Gerbong Intelektual dan Perjuangan Demokrasi
Tuesday, March 31, 2020
Edit
Data buku
Judul: Demokrasi dan Toleransi dalam Represi Orde Baru
Penulis: Virdika Rizky Utama
Penerbit: PT Kanisius
Tahun: 2018
Halaman: iv-xii+184
Siapa hari ini yang tidak kenal Virdika Rizky Utama? Ya,
namanya melambung tinggi setelah buku keduanya terbit. Buku tersebut, yang
tidak lain tidak bukan, berjudul Menjerat Gus Dur. Setelah buku itu
hadir ke permukaan, euforia dan antusias tinggi, tak luput diseret olehnya. Perhatian
publik, khususnya jamaah Nahdlatul Ulama (NU), langsung terpusat kepadanya. Secara
tidak langsung, Virdi, sapaan akrabnya, langsung didaulat menjadi bagian NU,
sekaligus dibaiat menjadi warga NU kultural.
Tapi siapa sangka, perjalanan intelektualnya, bagi saya
juga tidak terlepas dari buku yang pertama kali dtulis olenhnya. Yang menurut
hemat saya, turut mengantarkan Virdi untuk membongkar rahasia yang sekian lama
disimpan oleh elit kita. Tulisan ini, akan mengulas buku pertamanya tersebut,
yang berjudul Demokrasi dan Toleransi dalam Represi Orde Baru.
Buku yang terbit bertepatan dengan momen 20 tahunnya
Reformasi ini, mengajak kita untuk kembali merenungkan makna demokrasi. Ketika kondisi
politik elektoral semakin mengeruhkan wajah demokrasi kita, maka buku ini
mencoba melawan hal itu. Dengan berangkat dari sejarah yang ada, buku ini
sekaligus bekerja mengembalikan demokrasi pada ruang dan waktu yang seharusnya.
Tidak berhenti sampai di situ, buku ini juga menyoroti
serta membahas kondisi demokrasi Indonesia, tepat ketika rezim Orde Baru berada
di ujung kekuasaannya. Kondisi demokrasi yang waktu itu
sedang tidak baik-baik saja, saya anggap yang mendasari pembahasan dari buku ini.
Buku ini, berbeda dengan
kebanyakan buku lain yang membahas soal demokrasi di Indonesia. Jika pada buku yang lain, demokrasi di Indonesia lebih diulas dengan perspektif yang
luas dan kompleks, pembahasan demokrasi di buku ini, adalah kebalikannya. Lebih jauhnya lagi, demokrasi dibedah secara mendalam dan lebih fokus terhadap Forum Demokrasi.
Ada sebuah frasa yang
mengatakan, tidak pernah ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Begitu juga
dengan kondisi demokrasi Indonesia saat ini. Demokrasi yang salah satu
syaratnya menjamin kebebasan berpendapat dan menjamin hak hidup manusia,
dimanfaatkan segelintir pihak untuk mengancam situasi demokrasi (hlm, iv). Dari ungkapan tersebut, Virdi secara tidak
langsung mengajak kita untuk tetap semangat, dalam menjaga yang namanya
demokrasi dan pluralitas.
Selanjutnya, hegemoni
adalah kata kunci dari buku ini. Konsepsi hegemoni, tidak hanya diungkap untuk menelisik aktivitas politik yang dilakukan Orde Baru, dalam
rangka melanggengkan kekuasaan. Akan tetapi, juga dalam merumuskan pergolakan pemikiran yang ada pada waktu itu. “Pada saat hegemoni telah
memilih jalan yang lebih santun, demokrasi pun tidak ubahnya gagasan yang tidak
lagi memiliki “musuh Bersama” (common enemy) untuk disemaikan” (hlm, x).
Demokrasi di Indonesia, sebagaimana yang diungkap oleh
Virdi, selalu mengalami yang namanya pasang surut. Sejarah mencatat, ancaman
terhadap demokrasi Indonesia mulai tampak saat pemilihan presiden (pilpres)
2014 yang membangkitkan kampanye Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA). Pada 1950-an sampai 1960-an, kondisi seperti ini sudah terjadi.
Masyarakat terpecah, sentiment SARA menguat, politik aliran dijalankan hingga
akhirnya terjadi pembunuhan massal.
Lantas,
bagiamana hak hidup dan peran minoritas? Pada konteks, bermasyarakat dan
bernegara, hal ini tentu menjadi sebuah ancaman serius bagi Indonesia. Karena
Indonesia terlanjur lahir sebagai bangsa yang heterogen. Sementara itu,
kekuasaan bila bertemu dengan agama selalu menjadi sebuah kekuatan mengerikan.
Kemudian, yang terjadi adalah mayorkrasi, dan bukan
demokrasi.
Membaca tuntas buku ini, akan membawa kita untuk melihat
bagaimana Orde Baru amat gandrung dengan “Demokrasi Pancasila”-nya. Ketika hal
tersebut berlangsung, peran Forum Demokrasi sangat kentara diungkap di buku ini.
Dan bagi pembaca yang ada, bersiaplah akan dibawa merasakan sensasi ketika
melawan rezim diktator semacam Orde Baru. Melalui buku ini pula, kita akan
mengetahui prinsip mayoritas yang ingin selalu berkuasa, tidak bukan adalah
kerjaannya Orde Baru. Yang sampai hari ini, masih bisa kita rasakan efeknya.
Oleh sebab itu, selain sebuah pengingat untuk mengenang
Forum Demokrasi, buku ini juga turut andil dalam mewujudkan sebuah masyarakat
yang terbuka, yang mampu menjadi kekuatan pengontrol dalam jalannya
pemerintahan. Selain itu, buku ini juga
mendorong rakyat yang
ada, untuk mengembalikan fungsi organisasi
sosial-politik, agar kembali sehat seperti yang seharusnya. Bukan semacam yang sekarang,
ketika organisasi yang ada, lebih banyak melakukan praktik jual-dagang sapi
dalam politik.
Hal yang paling
utama yang coba dikembangkan dalam buku ini, yakni soal bagaimana kita melihat pluralisme ide. Hal tersebut, yang kemudian menjadi pertanda
baik untuk kita sebagai
pengawal demokrasi, untuk terus menjaga agar demokrasi tetap ada. Sekaligus juga bisa sebagai kesempatan, untuk menuangkan ide-ide kita ke dalam demokrasi yang ada saat ini.
Ketika hari ini
institusi-institusi yang ada belum merupakan forum (yang mencerminkan)
demokrasi, saya rasa perlu
untuk kita membaca buku ini. Walaupun buku ini bersifat sebagai pengantar untuk
memahami demokrasi itu sendiri, namun tak ada salahnya saya kira. Karena buku
ini, bisa diibaratkan pupuk yang menyuburkan cita-cita kita soal demokrasi.
Kemerdekaan
adalah sebuah asasi dasar manusia. Oleh karena itu, saya pribadi juga
sangat sepakat ketika Forum Demokrasi menganggap
kemerdekaan dan demokrasi, merupakan sebuah dwi-tunggal yang tidak dapat dipisahkan. Sebab, demokrasi sendiri
selayaknya akan selalu menjunjung asas egaliter.
Di tengah situasi sosial dan politik seperti sekarang
ini, yang begitu riuh pasca terbukanya keran demokratisasi, kita pun terkadang
dikejutkan oleh feniomena-fenomena yang sama sekali mengingkari nurani
demokrasi. Pada saat muncul istilah “reformasi dikorupsi”, tentu kita bersama
ingin menghendaki lahirnya tatanan sosial-politik yang terbuka, transparan dan
modern. Bukan malah disuguhkan dengan data yang berasal dari pemerintah, yang
sudah penuh dengan manipulasi.
Pada saat demokrasi berbicara tentang kesejahteraan, nyatanya
kita masih saja selalu didikte oleh kabar tentang mereka yang masih saja
terbelakang, terpinggirkan, dan kehilangan sumber penghidupan yang layak. Oleh sebab itu,
perjuangan untuk mencapai sebuah tatanan kebebasan dan keterbukaan, adalah
perjuangan yang tak ada
matinya. Dari
mana itu semua bermula? Tidak lain adalah juga dari demokrasi saya kira.
Pemikiran Forum
Demokrasi, yang tertuang
dalam buku ini, akan masih sangat relevan kita baca. Ketika melihat,
sektarian yang masih terasa, dan bisa dibilang semakin menguat. Perjuangan Forum Demokrasi, seperti yang bisa kita baca dalam buku ini, saya kira dapat menjadi sebuah refleksi untuk intelektual Indonesia saat ini. Yang bisa
dibilang, tak banyak melakukan apa-apa, di tengah
maraknya situasi sektarianisme.