Gerakan Mahasiswa yang Inkonsisten
Saturday, March 7, 2020
Edit
![]() |
Sumber Foto: floreseditorial.com |
Salah satu
respon dan kritik utama terhadap “gerakan mahasiswa” dewasa ini, terletak pada
inkonsistensinya. Kritik ini karena ketidakmampuan gerakan mahasiswa
menjelaskan dimensi perubahan yang terjadi di setiap fase zaman. Selain itu,
gerakan mahasiswa dewasa ini seakan gagap dalam merespon realitas yang ada.
Terbukti, peran gerakan mahasiswa dalam memengaruhi sebuah kebijakan semakin
minim. Baik itu lingkup terkecil yaitu kampus, sampai pada tataran yang
bersifat nasional.
Tulisan berikut
ini, dimaksudkan untuk memberikan respon terhadap gerakan mahasiswa dengan
mengajukan semacam rekonstruksi ringkas. Yang memungkinkan kita secara teoritik
dan praktik, menemukan apa yang kurang dari gerakan mahasiswa sekarang ini.
Harapannya, tulisan ini mampu memantik untuk mengobarkan kembali api semangat
yang seharusnya dimiliki oleh gerakan mahasiswa.
Gerakan
Mahasiswa tanpa Emansipasi?
Sekian banyak
elemen di luar gerakan mahasiswa, sering kali memosisikan kehadiran gerakan
mahasiswa sebagai media alternatif atau batu loncatan. Dalam konteks
perjuangan, mahasiswa adalah salah satu kelas yang hanya menjadi sekedar
penyambung lidah rakyat. Oleh karena itu, kita memang harus membedakan dulu
perjuangan yang sifatnya primordial dan perjuangan yang bersifat publik.
Dalil utamanya
adalah, tidak ada organisasi mahasiswa manapun yang terlepas dari kepentingan
primordial dan sektoral. Hal ini kita harus akui bersama, karena setiap
organisasi mahasiswa yang ada, lahir dan berawal dari kepentingan yang
bermacam-macam. PMII salah satunya. Organisasi ini niat awal didirikannya
adalah untuk mewadahai serta mengakomodir mahasiswa-mahasiswa Nahdlatul Ulama.
Perkembangan selanjutnya, PMII ternyata mampu terbuka dan tidak menolak
terhadap yang namanya sebuah perubahan.
Hal tersebut
terbukti dengan semakin banyaknya kader PMII yang tidak berlatar belakang
Nahdiyin. Meski begitu, kepentingan PMII nyatanya juga terkadang tidak bisa
lepas dari ormas yang membidani lahirnya PMII. Hal ini sebenarnya tidak menjadi
masalah. Akan tetapi, apakah dengan begitu PMII akan selalu mengekor terhadap
kepentingan yang ada di atasnya? Saya rasa tidak dan seharunya memang tidak.
Kembali pada
persoalan gerakan mahasiswa, saya rasa masalah yang sedang dihadapai sungguh
tidak sederhana. Bukan saja kondisi terkini yang menuntut mahasiswa untuk
berakselerasi, namun juga menuntut gerakan mahasiswa untuk terus
bertransformasi dan menyesuaikan kondisi yang ada. Oleh karenanya, beban yang
diterima oleh mahasiswa sekarang ini, bisa dibilang lebih berat dari yang
pernah ada.
Dengan itu,
gerakan mahasiswa secara tidak langsung dituntut mempunyai kedaualtan yang
spesifik. Baik dalam hal politik, pikiran dan gerakan. Tesis ini yang kemudian
seharusnya kita pakai dalam melihat arah perjuangan selanjutnya. Karena mau
diakui atau tidak, gerakan mahasiswa adalah sekedar alat dalam menciptakan
suatu perubahan. Soal proses perubahan dan hasilnya seperti apa, itu beda hal.
Menanggapi hal
tersebut, sifat emanispasi lah yang seharusnya diperlukan oleh gerakan
mahasiswa dewasa ini. Emansipasi yang tidak lagi terbatas pada sekat-sekat
primordial dan sektoral, dan yang sering kali meguntungkan kepentingan sebagian
golongan. Artinya, gerakan mahasiswa memang sudah harus berpikir secara luas.
Agar persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan—yang secara tidak langsung
menjadi target perjuangan gerakan mahasiswa—mampu terlaksana.
Kedaulatan dan
emansipatif ini, adalah hal yang sering luput dalam pembacaan gerakan
mahasiswa. Baik itu targetan jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam sudut
pandang pada umumnya, setidaknya gerakan mahasiswa memang harus memiliki
kerangka ideal. Akan tetapi, ideal sendiri sebenarnya bersifat relatif. Hingga,
tidak bisa dipungkiri terjadi sebuah perubahan yang sangat amat cepat di tubuh
gerakan mahasiswa.
Sebagaimana
yang kita amini bersama, kedaultan dan emansipatif tentunya hal yang tidak bisa
dipisahkan, apalagi malah dipertentangkan. Di sinilah karakter gerakan
mahasiswa akan teruji sesungguhnya. Selanjutnya, analisis gerakan mahasiswa
seharusnya tidak melupakan dua hal ini. Karena, sifat ini berimplikasi nantinya
pada corak dan warna yang akan ditorehkan oleh gerakan mahasiswa itu sendiri.
Namun demikian,
sudahkah kiranya gerakan mahasiswa hari ini memiliki kedaulatan secara penuh,
dan bersifat emansipatif? Kembali lagi, setidaknya kita harus memngakui bahwa
gerakan mahasiswa kurang secara detail menawarkan sebuah kerangka perubahan.
Yang sering terjadi, gerakan mahasiswa hanya ngotot ingin melakukan sebuah
perubahan, tanpa pernah mau memikirkan proses perubahan tersebut.
Gerakan
mahasiswa dan Revolusi Pemikiran.
Industrialisasi
pada ranah pendidikan, secara tidak langsung juga menghancurkan gerakan
mahasiswa. Biaya kuliah yang semakin mahal, serta sistem perngajaran yang tidak
mengalami perubahan secara signifikan, adalah dua hal yang menjadi problem saat
ini. Sejak pasca Reformasi, sering muncul yang namanya euforia dalam hal
memaknai gerakan mahasiswa. Semacam romantisme yang memabukkan, dan candu bagi
mantan aktivis yang ada.
Kondisi yang
demikian, secara tidak langsung ikut mengerdilkan dan menganggap remeh gerakan
mahasiswa dewasa ini. Hal ini tentu bukanlah hal yang aneh. Dalam iklim
Indonesia, hal ini menjadi pertanda kalau setiap orang—dalam hal ini mantan
aktivis—memang bersifat ingin selalu diakui dan dipuja layaknya dewa. Padahal,
masa keemasan mereka sudah berakhir, dan yang terjadi mereka-mereka itu bisa
kita anggap sebagai sebuah fosil. Yang artinya, sebuah fosil tidaklah layak
mengomentari hal yang terbaru.
Oke, mungkin
terkesan curhatan. Akan tetapi, saya akan mengarahkan pada yang namanya
“urgensi” di tubuh gerakan mahasiswa. Ibarat bom waktu, gerakan mahasiswa
sekarang ini adalah bom yang sudah dijinakkan. Entah dijinakkan oleh apa dan
siapa, saya tidak perlu menjawab. Yang terpenting adalah, gerakan mahasiswa
perlu yang namanya sebuah revolusi. Revolusi yang tidak hanya sebatas diucapkan
oleh aktivis yang turun ke jalanan, namun revolusi permanen yang seharusnya
menubuh.
Revolusi yang
saya maksud adalah revolusi pemikiran. Pemikiran, sebagai elemen fundamental,
dianggap akan mampu mendorong kesetaraan dalam partisipasi pihak yang terlibat
dalam gerakan mahasiswa. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah, kita akan
menemukan adanya kekhususan yang bermula dari sebuah pemikiran. Ekspresi dalam
setiap elemeen di dalam gerakan mahasiswa, bisa berbeda-beda. Akan tetapi, jika
sudah ada basis pemikiran yang spesifik, maka hasil yang akan dituju akan sama.
Hal ini, selain
untuk mengantisipasi “oportunisme” dalam tubuh gerakan mahasiswa, juga untuk
meradikalisasi setiap tujuan perjuangan yang ada. Seperti yang sudah saya
singgung sebelumnya, ketika mahasiswa hari ini dituntut berakselerasi, maka
revolusi pemikiran menjadi hal yang niscaya. Agar dalih yang melemahkan gerakan
mahasiswa bisa ditampik dan dibuang jauh-jauh dalam keranjang sampah.
Dengan
demikian, perlu adanya perampingan di tubuh gerakan mahasiswa yang selama ini
mengalami obesitas. Relasi antara gerakan mahasiswa dan realitas yang ada,
seharusnya bisa lebih diperhatikan. Agar obesitas semacam kemandulan dalam
gerakan dan tumpulnya gerakan mahasiswa di wilayah pemikiran, dapat segera
diatasi.
Terakhir,
implikasi dari inkonsistensi gerakan mahasiswa yang sering mengaburkan ranah
perjuangan, setidaknya bisa kita periksa ulang. Hal tersebut sangat krusial
karena pada akhirnya menentukan siapa dan apakah itu gerakan mahasiswa? Dan
untuk membedakannya dari aktor-aktor individual yang mayoritas bersifat
oportunis.