Hak yang Harus Kita Rebut!
Tuesday, March 24, 2020
Edit
Penulis: Indra
Rusnady*
Identitas buku
Judul: Difabel
Merebut Bilik Suara; Kontribusi Gerakan Difabilitas dalam Pemilu Indonesia
Penulis: M.
Joni Yulianto, dkk.
Penerbit: SIGAB
Tahun: Maret,
2015
Halaman:
v-xii+184
Bilik suara,
adalah istilah politik yang mencerminkan langskap terkecil dari proses politk
itu sendiri. Bilik suara, selanjutnya tidak bisa diartikan hanya sekadar
ruangan yang menyekat kerahasisan pilihan seseorang, ataupun dinding dan kotak
yang menjaga kita dari pengaruh politik yang datang dari luar. Kontribusi
setiap pemilih dalam momentum politik, salah satunya diukur dari bilik suara
ini. Yang pada akhirnya, bilik suara punya efek yang tidak kecil dalam memengaruhi kondisi politik di
kemudian hari.
Buku yang
berjudul Difabel Merebut Bilik Suara; Kontribusi Gerakan Difabilitas dalam
Pemilu Indonesia, adalah salah satu buku yang memperbincangkan efek bilik
suara dalam lanskap politik di Indonesia. Buku ini, adalah buku yang menyajikan
data serta fakta di lapangan terkait orang-orang difabel yang hak politknya
dikebiri. Dikebiri karena perbedaan yang mereka miliki, dan karena anggapan
bahwa mereka adalah orang yang tidak mampu memikirkan politik.
Lebih jauhnya,
buku ini adalah sumbangan kepada kemanusiaan kita yang belum sepenuhnya
mengakomodir kepentingan dan hak dari para orang difabel. Buku ini, bukan hanya
menjadi pengantar untuk kita yang belum akrab dengan wacana disabilitas. Akan
tetapi, menjadi semacam pedoman dalam meluruskan perspektif kita tentang
difabel. Karena selama ini, bahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, difabel
masih diartikan sebagai penyandang cacat. Padahal, difabel sangat jauh berbeda
dengan “cacat.” Dan sangat tidak pantas disamakan.
Perspektif
disabilitas, bukan hanya masih asing di telinga kebanyakan dari kita. Akan
tetapi, juga masih menjadi momok yang menyedihkan. Karena, kebanyakan dari kita
belum siap menerima perbedaan yang melekat pada diri orang-orang difabel. Judul
buku ini, secara tidak langsung punya makna yang penting bagi difabel itu
sendiri, khususnya dalam menjelaskan wacana gerakan difabel yang semakin
menunjukkan taringnya sekarang.
Dipilihnya kata
merebut ketimbang menjangkau, bisa dianggap sebagai sebuah tujuan besar yang
harus diwujudkan oleh gerakan difabel dewasa ini. Bisa diartikan, gerakan
difabel hari ini tidak cukup sekadar menjangkau politik elektoral yang ada.
Namun juga harus mampu memengaruhi kultur politik di Indonesia yang belum
inklusi ini. Yang disadari atau tidak, iklim politik yang ada sekarang, belum
punya keberpihakan kepada teman-teman difabel.
Pemilu, adalah
ruang dan sekaligus momentum yang memang perlu direbut oleh difabel. Tidak
hanya agar orang difabel diakui keberadaannya, tetapi juga agar menyadarkan dan
merubah iklim politik kita yang masih jauh dari kata “adil” ini. Untuk mengubah
praktik pemilu yang ada, memang bukanlah pekerjaan yang mudah. Ia akan menjadi
hal yang panjang dan melelahkan. Sekaligus juga menuntut pengorbanan yang tidak
sedikit.
Oleh karena
itu, menjadi angin segar bagi wacana politik kontemporer kita, setelah dengan
adanya buku ini. Mengapa bisa begitu? Pasalnya, percikan pemikiran dan
rekomendesadi yang ada di dalam buku ini, telah melalui tahap yang terbilang
tidak singkat. Belum lagi pengalaman penulisnya yang mendapat stigma negatif
dari para penindas yang ada. Hal ini kemudian yang menjadikan buku ini sebagai
potret indah di tengah kesemrawutan politik kita.
Buku ini,
dibagi menjadi empat bagian besar. Yang terdiri dari pendahuluan, refleksi
teoritik dan pengalaman lapangan, studi kasus, dan tindak lanjut atau
rekomendasi bagi gerakan difabel ke depannya. Tidak tanggung-tanggung, buku ini
adalah buku yang menampar wajah politik kita yang membosankan ini. Tidak hanya
itu, buku ini menjadi semacam gada pemukul untuk menghantam wacana Normalisme
serta Bapakisme yang masih melekat pada kita.
Demikian,
secara sederhana pesan yang ingin diungkap dalam buku ini. Selanjutnya, buku
ini juga merefleksikan gerakan difabel dalam mengawal pemilu kita sejak
pascareformasi sampai dengan sekarang. Jika kita, bangsa Indonesia, mengaku
sebagai bangsa yang besar dan sedang menuju pendewasaan dalam banyak hal, tentu
menjadi hal yang fatal jika buku ini tidak masuk dalam hitungan. Bukan saja menjadi
sebuah lelucon yang sangat jelas dipertontonkan, namun juga berakhir sebagai
bentuk ketidakwarasan kita dalam hal politik.
Pekerjaan rumah
bagi gerakan difabel sendiri, bisa dianalogikan sebagai sebuah bangunan di
tengah badai. Yang mencoba bertahan walau terlihat rapuh. Yang mencoba bertahan
walau diremehkan. Dan yang mencoba bertahan walaupun diangggap sebagai hal yang
mustahil. Tapi tidak mengapa. Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, buku
ini adalah simbol dari mimpi nyata yang pasti bisa terwujud di kemudian hari.
Yang mana ia menjadi pemantik untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang ingklusi
dan mampu menerima perbedaan yang ada.
Kepada para
pembaca yang akan membaca buku ini, ia menjadi obat rangsang yang tepat untuk
memancing libido keingitahuan kita terkait difabel dan wacana disabilitas itu
sendiri. Apa yang diharapkan dari penulis yang ada di buku ini, saya kira tidak
akan berakhir menjadi sekedar mimpi sia-sia. Apalagi menjadi sekedar tumpukan
kertas yang tak terpakai. Karena saya sendiri percaya, itikad kuat dan baik
dari para penulis buku ini, akan berbuah manis di kemudian hari.
Terakhir, buku
ini sangat cocok dibaca oleh semua kalangan. Mulai dari para politisi,
akademisi, sampai kepada pembaca umum. Dengan melihat cara penilaian kita
terhadap difabel, yang masih saja terkesan merugikan. Buku ini, layak jika
dikategorikan sebagai buku yang memperkuat serta mempertajam pandangan kita,
untuk melihat sebuah kebutuhan tidak hanya dari satu arah. Tapi juga melalui
cara pandang dan kebutuhan yang memang menjadi hak teman-teman difabel. Akhirnya,
silahkan baca buku ini, agar kita mampu menciptakan kehidupan yang inklusi!
*Pemerhati isu
disabilitas