Awas, Indonesia Darurat Corona!
Tuesday, March 17, 2020
Edit
![]() |
Sumber Foto: depok.pikiran-rakyat.com |
Penulis: RAF
Piliang
Sampai hari
ini, virus Corona masih menjadi hantu nyata bagi kita. Hantu yang membuat kita histeris dan panik. Ibarat orang yang
sedang dilanda bencana, kondisi di masyarakat menjadi serba bermasalah. Mulai
dari anggapan remeh soal virus Corona, sampai kepada ketertutupan informasi
Corona sendiri. Tidak hanya itu, nyatanya pemerintah dan Indonesia secara umum,
memang belum siap menghadapi virus yang satu ini. Terbukti, kebijakan yang
muncul dari pemerintah belum menyentuh titik maksimal.
Hal ini yang
selanjutnya belum menjadikan kita bersatu dalam melawan virus tersebut. Kita beranggapan,
bahwa kita masih berada di tahap sedang baik-baik saja. Terkait virus Corona
ini, saya teringat satu hal. Yaitu tentang kepedulian kita terhadap lingkungan.
Apa yang kita lakukan ketika menghadapi virus satu ini, sama persis jika
dibandingkan dengan penyikapan kita pada kerusakan lingkungan. Seakan
regenerasi atau pemulihan kembali bisa berlangsung dengan sendirinya. Padahal,
tidak akan sesederhana seperti itu bukan?
Dalam
sejarahnya, virus Corona adalah hal pertama yang mampu melumpuhkan banyak aspek
kehidupan di banyak negara. Mulai dari ekonomi, pendidikan, kegiatan produksi
sampai kepada hal-hal terkecil lainnya. Tidak berhenti sampai di situ, virus
ini juga menjadikan Indonesia sebagai negara yang berada di status darurat. Tapi
lucunya, masih saja terdapat oknum yang mengambil keuntungan dari kejadian ini.
Mulai dari penimbunan barang, sampai kepada pembelaan buzzer kepada individu
yang seharusnya bertanggung jawab mengatasi virus ini.
Status darurat
dan siaga, lagi-lagi masih dianggap banyolan di beberapa kasus. Dengan
melontarkan argumen masih ramainya aktivitas yang belum lumpuh karena Corona,
kita sebagai masyarakat awam disuruh tenang-tenang saja. Bukannya menggejot
aktivitas penyadaran dan penanganan yang efisien, nyatanya kita lebih terkesan
menyelematkan diri sendiri. Sehingga, muncul anggapan bahwa keselamatan pribadi
lebih penting daripada keselematan bersama.
Hal itu memang
benar, tapi menurut saya tidak sepenuhnya benar. Karena, keselamatan pribadi
berbanding lurus dengan keselamatan kolektif. Dengan kata lain, sekuat apapun
kita mempertahankan keselamatan pribadi, kalau tidak dibarengi dengan pemahaman
keselamatan kolektif, bisa dibilang hal tersebut menjadi usaha yang mustahil
dan sia-sia.
Asumsi logisnya
adalah, keselamatan pribadi, menurut saya adalah bagian dari keselamatan
kolektif itu sendiri. Kalau sampai hari ini kita masih abai dengan keselamatan
kolektif, mau jadi apa dan mau bertahan sampai kapan keselamatan pribadi
tersebut? Hal ini yang sebenarnya kurang dilirik oleh pemerintah sendiri.
Terbukti dengan kampanye antisipasi Corona belum sampai ke daerah-daerah yang
jauh dari Jakarta. Tidak hanya itu, rujukan rumah sakit dan pengambilan
keputusan soal virus Corona, nyatanya juga masih Jakarta sentris.
Apakah kita
masih mau menunggu dan sebenarnya apa yang kita tunggu? Kalau mengharapkan
virus Corona pergi dengan sendirinya—seperti perkataan badai pasti
berlalu—berarti kita harus menjadi orang yang ekstra sabar dong? Memang, dalam
menangani kasus Corona ini bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi, bukannya kita
juga harus bersatu padu menghadapinya bukan?
Anggapan saya,
kebijakan yang tegas dan akurat bukan lagi menjadi kebutuhan, namun juga sudah
menjadi kewajiban pihak yang berwenang. Apalagi jika mengingat penyebaran virus
Corona yang begitu pesat. Bukan waktunya lagi kita menunda. Karena ini bukanlah
pekerjaan rumah anak sekolahan yang bisa ditunda-tunda. Ataupun seperti tugas
anak kuliahan yang bisa dilobi kepada dosennya. Sungguh tidak, dan bukan sama
sekali.
Menelisik dari
sekian efek yang dihasilkan dengan hadirnya virus Corona ini, menjadi dilematis
kalau kita masih saling menunggu. Kenapa menjadi dilematis? Pasalnya begini,
saya beri contoh di ranah pendidikan. Sejak diberlakukannya kebijakan kuliah
online di hampir semua kampus di beberapa daerah, sebenarnya tidak berbanding
lurus dengan kesiapan kurikulum dan metode pengajarannya.
Beberapa
kampus, sebut saja kampus-kampus ternama, memang punya kebijakan resmi selain
meliburkan massal mahasiswanya. Karena keputusan tersebut juga dibarengi dengan
solusi yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa hari ini. Akan tetapi masalahnya,
untuk kampus yang tidak ternama, hal ini tampaknya belum disikapi secara tegas
dan lugas. Boro-boro mengatakan cerdas dan cergas, wong tegas saja belum.
Hal ini
terbukti dengan beragamnya solusi yang dipilih dan diambil. Mulai dari
keharusan wajib aktif di grup WA saat jadwal kuliah berlangsung, mendownload
aplikasi yang spesifik untuk kegiatan ajar-mengajar, sampai kepada solusi
dengan mengerjakan tugas selama libur atau kuliah onlie. Hal tersebut yang saya
anggap menjadi problem akut, dan menjadi pesan simbolik kalau Indonesia tidak
pernah siap menghadapi apapun.
Mungkin
komentar saya ini terkesan sinis, akan tetapi saya akan menjelaskan alasan
selanjutnya. Kuliah yang mahal, adalah kewajiban semua kampus di Indonesia hari
ini. Tapi apakah hal tersebut berbanding lurus dengan prospek yang ditawarkan
oleh kampus sendiri? Nyatanya kan tidak? Ditambah lagi dengan ada kasus Corona.
Perkuliahan seakan lumpuh, tapi dicitrakan seperti baik-baik saja. Terbukti,
solusi dari Kementerian Pendidikan dalam hal ini belum terdengar gawungnya
bukan? Kebijakan akhirnya diserahkan pada kampus masing-masing
Tidak sampai di
situ saja, hal ini menandakan kalau komunikasi antar menteri terlihat tidak
berjalan dengan baik. Dengan beragamnya data yang kita peroleh soal Corona,
menambah ruwetnya masalah ini. Selain itu juga, Kementerian Kesehatan yang
seharusnya paling bertanggung jawab soal ini, malah terkesan angin-anginan.
Padahal, berapa biaya kesehatan yang digelontorkan untuk menangani masalah
Corona ini?
Pertanyaan
selanjutnya, masihkah kita percaya bahwa kita adalah bangsa yang kuat dan kebal
dengan segala macam virus? Kalau masih percaya dengan hal itu sebenarnya tidak
menjadi masalah. Asalkan, tidak menjadikan hal tersebut sebagai kesepakatan
umum antara kita, atau kita amini secara bersama. Agenda apapun, yang sifatnya
nasional, saya kira memang patut ditunda dengan adanya virus Corona ini. Bukan
karena kita lantas menjadi penakut. Namun soal nyawa memang tidak seharusnya
ada tawar menawar.
Cukup hanya
pada insiden pembantaian PKI saja kita keliru. Jangan sampai kita melakukan hal
yang sama dengan Corona ini. Kalau mau dihitung, virus Corona memang tidak
menghasilkan korban sebanyak insiden pembantaian PKI. Akan tetapi, saya rasa
kita juga harus sudah punya prioritas ketika berhadapan dengan masalah yang
sifatnya nasional begini. Karena, bukan lagi waktunya kita hanya memakai
kacamata darurat saat insiden demonstrasi—seperti beberapa waktu lalu—namun
juga sudah harus kepada soal yang menyangkut nyawa seperti ini.