Fenomena Poligami dan Poligaminya Rasulullah SAW
Friday, March 20, 2020
Edit
Penulis: Tata Mutaba’ah*
Poligami, adalah sebuah istilah untuk menamakan
pernikahan seorang lelaki atau perempuan yang memiliki lebih dari satu pasangan. Secara tidak langsung, poligami adalah anonim dari
monogami. Berdasarkan buku yang berjudul Perempuan karya Pak Quraish
Shihab, poligami sudah dikenal oleh masyarakat sejak lama. Dalam
perjanjian lama,
disebutkan bahwa Nabi Sulaiman mempunyai 700 istri
dari kalangan bangsawan,
dan 300 istri dari kalangan selir (Perjanjian Lama, Raja-Raja I-11-14).
Istilah poligami tidak hanya dikenal di daerah Timur Tengah terutama Arab saja, namun juga dari Bangsa Ibrani dan Sisilia, yang kemudian melahirkan sebagian besar
bangsa Rusia, Polandia dan sebagian bangsa Jerman, Inggris, Belanda, Swiss,
Belgia, Denmark, Norwegia dan Swedia.
Jadi, poligami sendiri bukanlah budaya Islam, meskipun dalam kitab suci agama Islam
mengaturnya.
Dalam kitab perjanjian
baru, tidak disebutkan
pelarangan poligami. Bahkan, dalam perjanjian lama poligami ini
dibenarkan. Termasuk pernyataan dari Martin Luther King yang merupakan pendiri
protestan, bersikap cukup toleran terhadap poligami. Dengan alasan, bahwa Tuhan sendiri tidak melarang tindakan poligami.
Bahkan lebih mendukung poligami daripada perceraian. Akan tetapi, King
secara pribadi lebih menganjurkan monogami. Poligami, menurutnya hanya dapat dilakukan
jika ada kondisi tertentu tanpa merugikan pihak manapun.
Di agama Kristen, pernah membenarkan tindakan poligami guna
melancarkan penyebaran agama
Kristen—misi
kristenisasi—di
suku-suku Afrika hitam. Jika di suku-suku tersebut poligami dilarang, maka konsekuensinya akan menghambat
penyebaran agama Kristen. Lantas,
bagaimana dengan pendapat bahwa poligami adalah bentuk hegemoni dan penindasan
laki-laki terhadap
perempuan ?
Menurut Pak Quraish
Shihab, poligami tidak sepenuhnya benar disebut sebagai bentuk hegemoni, dan penindasan laki-laki terhadap perempuan. Karena, sejarah umat manusia juga pernah mengenal
dan membenarkan adanya poliandri (perempuan memiliki lebih dari satu suami).
Will Durrant, yang merupakan sejarawan Amerika dalam
bukunya The Lesson Of History,
menyebutkan
bahwa di Tibet menjadi lokasi maraknya poliandri. Dan hal
tersebut terjadi bukan karena adanya dominasi perempuan atas laki-laki. Akan tetapi, lebih disebabkan karena
kondisi perempuan di Barat
yang kurang baik pada abad pertengahan.
Jadi, poligami sendiri tidak sepenuhnya tepat jika dikaitkan
dengan adanya dominasi kekuasan laki-laki atas perempuan. Di dalam kitab suci Al-Qur’an, poligami juga tidak dilarang oleh Tuhan
seperti yang tertera dalam Q.S An-Nisa Ayat 3 yang artinya :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan
(yatim), maka nikahilah apa yang kamu senangi dari perempuan-perempuan lain:
dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat. Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak perempuan yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat dari tidak berbuat aniaya.”
Ayat tersebut, turun berkaitan dengan sikap sebagian
pemelihara anak yatim perempuan yang ingin mereka nikahi. Lantaran menginginkan hartanya dan tidak
bisa berbuat adil. Secara redaksional,
poligami hanya diperbolehkan kepada mereka yang memelihara perempuan yatim.
Namun, pada jaman Rasulullah SAW. ada sahabat yang
melakukan poligami tetapi ia
tidak memelihara perempuan anak yatim. Rasulullah SAW. pun membiarkan hal tersebut dan tidak
menegurnya. Artinya, beliau menyetujui ada sahabat yang tidak
memelihara anak yatim perempuan, tetapi
melakukan
poligami. Dalam sunah,
hal tersebut dikatakan sebagai sunah Taqririyah. Yang artinya, suatu perbuatan atau ucapan yang dilakukan
oleh para sahabat yang mana Rasulullah SAW tidak melarang atau menyetujui hal
tersebut dilakukan.
Kemudian kata khiftum, biasa
diartikan takut yang juga dapat berarti mengetahui. Menunjukkan bahwa
siapa saja yang yakin dan menduga keras tidak dapat berlaku adil terhadap
istri-istrinya,
maka ia tidak
diperkenankan untuk melakukan poligami. Takut berbeda dengan cemas, takut adalah
reaksi atas dugaan yang kemungkinan terjadi dan sudah diketahui sebelumnya.
Termasuk orang yang ragu akan bersikap adil. Menurut ayat di atas,
tidak diijinkan untuk melakukan poligami.
Ayat di atas juga menggunakan kata tuqshitu dan ta’dilu, yang keduanya diterjemahkan berlaku
adil. Ada ulama yang mempersamakan maknanya, dan ada juga yang membedakannya dengan
berkata bahwa tuqshitu adalah berlaku
adil antara dua orang atau lebih, atau
keadilan
yang menjadikan keduanya senang.
Sedangkan ta’dilu,
adalah berlaku baik terhadap orang lain atau diri sendiri, tapi keadilan tersebut bisa saja tidak menyenangkan salah
satu pihak. Jika makna kedua ini dipahami,
itu berarti,
izin berpoligami
hanya diberikan kepada mereka yang menduga, bahwa langkahnya itu dia harapkan dapat
menyenangkan semua istri yang dinikahinya. Jadi itulah sebabnya ketika mau melakukan
poligami, suami harus meminta ridho (kerelaan) dari istri sebelumnya.
Di bukunya Pak Quraish Shihab juga
disebutkan,
dalam ayat tersebut terdapat Huruf Wau
yang diartikan atau bukan dan. Kalau diartikan dan maka boleh menikahi 9 bahkan 18
perempuan. Padahal maksimal poligami adalah 4 perempuan. Karena Rasulullah SAW. pernah menegur sahabat Ghilan
Ibnu Umayyah Ats-Tsaqafi yang ketika itu memiliki 10 istri, agar mencukupkan 4 saja dan menceraikan
yang lainnya.
Dalam Q.S. An Nisa
tersebut menyatakan bahwa,
“maka
nikahilah apa yang kamu senangi bukan siapa yang kamu senangi.”
Ada tafsiran ulama-ulama terdahulu yang bias, bahwa apa yang ditujukan ke
perempuan,
adalah menunjukkan kepada objek atau barang yang tidak berakal.
Berbeda lagi dengan
tafsiran ulama yang progresif,
bahwa apa yang kamu senangi adalah menunjuk kepada sesuatu yang ada pada
perempuan. Bisa kepada sifat, keadaan
dan kondisi perempan tersebut. Kalau siapa yang kamu senangi, berarti menunjuk
kepada apa yang tampak pada perempuan tersebut. Misalnya siapa orangnya,
anaknya siapa, dan siapa namanya.
Jika dikaitkan dengan fenomena tentang poligami yang ada saat ini,,
alibi pelaku poligami sering mengatakan
poligami adalah syariat islam, sesuai dengan anjuran pada firman Tuhan dan
sunah Rasulullah SAW. Ya,
memang dalam Al- Qur’an terdapat ayat poligami. Akan tetapi, tidaklah benar jika poligami disebutkan
sebagai budaya Islam apalagi syariat.
Berkaitan dengan sunah Rasul, seharusnya orang yang mau berpoligami sebelumnya
membaca sejarah bagaimana praktik poligami yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Beliau
bermonogami selama hampir 28
tahun dengan Sayyidah
Khadijah pada pernikahan yang pertama.
Kemudian,
setelah Sayyidah
Khadijah ra wafat, selang hampir 2 tahun beliau baru menikahi Aisyah ra dan
berpoligami.
Semua
istrinya adalah janda yang suaminya meninggal ketika berperang, dan ada
yang sebagai tawanan perang.
Jika dihitung, berapa lama Rasulullah SAW berpoligami,
jauh lebih sebentar dibandingkan beliau bermonogami. Jadi kenapa masih beralibi
bahwa poligami adalah sunnah Rasulullah SAW? Padahal Rasulullah SAW lebih lama bermonogami?
Kalau mau mengikuti
sunnah Rasul,
ya jangan setengah-setengah. Tidak elok kalau membawa-bawa sunnah Rasul hanya
untuk menutupi libido seks. Dan perlu diingat, bahwa Rasulullah menikahi janda-janda
tawanan perang yang menjadi single mom, kecuali
sayyidah Aisyah
ra. Bukan para gadis yang jauh lebih muda daripada istri yang sebelumnya yaa…
Terakhir, yang harus dipertimbangkan ketika mau
berpoligami adalah,
masalah psikososial perempuan dan anak. Tidak sedikit poligami menimbulkan
peperangan antar istri bahkan anak-anaknya akibat kecemburuan. Terror istri
pertama ke istri kedua, anak istri pertama ke anak istri kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Jadi, poligami bukan hanya sekedar memikirkan
aku dan kamu dan istri sebelumnya,
tapi juga memikirkan anak-anak. Bersikap adil tidak hanya kepada istri, tetapi
juga kepada anak.
Ada keadilan yang tidak bisa diukur secara materi berwujud finansial, jatah
tidur, jatah bulanan. Tapi juga soal mawaddah atau keadilan memberikan kasih
sayang. Bahkan, Rasulullah SAW saja yang manusia pilihan terlahir dari Nur yang
mulia, tidak mampu bersikap adil dalam satu hal. Yaitu mahabbah atau cinta
karena hanya Tuhan, yang dapat membolak-balikkan hati seseorang.
*Penulis
adalah perempuan berkerudung sorban.