengabadian, bisa diartikan kita turut serta
untuk menjadi abadi. Ya, lewat guratan yang bersumber dari pengolahan pikiran
dan berbentuk tulisan. Walaupun diir kita tak abadi, setidaknya kenangan kita
bisa terus berlari tanpa pernah berhenti.
Tidak dapat dipungkiri, faktor globalisasi hari
ini, juga ikut membentuk persoalan semacam yang berbentuk banyak rupa ini.
Stigma yang berkembang di kalangan pembaca, seringkali langsung pada kegunannya.
Padahal, membaca juga gak bisa terus-terusan berguna. Maksud saya begini. Membaca
yang membosankan dan melelahkan itu, sewaktu-waktu juga tidak bisa kita bgai
kepada orang lain. Ibarat wahyu yang diterima antara Nabi dan Rasul.
Hoy, saya bukan khotbah ya. Serius.
Nabi, ketika mendapat wahyu, ditujukan pada dan
untuk siapa? Untuk diri sendiri bukan? Terus kalau Rasul bagaimana? Ya, tentu
kebalikannya. Yang artinya memang ditujukan pada dirinya serta untuk orang
lain. Nah, jadi, membaca itu juga ada kalanya seperti itu. Kita tidak bisa
langsung membagi hasil bacaan seketika. Parahnya nih ya, kalau yang dibagikan
adalah hasil bacaan yang cuma sebatas judul. Akankah kita menjadi kelompok
pembaca judul? Ne ne ne.
Ah capek, cukupin dulu ya, kita ketemu lain
waktu. Doakan saja saya tidak lupa menyambung tulisan ini. Sebagai penutup,
saya akan menyampaikan sebuah petuah bijak mutiara. Isinya kurang lebih begini:
“Jika kemajuan suatu bangsa dan negara diukur
dari seberapa rajin dan sering suatu generasi membaca, maka membaca adalah hal yang pasti. Karena, mau disepakati
atau tidak, kecepatan dan kuantitas bacaan maupun pengalaman yang didapat
bersamanya, tidak melulu menjadi sebuah alat yang bisa diapakai untuk
persaingan. Oleh hal yang demikian, sebaiknya kita bersaing dulu dengan diri
sendiri. Yang seringkali merasa malas. Yang tak tahu kalau dengan “bermalas-malasan
adalah cara terindah menyiksa diri”. Yang lebih parahnya lagi, kalau tidak tahu
menyiksa diri sendiri dengan membaca yang tidak tuntas!
Sekian. Bye-bye friend, guys, bolo, temen, konco, asu,
kirik, dan sebutan akrab lainnya.