BISIKAN MIMPI 02
Friday, March 6, 2020
Edit
Penulis: Kakak Reformasi
Gemuruh hujan malam ini berhasil membuatku
bangun dari lelapnya tidur, setelah lumayan lama aku bermain-main di alam mimpiku. Tidak
terasa, ternyata selimut yang aku pakai sudah tidak keruan lagi bentuknya. Aku
saksikan jam tangan menunjukkan pukul 19.00. “Ah masih sangat awal bagiku untuk
tidur kembali.”
Aku langsung menuju kamar mandi dan sedikit bersih-bersih,
lalu keluar kamar untuk mencari makanan yang bisa aku santap malam ini. Karena
sejak tadi perut ini sudah meminta-minta pengen diisi. Sejenak aku perhatikan
suasana asrama yang sepi malam ini. “Huffftt... entah pada ke mana orang-orang
ini” pikirku.
Dengan langkah cepat aku segera menuju warung makan di
sekitar asrama. Tidak ada yang lebih membuatku semangat makan malam ini, selain
memang cuacanya yang dingin membuat orang cepat lapar, dan ingin
terus makan.
Setelah menghabiskan nasi di piring, aku bergumam sendiri dalam hati, “hemm jadi
wajar saja ketika musim dingin beruang kutub berhibernasi”. Yang aku artikan
kalau di manusia berarti tidak makan nasi di musim dingin. Ah tapi kan itu di Barat.
Indonesia gak ada musim dingin. Bisa jadi gawat juga kalau sampai Indonesia
kebagian musim dingin. Aku gak bisa ngebayangin gimana nasib orang-orang yang
gak punya tempat tinggal.
Tahu sendiri kan kalau musim dingin itu seharusnya kita
bagaimana? Gak mungkin toh kalau kita mau menghabiskan waktu yang cukup lama di
tempat terbuka, atau di luar rumah? Bisa jadi daging beku
nantinya. Oleh sebab itu, sunngguh Mulia Allah dengan segala karunia-Nya.
Biarlah Indonesia cukup dengan dua musim. Musim kawin dan musim cerai. Eh
salah, maksudku musim kemarau dan musim hujan.
Aku gak tahu gimana nasibnya si bapak tukang becak yang
setiap malam tidur di becak yang setia menemaninya. Aku gak tahu gimana
nasibnya si bapak pengangkut sampah yang tidurnya di pinggir jalan raya
Jogja-Solo—beratapkan bintang-bintang—kalau sampai
Indonesia kebagian musim dingin. Dan aku sungguh gak bisa membayangkan, nasibnya nenek
yang tidurnya di pinggir rel kereta itu.
Jangankan untuk membantu ketiganya, untuk menghadapi
musim dingin itu sendiri aku juga masih bingung mau bagaimana. Musim kemarau
aku masih pakai selimut. Musim hujan aku sering buka baju. Musim dingin
kayaknya aku perlu coba hal yang baru, main pingpong misalnya? Atau menunggangi
kuda?
“Ah kamu kok jadi ngawur begini?” diriku berbicara kepada
aku sendiri.
“Ah biarin toh, namanya juga peduli. Jarang-jarang orang
Indonesia kayak aku begini”.
“Heleh kata siapa? Orang Indonesia itu masih banyak yang
peduli dengan sesama!”
“Ah gak bener itu”. Kataku membantah diriku yang lain.
“Aku gak perlu membuktikannya. Toh kamu juga gak bakal
paham jika aku jelaskan”.
“Kok sombong banget sih? Tinggal jelasin aja apa
susahnya?”
“Jadi gini; orang Indonesia itu bisa dibilang tingkat
kepeduliannya masih tinggi. Cuma ada masalahnya”
“Masalahnya apa emang? Kan tadi kamu sendiri yang bilang
kalo tingkat kepeduliannya masih tinggi?”
“Iya benar. Masalahnya kepedulian orang Indonesia sering
kali muncul kalau dia sudah kenyang. Kalau perutnya sudah terisi! Itulah watak
mayoritas orang Indonesia hari ini!”
Ddeegggg... aku seperti ditinju tepat di bagian ulu hatiku.
Diriku yang lain masih melanjutkan omongannya.
“Ya seperti kamu yang peduli barusan itu. Kamu peduli
ketika perutmu sudah kenyang. Nasi di piring sudah habis.
“Apa aku salah?” tanyanya kepadaku.
Dengan lemas aku menjawab; “Tidak sama sekali”.
Ternyata diriku yang lain itu belum puas melancarkan
hinaan-nya kepadaku.
“Aku bukan ingin menjatuhkan mental atau semangatmu. Aku
hanya sekedar mengingatkan. Tidak baik jika kita sombong karena masih punya
rasa peduli. Terlebih lagi hanya jika kita sudah kenyang, sudah nyaman. Karena
dari sebelum makan, yang ada di pikiranmu hanyalah bagaimana caranya agar cepat
sampai ke warung makan ini, dan segera menyantap makanan untuk mengisi perutmu
itu”.
“Apakah aku salah?” tanya-nya kembali, seakan-akan ingin
mendengar jawaban langsung dari mulutku. Padahal dia sudah tahu jawabannya
sebelum ku jawab. Atau jangan-jangan dia hanya ingin meminta ketegasanku? Ah
tidak mungkin. Dia cuma ingin mengetes aku yang sudah sombong tadi. Dan dia menang telak! Aku
seperti petinju yang bertubuh kekar tapi pertahananku terbuka lebar. Aku kalah
dengan sifat sombongku kali ini.
Aku mengakhiri perbincangan dengan diriku satunya lalu
memilih beranjak pulang.
~~~
Sesampainya di asrama, tiba-tiba keadaan sudah ramai.
Entah siapa yang bertamu malam ini. Tapi kelihatannya orang penting. Dua mobil
mewah terparkir di halaman asrama. Di antara para tamu yang datang malam itu,
tampaknya rombongan tersebut dipimpin seorang wanita. Wajahnya begitu angkuh
dan menunjukkan kelasnya sebagai orang menengah ke atas. Dari tampilannya,
wanita itu seperti sudah berpengalaman dalam bidang seni dan fashion.
Setelah melihat sekilas, aku putuskan untuk kembali ke
kamar. Tapi aku keburu dipanggil oleh pengurus asrama untuk menyambut
rombongan tamu tadi.
Tak di sangka rombongan tadi bukan seperti tamu yang
biasanya ke asrama. Jika yang biasa bertamu karena memang sedang liburan atau
(dan) ada kepentingan dinas, tamu kali ini datang ingin menawarkan penghuni
asrama untuk jadi bagian dalam media yang dipimpin perempuan tadi. Harapannya
dengan sedikit memaksa, agar salah satu dari kami menjadi penulis
tetap di media si perempuan tadi.
Karena aku kurang suka dengan cara dan gayanya yang
angkuh, aku pun tidak terlalu menyimak apa yang disampaikan si perempuan tadi
ketika kami menyambut mereka di aula asrama. Berbeda dengan teman-temanku,
mereka begitu memperhatikan dan tampak antusias mendengarkan penuturan
perempuan itu.
Ketika selesai memaparkan apa yang menjadi tujuannya
datang ke asrama, perempuan tadi menyuruh salah satu dari rombongannya
membagikan brosur, yang berisi rincian konten apa saja yang ditulis di
media-nya, dan jumlah fee jika tulisan dimuat. Lumayan memang.
Tidak lama
setelah itu, pulang lah perempuan tadi ke tempat mereka menginap selama di
Jogja ini. Mereka, yang dengan gaya tampilannya, memang sesuai jika menginap di
hotel berkelas. Asramaku, yang seringkali dianggap mewah oleh teman-teman
kuliahku, hanya akan membuat perempuan tadi dan rombongannya menjadi tidak
nyaman.
Setelah
rombongan tadi pulang, segera aku masuk lagi ke kamar. Aku berencana
menghabiskan buku yang sudah setengah ku baca. Tapi, tidak berselang lama aku
melanjutkan bacaanku, seniorku di organisasi datang dengan mengetuk pintu
kamarku. “Ah ada keperluan apa dia?” pikirku. Di malam yang dingin setelah
hujan seperti ini, seniorku menyempatkan datang ke kamarku. Ini tidak biasanya.
Dengan
sisa-sisa hujan yang menempel di jaketnya malam itu, dia langsung menyalamiku
dengan wajahnya yang sumringah.
“Hai, apa
kabarmu malam ini?” tanyanya padaku.
“Ah, sama
seperti biasanya, bang” jawabku.
“Biasa yang
bagaimana?” lanjutnya.
“Ya masih belum
ada peningkatan, bang” kataku.
“Ha ha ha, kamu
itu selalu saja merendah untuk meroket ya?”
“Ah enggak
bang, aku serius kalau aku belum ada peningkatan apa-apa.”
Sambil
menghidupkan rokok surya yang dia ambil dari kantong jaketnya, seniorku seperti
menyiapkan sebuah pembicaraan yang lumayan penting.
“Malam ini, aku
sengaja datang menemuimu, karena ada sesuatu yang mau aku obrolin, dan ini
tidak bisa ditunda” katanya.
“Apa itu bang?
Apa sebegitu pentingnya, sampai menghampiriku sehabis hujan begini?”
“Ya, kalo
penting dengan tidaknya, itu nanti kamu sendiri yang menilai. Tapi menurutku
ini hal yang penting.”
“Oh ya, apa itu
bang? Apa yang bisa tak bantu?”
“Tadi siang,
aku lagi ngopi di Blandongan. Pas aku buka email, aku dapat email dari senior
Jakarta. Isi emailnya kalau dia baru saja membuat web. Dan web itu belum punya
kontributor sama sekali.”
“Lantas, apa
yang aku bisa bantu, bang?”
“Selama ini,
sependek pengetahuanku, dari beberapa juniorku, yang aku tahu cuma kamu yang
sudah banyak melahap novel atau buku sastra. Web senior Jakarta itu, kebetulan
ada rubrik sastra, yang seharusnya bisa diisi oleh kita-kita yang ada di Jogja
ini.”
Mendengar
paparan dari seniorku itu, aku langsung bisa menebak ke arah mana pembicaraan
ini akan berlangsung. “Aku belum bisa bang. Jangankan untuk menulis sastra,
menulis status BBM saja aku masih bingung.”
“Hahaha,”
tawanya meledak. "Sudahlah,
jangan lagi lari kamu itu. Sudah cukup kamu menghindar selama ini. Ini waktunya
bagimu untuk menujukkan siapa kamu, sebatas mana kemampuan dan kualitasmu”
katanya sambil menghisap rokok yang sudah tinggal setengah itu.
Aku jadi
bingung, kenapa dia mengungkit soal aku yang menghindar berkumpul dan
menghadiri agenda organisasi akhir-akhir ini. Padahal, selama aku menghindar,
dia tidak pernah menghubungi dan menanyakan kabarku. Yang aku tahu, dia sibuk
dengan agenda politik kampus yang aku benci itu. Bahkan, dia jadi semacam orang
yang tidak pernah aku kenal sebelumnya. Tapi, malam ini, tanpa menghubungiku
sebelumnya, ujug-ujug dia langsung datang dan membicarakan hal semacam itu.
“Temen yang
lain kemungkinan lebih baik dari aku, bang” kataku untuk mencoba menolak
ajakannya.
“Iya, aku tahu,
tapi aku tidak punya kesan dengan teman-temanmu itu. Walaupun selama ini aku
sering ngopi dengan orang-orang itu, yang aku tahu, cara berpikir mereka belum
sematang cara berpikirmu.”
“Ah, itu
perasaan abang saja” kataku.
“Ya terserah
kalau kamu menganggapnya seperti itu. Yang pasti, aku menjatuhkan pilihan ini
kepadamu, karena aku punya kesan tersendiri.”
“Aku
benar-benar belum bisa bang, aku takut mengecewakan abang, dan senior Jakarta
itu” tambahku.
“Dalam hal ini,
aku akan kecewa kalau kamu tidak menghargai dirimu sendiri.”
“Mak tratap,
apalagi ini maksudnya. Kenapa malah kesannya aku sedang disidang malam ini,”
kataku dalam hati. “Boleh dijelaskan maksudnya itu gimana, bang?”
“Intinya, aku
cuma ingin kamu menghargai dirimu sendiri. Sudah, itu saja. Tidak lebih.”
“Aku
benar-benar tidak paham maksudnya, bang” kataku padanya.
‘'Kamu akan
menjadi orang yang mulia,
kalau kamu sudah bisa menghargai dirimu sebelum menghargai orang lain.
Menhormati orang lain itu secukupnya saja. Aku tahu, kamu itu orangnya berani. Beranimu itu kamu tunjukkan dalam keistiqamahan dan konsistennya kamu selama ini. Kamu itu selalu saja pengen jadi
orang yang kuat,
dan memposisikan dirimu sebagai tameng untuk teman-temanmu yang lain.”
Setelah
berkata seperti itu, dirinya langsung pamit kepadaku. Dari kursi di kamar yang
aku duduki malam ini, aku memandangi pundaknya yang meninggalkan kamarku. Aku
langsung kepikiran dan mencoba memahami maksud omongan seniorku itu, dan
rangkaian kejadian yang aku alami malam ini. Apa yang coba semesta tunjukkan
padaku? Aku merasa cemas, tetapi aku
juga bingung. Bingung karena aku tidak memahami apa yang aku cemaskan,
dan untuk apa kecemasanku itu.