Kayas (1)
Saturday, March 14, 2020
Edit
![]() |
Ilustrasi: Krisna Dwiva |
Dalam posisi duduk seperti sekarang ini. Ia
melipatgandakan sensasi garukan di selangkannya. Kayas menggaruk dengan kedua
tangannya setelah sebelumnya hanya menggunakan
tangan kirinya saja. Matanya merem-melek. Sesekali, selain menyeka-nyeka
sela-sela paha dan biji burungnya. Jari-jari Kayas dengan tekiti mengelus-elus
bulu jembutnya yang rimba. Pertemuan antara tangan dan jembut inilah yang
menghasilkan guguran jembut kriting di celananya. Bila telah puas menusap
jembut atau setidaknya,tidak ia dapati lagi jembut yang rontok. Kayas akan
berdiri untuk sesaat, mengibig-gibrigkan celananya perlahan, lalu
berjingkat-jingkat hingga ditemukannya semua jembut di permukaan tanah.
Kayas akan mengumpulkan suwir demi suwir jembutnya
yang tergelatak tanpa nyawa. Menghimpunnya menjadi satu kumpulan jembut dan
memasukannya ke dalam toples kaca bekas selai nanas yang ia pungut dari
keranjang sampah di kolong jembatan, tak jauh dari rumah kardusnya yang super
minimalis.
Kayas sumringah dengan jumlah jembut di toplesnya yang
dari hari ke hari kian bertambah. Ia memutar balik toples kaca di tangannya, mengira-ngira
jumlah jembutnya sekitar delapan ribu, atau mungkin sepuluh ribu-an. Ya sekitar
itulah. Untuk apa jembut-jembut itu dikumpulkan? Kayas sendiri tak tahu
tujuannya, tapi ia menyukainya, ia senang bisa melihat sesuatu yang pernah melekat
pada tubuhnya terkumpul dalam satu tempat dan masih dalam jangkauannya.
***
Sebelumnya. Dalam arti “sebelumnya” yang tak Kayas
ingat lagi, entah dua, tiga, atau empat tahun lalu. Kayas tak begini;
gelandangan yang tinggal di rumah kardus, di bawah kolong jembatan, seberang
jalan tol. Kehidupan layak, bahkan mewah, jauh lebih dulu Kayas rasakan. Meski
sebetulnya Kayas tidak mau mengingat-ingat lagi kehidupan lamanya itu. Kayas
selalu berusaha melupakan masa lalunya dengan cara tidur dan berharap
terbangun dalam keadaan bukan dirinya. Atau
paling tidak, jika ia bisa memilih sebelum dilahirkan, ia akan memilih terlahir
sebagai gembel, tanpa ikatan dengan asal-usul keluarga Ayah dan Ibunya.
Ia benci Ayahnya yang gagah, tampan, dan selalu sibuk.
Juga ibunya, yang cantik, mencintai kemewahan, anti kemiskinan, yang juga
sama-sama sibuk seperti Ayahnya.
Suatu malam, pada sebuah perayaan ulang tahun Ibunya,
di rumah. Kayas mengurung diri di kamar. Mbok Yati, pembantunya, berulang kali
mengetuk pintu kamar Kayas, meminta Kayas agar mau turun dan ikut di
tengah-tengah perayaan pesta ulang tahun ibunya. Kayas bergeming, permintaan
ikut pesta ulang tahun bukan tulus permintaan Ibu atau pun Ayahya. Kayas tahu,
teman-teman ibunya, atau paling tidak teman-teman bapaknyalah yang mengiginkan
Kayas. Ayah dan Ibu tak pernah benar-benar mengaharapkan kehadiran kayas, pikir
Kayas. Bahkan sempat terlintas dalam pikiran Kayas, kehadirannya di dunia pun
bukan takdir, melainkan kecelakaan.
Tuhan salah alamat mengirim diri, jiwa bernama Kayas
ini ke dalam rahim perempuan yang tengah sibuk pamer kemewahan di Pesta pada
teman-temannya itu, Kayas membatin. Siapa yang harus bertanggung jawab, pada
siapa aku harus menuntut? Tuhan? Jelas tidak. Mana mungkin mengadu pada sesuatu
yang membuatnya keliru sejak di dunia.
Tetapi sangkaan buruk Kayas pada Tuhan hanya berlalu
begitu saja. Kemungkinan lainnya yang terlintas adalah, Ayah dan Ibunya memang
tidak pernah mengiginkan anak. Tetapi (mungkin) kondom Ayah bocor saat bercinta
dengan Ibu. Kemungkinan yang lebih masuk di akal bagi Kayas—walaupun ia sendiri
merasa pikiran semacam ini hanya timbul dari luapan kejengkelannya—dibanding
berburuk sangka pada sesuatu yang tidak bisa ia lihat. Tuhan.
Intinya dalam kesendiriannya di kamar, Kayas merasakan puncak dimana dirinya
tidak diinginkan samasekali oleh orang tuanya. Ia merasa, bahwa dirinya hanya
dianggap ‘keterlanjuran belaka’; terlanjur dikandung, terlanjur lahir jadi
anak, ya, sudah besarkan saja, Kayas membatin dengan dada yang semakin
bergejolak.
Kepalanya semakin pusing oleh pikiran-pikiran seputar Ayah
dan Ibunya; kok bisa, kok bisa. Baiklah, aku akan membuktikan pada diriku
sendiri, untuk membuat diriku sendiri bangga pada diriku. Mulai malam ini dan
selamanya aku takkan hidup dengan sesuatu apapun dari Ayah dan Ibu. Arkh..,
mereka bukan Ayah dan Ibuku lagi, tekad Kayas dalam batinnya.
Pembuktian pertama, Kayas lepas semua baju dan celana
yang melekat di badannya termasuk kaos kutang dan celana dalamnya, seraya
memaki-maki “kaos dari Ibu dan celana dari Ayah! Makan tuh.”
Selain baju dan celana, tentu saja rumah di mana
sekarang ia tinggal, harus ia tinggalkan.
Akhirnya, lewat jendela kamarnya Kayas keluar dari
rumah terbesar di komplek itu, atau bahkan di kota ini. Keluar dari semua
ikatan hidup atas nama kepunyaan Ayah dan Ibunya.
Di tengah jalan ia berdiri, sejenak menoleh melihat
rumah besar tempatnya semula tinggal. Matanya berkaca-kaca, tapi tetap ia
tahan, ia tak boleh berat melepas semuanya. Meskipun Kayas tak tahu harus ke
mana selanjutnya pergi.
***
Waktu terasa beputar begitu cepat. Dalam keadaan
telanjang tanpa sehelai benang pun melekat di badannya. Membuat Kayas semakin
gusar, sementara matahari dua jam lagi terbit. Kayas, dalam kebingungannya
mencari tempat tujuan, berjalan malam dini hari itu. Sebisa mungkin ia
menghindari cahaya lampu, berlindung dipelukan kegelapan.
Beruntung jalan yang dilaluinya sudah sepi, nyaris tak
ada kendaraan lewat. Kayas mengendap-endap, bila jalan yang dilauinya terlihat
terang ia akan bergerak seperti curut, mencari pojok-pojok gelap. Berdiam diri
sebentar sambil melihati suasana sekitarnya. Jika dirasa sudah aman Kayas kembali
bergerak seperti curut.
Sekitar satu jam Kayas berlari-mengendap-endap. Ia
tiba di sebuah jembatan, ia memandang ke bawah jembatan dan ia tahu bahwa jalan
besar di bawah jembatan, yang dilaui mobil-mobil tanpa henti itu, adalah jalan
Tol. Gerbang Tolnya pun Kayas tahu, sebab di dekat gerbang Tollah rumahnya
berada.
Namun bukan jalan Tol yang sebetulnya ingin dilihati
oleh Kayas, melainkan kolong jembatannya. Kayas meloncati tembok jembatan
yang tingginya sepantar dengan tubuhnya.
Di bawah kolong jembatan yang gelap, Kayas menemukan sebuah ruang kecil
menjorok ke dalam tembok pondasi jebatan. Dalam pikiran Kayas timbul ide; ia
akan tinggal di ruang kecil itu, untuk sementara atau pun selamanya.
Kayas meraba-raba lantai ruang kecil dan gelap itu.
Pikirnya, takut jika ada sesuatu yang berpotensi melukai badannya; entah
beling, paku, atau binatang seperti kalajengking.
Tak ada tanda bahaya, ucapnya. Tapi ketika Kayas masuk
ke dalam ruang itu, ada sesuatu yang ia temukan; kemeja dan celana laki-laki
dewasa.
Tak perlu berpikir panjang Kayas langsung memakai
pakaian itu. Memang itu yang dibutuhkannya. Kayas duduk menekuk kedua tututnya,
memandang hamparan jalan Tol dan mobil-mobil yang berlalu lalang di antaranya.
***
Adzan shubuh berkumandang. Tanpa disadari sejak semula
duduk di ruang kolong jembatan, Kayas menghitung setiap mobil yang lewat. Tidak
semuanya terhitung; mobil dengan laju cepat tak terkejar oleh pandangannya,
dibiarkan tak masuk dalam hitungan. Kayas terus menghitung sedapat matanya
menangkap mobil lewat. Lima ratus dua puluh lima total jumlah mobil yang ia
hitung. Kayas tersenyum, matanya terasa berat, dan ia tertidur.
***
Jika kemeja dan celana yang dikenakannya kotor Kayas
mencuci kain pelindung tubuh itu di pipa besi yang tak jauh dari rumah kardusnya.
Kayas menemukan bocoran kecil di pipa itu kala ia kebelet pengin berak dan
mencari air untuk cebok. Air yang keluar dari boccoran pipa itu memang tak
terlalu besar, kendati demikian airnya cukup konsisten keluar.
Namun hari ini Kayas tidak mencuci kemeja dan
celananya. Baru dua minggu, belum satu bulan, Kayas mengendus-ngendus kemeja
dan celana yang dikenakannya.
Dan jika sudah pusing tak menemukan jawaban. Kayas
akan berbaring, mengganjal kepalanya dengan bantal berupa karung beras, yang
telah ia isi dengan botol plastik bekas.
Kayas mulai membuka resleting celananya yang macet.
Namun resleting itu tetap tak mau terbuka, akhirnya, Kayas memelorotkan
celananya hingga lutut.
Ia memain-mainkan burungnya. Mengusap-usap batang
burung itu hingga nampak membesar. “Burung, ayo main” Kata Kayas pada
burungnya.
Si burung menggeliat lalu mengacung tegak. “Nah, betul,
gitu dong. Nurut,” puji Kayas pada si burung yang tak lain kemaluan/kontolnya
sendiri.
Saat si burung keras dan urat-uratnya dirasa makin
timbul, Kayas makin menggila. Dengan tangan kanannya yang kumal, pertama Kayas
memegangi burungnya. Kemudian ia kocok burungnya, gerakan kocokan ke atas ke
bawah itu Kayas namai ‘teknik tarik ulur layangan’. Tarikan nafas kayas kian
memburu, aliran darah di sekujur tubuhnya serasa mengalir deras.
***
Satu malam yang gelap. Kayas tengah berpikir tentang
hidupnya. Pertanyaan-pertanyaan kecil muncul di kepalanya; soal nasib dan masa
depannya kelak. Namun pertanyaan yang membuatnya benar-benar pusing adalah soal
kondisi Ayah dan Ibunya. Tiba-tiba saja Kayas terkenang mereka. Meski Kayas
benci pada kedua orang tuanya, tapi entah mengapa, malam itu timbul rasa ingin
bertemu dengan Ayah dan Ibunya.
“Tidak bisa” Kayas segera mengusir bayangan wajah
Ayah-Ibunya yang sempat terlintas di kepala.
Berkali-kali Kayas mengeleng-gelengkan kepalanya, dan
saat ia berhenti menggeleng—ia melihat sesuatu di seberang. Jalan Tol. Sebuah
mobil mewah menepi, ia tak asing dengan warna mobil itu; hitam. Betul itu mobil
Ayahnya, sebelumnya Kayas coba memastikan. Ia melihat bagian belakang mobil
T4T4I4N “ya ini plat nomor mobil Ayah. Tapi untuk apa?” Kayas jongkok di
belakang sambil menerka-nerka tujuan Ayahnya menepi tepat di arah depan rumah
kardusnya.
“Jangan-jangan untuk mengajakku pulang. Tidak, aku
tidak akan mau” dalam hati Kayas timbul pertanyaan dan jawaban. Kayas mengintip
melalui kaca belakang mobil.
***
“Uuhh..ahh..
mantap..!” Kayas melengkuh keenakan. Kenikmatan tiada tara, nyawanya serasa di
ujung ubun-ubun. Sesaat ia terhenti, nafasnya makin berat, dan kakinya keram.
Ia ingin sampai pada puncak kenikmatan, tapi tidak dengan cara yang cepat.
Tangannya masih memegangi burungnya, yang menegang seolah menantang langit-langit
kolong jembatan itu.
“Sekali
cairan keruh-kental keluar, berakhir sudah,” gumam Kayas yang tengah terbaring.