Keadilan Bersama yang Universal, Apakah Ada?
Sunday, March 22, 2020
Edit
![]() |
Sumber Foto: garudadaily.com |
Penulis: Embar
Maijus Anggraino*
Mendengar kata
difabel, saya langsung teringat dengan keponakan saya, anaknya kakak sepupu. Ia
adalah seorang difabel tunarungu dan tunawicara. Perjumpaan saya dengannya
ketika saya berumur belasan tahun. Sebelumnya, saya yang masih bocah waktu itu,
masih belum mengerti sebab kenapa ia tidak bisa bicara. Ketika saya tanyakan
kepada Ibu saya, Ibu hanya menjawab itu bawaan dari lahir. Saya pun tidak
memperpanjang pertanyaan tersebut. Dan lebih memilih berinteraksi sewajarnya.
Saya yang waktu
itu masih belasan tahun, kadang merasa lucu ketika harus mengobrol dengannya. Di
satu sisi, saya belum paham bahasa isyarat. Di sisi lain, kami memang jarang
bertemu. Pertemuan dengannya terjadi jika saya mudik ke kampung halaman Ibu. Dan
ketika saya kembali ke tempat keluarga kami merantau, saya juga tidak
mengingatnya lagi. Sampai pada waktu kami sekeluarga benar-benar pindah ke
kampung halaman Ibu, interaksi dengan keponakan tadi menjadi lebih intens.
Sederhananya,
sebelum saya merantau ke Jogja, saya sudah pernah punya pengalaman
bersinggungan dengan orang difabel. Dan saya tidak pernah menganggap difabel
sebagai sebuah kelainan. Karena saya merasa, bukan mereka—orang difabel—yang harus
menyesuaikan gaya hidup kita yang non difabel. Tetapi kitalah yang harus
menyesuaikan mereka.
Hal ini bukan
karena saya merasa kasihan, namun lebih kepada apa yang saya rasakan. Lantas,
bagaimana kalau mereka yang harus dipaksakan untuk menyesuaikan gaya hidup kita
yang mayoritas dan non difabel ini? Apakah hal tersebut tidak menjadi sebuah
pemaksaan yang dilakukan oleh mayoritas kepada minoritas? Karena disadari atau
tidak, jumlah orang difabel di Indonesia sendiri masih kalah jauh ketimbang
yang non difabel. Jumlahnya kurang lebih 10% dari populasi yang ada.
Sampai hari ini
pun, saya pribadi masih terenyuh ketika melihat orang difabel di jalan yang
menjadi tontonan. Lebih terenyuh lagi kalau mereka menjadi bahan candaan dan
tertawaan. Sebenarnya apa yang patut dijadikan candaan dan tertawaan dari
mereka? Apakah karena mereka berbeda dari kita yang menganggap “normal” ini? Ataukah
karena kita merasa lebih baik ketimbang mereka? Sungguh, saya pribadi tak
sampai hati punya pikiran semacam itu.
Bukan ingin
disebut baik, tapi karena saya sendiri bisa merasakan bagaimana rasanya ketika
kita berbeda dari orang kebanyakan. Sungguh tidak enak rasanya, kalau perbedaan
kita menjadi hal yang dipermasalahkan. Belum lagi kalau kita menjadi buah bibir
yang isinya negatif melulu. Memang, sebagai bangsa yang besar, kita belum
sepenuhnya paham apa arti pluralisme. Jika dipahami dan dijalankan, toh itu
hanya berlaku bagi perbedaan antar suku dan agama. Tapi belum kepada perbedaan
antara difabel dan non difabel.
Sebagai orang non
difabel, apa yang kita sebut kebutuhan, belum tentu bagi teman-teman difabel menjadi
sebuah kebutuhan. Hal tersebut terjadi karena kita seringkali hanya memikirkan
sesuatu dengan satu cara pandang. Dan jarang sekali memakai perspektif
inklusifitas dalam melihat sesuatu. Contoh kecilnya saja yaitu toilet. Kebanyakan
kita, tentu mengingkan toilet duduk agar terlihat keren, atau minimal toilet yang
tingginya jauh dari lantai. Tapi pernahkah kita memikirkan bahwa hal tersebut
sebenarnya menyusahakan teman-teman difabel?
Misalnya saja,
orang difabel yang harus menggunakan kursi roda, kruk, atau tongkat. Coba bayangkan,
bagaimana susahnya kalau kita membuat sebuah toliet dengan cara pikir yang
barusan? Bukankah hal tersebut menjadi penghalang bagi teman-teman difabel? Sekaligus
menjadi halangan bagi mereka untuk memperoleh kenyamanan dari sebuah fasilitas.
Terus pertanyaannya, apakah selama ini kita sudah benar memaknai yang namanya
toleransi?
Bukankah selama
ini kita jarang sekali memikirkan kondisi yang harus dihadapi oleh orang non
difabel? Contohnya ya toilet tadi. Belum lagi hal yang lain. Kalau masalah
toilet saja kita masih abai, lantas mau diarahkan ke mana bangsa besar yang
mengayomi semua warga negaranya ini?
Semenjak pascareformasi,
wacana difabel mulai menunjukkan taringnya ke permukaan. Setelah sebelumnya
difabel disamakan dengan “cacat” oleh rezim Orde Baru. Padahal, kata cacat
sendiri adalah bentuk pengingkaran pada kemanusiaan. Sesungguhnya, kata cacat sendiri
hanya cocok berlaku pada benda mati, dan tidak cocok sama sekali pada makhluk
hidup. Oleh karena itu, menjadi sebuah kemajuan kalau kita tidak lagi
menggunakan kata cacat, dan lebih memilih kata difabel.
Masih adanya
anggapan di masyarakat bahwa difabel sama dengan cacat, tidak bisa disalahkan
sepenuhnya kepada masyarakat tersebut. Karena mau diakui atau tidak, rezim Orde
Baru lah yang seharusnya bertanggung jawab mengubah pandangan tersebut. Sebab,
mulai dari Orde Baru pulalah orang difabel dikategorikan sebagai orang cacat.
Hal ini, yang
kemudian sepatutnya kita pikirkan bersama. Karena secara tidak langsung, isu
disabilitas menjadi pekerjaan rumah kita yang belum selesai. Bahkan bisa
dibilang, kita belum beranjak jauh-jauh banget sejak undang-undang perlindungan
disabilitas dibuat.
Sebagai orang
yang non difabel, saya sarankan kepada diri saya pribadi dan kita bersama,
untuk tidak lagi memberikan jasa baik yang sebenarnya tidak perlu kepada orang
difabel.
Kemandirian, adalah hal yang sangat dijunjung oleh orang-orang
difabel. Oleh karena itu, yang perlu kita lakukan adalah lebih sering berinteraksi
dengan teman-teman difabel. Bukan malah membaca kebutuhan mereka dari luar dan
berjarak. Sebabnya tidak lain karena, untuk mewujudkan keadilan bersama yang
universal, haruslah berangkat dari kesamaan visi terlebih dahulu!
*Hamba biasa
yang fakir ilmu dan harta