Membaca Prof. Yudian Wahyudi Hari Ini
Penulis: Agus
Setiyawan*
Tepat pada hari
Rabu, 12 Februari 2020 kemarin, detik.com mengeluarkan berita soal pernyataan
Prof Yudian Wahyudi yang berjudul “Kepala BPIP Sebut Agama Jadi Musuh Terbesar
Pancasila.” Dari judul berita ini, sangat kentara manuver tajam yang dilakukan
oleh detik untuk mendulang pengunjung serta pembaca. Selain itu, judul berita
ini juga terkesan alay dann tidak jernih secara penyampaian.
Berita ini,
lantas direspon secara massif oleh publik, dan dianggap sebagai pernyataan yang
mengundang kontroversi. Pasalnya, pernyataan ini dianggap terlalu berlebihan,
dan tidak seharusnya dikeluarkan oleh tokoh sekelas Prof Yudian. Apalagi dengan
posisinya sekarang sebagai kepala BPIP. Anehnya lagi, berita ini pun memicu
publik perjagatan twitter untuk menaikkan tagar #BubarkanBPIP. Yang tentu saja,
pelaku-pelakunya adalah golongan dari para bani kadrun.
Tidak aneh jika
publik terheran-heran, kenapa ketika baru saja dilantik, statement beliau
terkesan sangat liberal dan tidak nasionalis. Padahal, jika mau ditelisik lebih
jauh, substansi pemikirannya sangat jauh dari kesan tersebut. Bahkan, bisa
dibilang kalau statement beliau adalah bentuk jihadnya sebagai orang yang
sangat cinta NKRI.
Statement beliau yang terkesan sekuler tersebut, adalah langkah tegas dalam menentukan posisi dirinya sebagai seorang tokoh publik hari ini. Di tengah keruhnya persepsi kita soal agama sekarang ini, apa yang dilakukan oleh Prof Yudian sebenarnya merupakan langkah yang tepat.
Dampak
kegaduhan yang ditimbulkan dari berita yang dikeluarkan detik.com ini,
sebenarnya bukan hal yang aneh. Mengingat karena kurangnya pengetahuan
kebanyakan orang tentang Prof Yudian. Jika saja publik mengenal lebih dekat
sosok Prof Yudian, bisa dipastikan kegaduhan yang semacam ini tidak akan
terjadi.
Mengenal Prof
Yudian Lebih Dekat
Sebagai seorang
mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, pada awalnya saya juga kurang empati dengan sosok
Prof Yudian. Sosok yang terkesan sombong dan angkuh ini, begitu menonjolkan
kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Di banyak kesempatan, mungkin beliau lah
satu-satunya orang yang selalu mengulang-ulang pernyataan kalau dirinya adalah
alumni IAIN pertama yang berhasil ke Harvard.
Pencapaian
tersebut, bagi saya pribadi seorang mahasiswa IAIN—yang sekarang UIN—patut untuk
dibanggakan. Pasalnya, waktu itu bukan hal yang mudah bagi anak UIN untuk bisa
sampai ke Harvard. Apalagi sekaligus
mendapatkan gelar Profesor, dan menjadi tenaga pengajar di sana.
Kesan anak UIN
yang selalu diremehkan, dan mitos bahwa anak UIN akan selalu inferior ketimbang
alumni kampus negeri yang lain, secara tidak langsung sudah dipatahkan oleh
Prof Yudian. Beliau lah orang pertama yang membuka jalan dan mengenalkan pada
dunia bahwa, kualitas alumni UIN juga tidak kalah bagus ketimbang alumni kampus
negeri yang lain.
Menjadi hal
yang wajar kiranya, dalam sekian sambutannya, beliau selalu mendorong anak muda
untuk meniru jejak yang pernah beliau buat. Selain itu, di setiap karyanya,
Prof Yudian juga tidak pernah lupa mengingatkan pembacanya untuk selalu menempa
diri. Agar bisa berguna bagi orang banyak nantinya, atau minimal tidak menjadi
orang yang kagetan dalam melihat dan menilai sesuatu. Dengan kata lain, publik
yang kagetan dengan statement beliau kemarin, bisa dikategorikan sebagai korban
dari politisasi media hari ini.
Puncak Jihad
Intelektual
Selain masih
merangkap sebagi rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof Yudian adalah seorang pimpinan
pondok pesantren. Pesantren yang beliau dirikan, terletak di jalan Wonosari,
Yogyakarta. Tujuan beliau mendirikan pesantren, antara lain adalah bentuk
perjuangan jihad intelektualnya. Selain sudah selesai menempa diri dan
membuktikan kualitasnya, Prof Yudian juga tidak lupa mendidik generasi penerus
bangsa.
Pesantren yang
juga memompa semangat penguasaan beberapa bahasa asing ini, adalah bukti
inklusifitas beliau dalam menghadapi perubahan dan kemajuan. Pesantren, sedikit
banyak menurutnya tidak lagi hanya harus menguasai bahasa arab. Namun pula
harus menguasai beberapa bahasa besar dunia hari ini. Selain itu, pesantren
yang didirikannya ini juga memompa semangat saintisme.
Kerap kali
ketika saya mengikuti sebuah acara, yang ada Prof Yudian di dalamnya, beliau
juga ikut mendorong anak-anak muda khususnya kalangan santri, untuk tidak
melupakan warisan sains yang pernah diwariskan oleh Islam. Secara tidak
langsung, Prof Yudian juga menaruh harapan pada generasi setelahnya, agar tidak
menganggap remeh semangat saintisme. Harapan yang sekaligus anjuran tersebut,
sebenarnya tidak lain adalah cita-cita yang belum sempat beliau laksanakan.
Oleh karena
itu, bisa kita sebut kalau posisi Prof Yudian hari ini sebagai kepala BPIP,
adalah puncak dari jihad intelektualnya selama ini. Saya secara pribadi lebih
beranggapan seperti itu. Selain karena posisinya sekarang yang memang tidak
bisa dianggap remeh, akan lebih sulit bagi Prof Yudian hari ini untuk terus
mendorong kemajuan dari elemen akar rumput atau kultural. Sudah waktunya bagi
beliau untuk berjuang (jihad intelektual) di wilayah struktural, terlebih
karena memang beliau yang mengepalai BPIP hari ini.
Antara Jihad
Intelektual dan Pengabdian
Kepulangannya
dari Amerika dulu, sebenarnya adalah bentuk keberanian yang harus diapresiasi.
Selain karena kondisi finansial dan prospek karir yang jelas berbeda antara
dosen Indonesia dan Amerika waktu itu, pilihan untuk pulang ke tanah air adalah
keputusan yang tak biasa.
Jika saja cara
berpikirnya Prof Yudian lebih materialis dan liberal, tentu beliau akan lebih
memilih untuk tetap tinggal di Amerika, dan meniti karir di sana. Akan tetapi,
justru beliau lebih memilih untuk pulang ke Indonesia, dan merintis karir dari
awal lagi sebagai dosen IAIN. Yang tentu saja, secara finansial dan prospek
karir tidak sejelas dan menguntungkan dibanding jadi dosen di Amerika.
Dari sekian
pemaparan di atas, tentu publik hari ini bisa punya penilaian baru terhadap
kepala BPIP hari ini. Prof Yudian, secara tidak langsung juga membawa semangat
perjuangan yang diwariskan oleh Gus Dur. Saya pribadi percaya, kecil
kemungkinan kalau Prof Yudian hanya berniat viral. Selain karena hal tersebut
sangat remeh baginya, menjadi viral sesaat bukan lah tipikal seorang Prof
Yudian Wahyudi.
Sependek
pengetahuan saya tentang beliau, Prof Yudian adalah sosok yang patut ditiru dan
dicontoh. Keberaniannya untuk menjemput kemoderatan di tengah kaku dan
garangnya pemahaman kita soal agama, seharusnya tidak dihakimi dengan cacian
dan makian tak berdasar.
Terlepas apakah
beliau nantinya menjadi secercah harapan bagi bangsa Indonesia (membawa
Indonesia ke arah yang lebih baik), secara pribadi dan saya mengajak kepada
generasi muda hari ini, jangan pernah menaruh harapan pada beliau. Karena pada
hari esok, beliau hanyalah penonton kita yang menjadi aktor perubahan. Dengan
kata lain, generasi muda khususnya santri hari ini, harus mampu untuk melampaui
beliau, atau minimal menyamai pencapaian yang pernah Prof Yudian torehkan.
*Takmir masjid
di pinggiran rel kereta, sekaligus mahasiswa yang terpaksa mudik karena
Corona!!! Bhaaa!!!