Berbahagia Lewat Imajinasi
Monday, March 16, 2020
Edit
Penulis: Kakak Reformasi
Identitas Buku:
Judul: A Very
Yuppy Wedding
Penulis: Ika
Natassa
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Tahun: Oktober
2007
Tebal: 288
Kehidupan yang
mewah di kota besar semacam Jakarta, adalah impian kebanyakan orang. Dengan rutinitas
keseharian, dan gaya hidup yang terbilang elit, tentu banyak orang yang tidak
bisa menolaknya. Akan tetapi, banyak hal yang sebenarnya jarang diketahui dari
gambaran hidup mewah semacam itu. Siapa sangka, kalau hidup mewah di kota besar
juga menyiksa si pelakunya. Saya rasa, inilah salah satu pesan yang ingin
disampaikan Ika Natassa dalam novel pertamanya.
Buku A Very
Yuppy Wedding, adalah potret kehidupan mewah Jakarta yang sering diidam-idamkan
orang banyak. Buku ini, adalah buku yang tidak terasa langsung habis saat
membacanya. Terlepas karena buku ini adalah novel percintaan, saya rasa Ika
Natassa memang punya kemampuan menyihir pembaca saat membaca karyanya ini. Kisah
yang disajikan sebenarnya tidak terlalu wah bagi saya, tetapi, setidaknya buku
ini sanggup membuat saya hanyut membayangkan kemerlipnya kehidupan di jantung
Ibu Kota Indonesia.
Kisah yang
berpusat pada sepasang kekasih ini, nyatanya juga menghadirkan jejaring banyak
hal. Mulai dari persinggungan budaya, watak para pegawai di bank, sampai pada
kebiasaan di tempat nongkrong. Tidak hanya itu, melalui buku ini para pembaca
akan dikenalkan dengan istilah-istilah di perbankan dan bisnis yang sangat
jarang kita dengar di obrolan sehari-hari. Semacam katalog yang menyimpan
banyak informasi, buku ini juga membuat pembaca geregetan mencari kelanjutan
dari tiap babaknya.
Uniknya, buku
yang ditulis kurang-lebih 13 tahun lalu ini, terkadang menyisipkan kalimat,
kata-kata sampai ke percakapan dalam bahasa Inggris. Walau terkesan seakan
ingin memperkuat penokohan pada sosok Andrea—yang bahasa Indonesianya kacau,
karena ia adalah blasteran—tampaknya para pembaca juga seakan dipaksa untuk
membiasakan mengerti arti dari kalimat berbahasa Inggris.
Tidak berhenti
sampai disitu, Ika Natassa seperti mencoba membantah asumsi kalau orang dari
kelas elit mampu menikmati privilege yang belebih. Hal ini terbukti
ketika Andrea dan pasangannya Adjie, berbincang tentang kekhawatirannya ketika
mobilan berdua saja pada saat menjelang tengah malam. Kekhawatirannya dikarenakan
takut jikalau ada razia di jalan yang dilakukan oleh FPI.
Entahlah, kalau
memang tujuan Ika menulis seperti itu murni hanya untuk membantah asumsi yang
sering dibayangkan orang banyak, saya juga kurang tahu. Yang pasti, saya
pribadi punya pendapat lain. Saya rasa, Ika mencoba menyindir kebiasaan
penguasa waktu itu yang menggunakan oknum untuk mengontrol masyarakat. Semacam tangan
yang tak terlihat, citra FPI digambarkan begitu menyeramkan. FPI, menjadi
tukang razia yang secara tidak langsung dilegalkan, dan begitu mirip seperti
polisi Syariah yang ada di Aceh.
Sebagaimana kita
ketahui bersama, pada zaman Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih menjadi
presiden, FPI adalah salah satu ormas yang begitu dirawat oleh beliau. Sebenarnya,
hal ini bukanlah hal yang baru, sebab, semasa Orde Baru, Soeharto juga
melakukan hal yang sama. Namun, perbedaannya terletak pada metode pemanfaatan
dan pengontrolannya. Kalau Soeharto lebih kepada menjaga stabilitas dan
mengamankan doktrin ideologinya, SBY mampu menyamarkan hal tersebut lewat FPI. Tentu
saja karena ada embel-embel Syariah di dalamnya.
Terlepas dari
praduga saya yang kurang berdasar itu, mari kita kembali membahas buku ini. Buku
yang membahas kehidupan bankir dan segala macamnya ini, setidaknya menjadi penghibur dan pas sekali dibaca oleh orang
yang punya kesibukan padat.
Dengan rutinitas
24 jam dalam seminggu, memang patut kiranya kalau kita punya pelepas penat
bukan? Nah, inilah yang saya maksud. Karena, bagi saya pribadi yang sering
rebahan ini, buku ini mampu memahamkan saya soal kesibukan yang padat dari para
pekerja. Apalagi bagi para pekerja itu sendiri, pasti akan punya kesan lebih
ketika membaca buku ini.
Bukan, saya
bukan ingin memuji buku ini. Saya mengatakan hal yang sewajarnya menurut saya
sebagai pembaca buku ini. Dengan memakai gaya bahasa tutur dalam bukunya, Ika
sangat sukses menurut saya menghanyutkan para pembaca karyanya. Karena mau
diakui atau tidak, seorang pembaca akan dibuat menjadi berganti-ganti peran,
sekaligus membayangkan menjadi tokoh-tokoh yang ada di dalam buku ini.
Selanjutnya,
bagi pembaca yang bukan berasal dari suku Jawa, sekiranya patut bersiap-siap
karena akan dikenalkan Ika dengan budaya dan kebiasaan orang-orang Jawa. Bagi
orang Jawa sendiri, kiranya memang patut berbangga dengan identitasnya, karena
akan terlihat bagaimana Ika sangat menghormati Jawa dan budayanya. Terlepas hal
itu kemudian juga menjadi kritik, setidaknya Ika juga sukses mengabarkan kepada
khalayak luas tentang Jawa.
Saya memang
tidak akan menyorot tentang kisah cinta yang ada di dalam buku ini. Karena bagi
saya, kisah cinta itu begitu relatif, subjektif dan tentatif bagi setiap
pribadi. Oleh karena itu, saya lebih membaca kepada hal yang sebenarnya tidak
menjadi sorotan utama dalam buku ini. Jika diibaratkan, saya adalah orang
pinggir yang membaca orang-orang di pusat jantung Jakarta. Dan terakhir, segeralah
baca buku ini karena semesta kisah yang di dalamnya tidak sesederhana paparan
saya ini.