1917: Perang Tanpa Pemenang
Thursday, March 19, 2020
Edit
Penulis: Viona
Indah Aprilia
Data Film
Judul: 1917
Sutradara: Sam Mendes
Produser: Pippa haris, Callum McDougall, Brian
Oliver, Jayne-Ann tenggren
Aktor/Aktris: George MacKay, Dean-Charles Chapman, Mark
Strong, Andrew Scott, Richard Madden, Collin Firth, Benedict Cumberbatch,
Claire Duburcq
Durasi: 119 menit
Produksi: DreamWorks Pictures
Berbeda dengan film perang pada umumnya, 1917 agaknya didesain sebagai film yang personal, yang secara kentara minta dikaitkan dengan sisi psikologis dari para penonton. Terbukti, dipilihnya Schofield (George Mackay) dan Blake (Dean-Charles Chapman) menjadi dua sejoli, adalah pilihan yang sangat tepat. Duet pasangan ini di awal film, bagi saya sangat membakar emosi. Film yang mengisahkan perang Inggris dan Jerman ini, adalah film yang berangkat dari sisi personal kedua yang saya tonton setelah film Hacksaw Ridge.
Misi Mengantar
Surat yang Mempertaruhkan Nyawa
Dikisahkan, Blake
dan Scohofield yang sedang tertidur di siang hari, harus menangguhkan tidurnya
karena dibangunkan oleh Sersan Sanders (Daniel Mays). Sanders membangunkan
Blake dan Scho atas perintah Jenderal Erinmore. Dipanggilnya Blake dan Scho
bukanlah tanpa sebab. Mereka berdua dipanggil karena ada sebuah misi yang harus
dijalankan. Misi tersebut mungkin terkesan misi biasa dari cara pandang sipil. Karena
misi tersebut adalah misi mengantar surat.
Namun siapa
sangka, surat yang diantar bukanlah sekedar surat biasa. Melainkan surat yang
berisi perintah penghentian perang. Tidak hanya itu, misi mengantar surat ini
adalah misi yang mempertaruhkan nyawa. Karena, Blake dan Scho yang tentara
Inggris, ditugaskan untuk mengantar surat kepada pasukan penyerbu yang berada
di garis depan. Tantangannya, Blake dan Scho dipasrahkan untuk menghentikan
perang yang sebenarnya segera berakhir.
Terpilihnya Blake
dan Scho sebagai kurir, berawal dari keahlian Blake dalam membaca peta. Blake yang
awalnya tidak mengira akan diberikan misi seberat itu, terkesan memang asal
memilih partner. Bisa jadi memang dipengaruhi faktor karena ia baru bangun
tidur. Akan tetapi, dipilihnya Scho untuk menemani Blake, justru menjadikan
perjalanan tersebut yang paling berkesan, dan yang paling diingat oleh Blake
nantinya.
Mencermati hal
ini sebagai simbol, betapa bergunanya keahlian spesifik dan di atas rata-rata
sebagai penentu pemberian misi. Terlepas surat yang akan diantar karena
menyangkut keselamatan nyawa saudara Blake, yaitu Letnan Batalion Joseph Blake,
saya kira ketika Jenderal Erinmore memberika misi sudah berdasarkan pertimbangan
yang matang. Tantangan lainnya yang harus dilewati oleh Blake dan Scho, ialah
harus mampu melewati pasukan Jerman, yang belum jelas keberadaannya.
Terkait pemberian
misi ini, Blake merasa tidak perlu ada yang ditunggu dan ditunda lagi. Rasa persaudaraan
yang kuat, membuat Blake tidak ingin waktunya terbuang sia-sia, agar nyawa
saudaranya bisa terselamatkan. Ketakutam, panik, dan cemas bercampur baur
menghinggapi Blake. Ia berubah menjadi orang yang terburu-buru serta
tergesa-gesa ketika mendengar ucapan Jenderal Erinmore, bahwa nyawa saudaranya
tergantung keberhasilan mengantar surat tersebut.
Melihat hal
tersebut, Scho yang lebih tua dan lebih banyak pengalaman, mencoba menenangkan
si Blake. Bukan karena belum tahu apa yang bakal dihadapi, namun ketenangan
Scho tersebut terbangun dari pengalamannya berperang selama ini. Berdasarkan pengalamannya
yang terakhir, kabar Jerman mundur dalam peperangan bukanlah kabar yang menggembirakan.
Hal ini terbukti nantinya pada saat mereka masuk dalam garis pertahanan Jerman
Blake yang merasa
sudah diburu oleh waktu, nyatanya juga kehilangan pertimbangan matang dan akal
sehatnya. Yang ada dibenaknya hanyalah secepat mungkin sampai ke lokasi tujuan.
Dengan keyakinan sekuat itu, Blake menyangsikan bahaya yang sudah menunggu
mereka. Memang urusan nyawa tidak akan ada tandingannya. Akan tetapi dalam
sebuah peperangan, pertimbangan logis menjadi yang nomor satu. Tanpa perencanaan
yang matang, hal tersebut bakal menjadi bumerang nantinya.
Persahabatan
dan Kepercayaan
Apakah persahabatan
selamanya mempunyai ikatan kepercayaan? Saya rasa memang seharusnya begitu. Tanpa
sebuah ikatan kepercayaan antara satu sama lain, hal tersebut akan menjadi
sia-sia. Karena persahabatan sudah sepatutnya dilandasi oleh ikatan
kepercayaan.
Film ini, salah
satunya mengangkat kisah persahabatan antara Blake dan Scho. Bukan hanya karena
kesamaan identitas kebangsaan, Blake dan Scho diceritakan seperti dua sisi uang
yang sulit dipisahkan. Satu sama lain saling mengisi kekurangan dan melengkapi serta
menutupi kesalahan masing-masing. Hal ini bukan hanya karena agar misi bisa
tercapai dan berhasil. Namun juga bentuk menjaga antara satu dengan lainnya.
Bukti ikatan
persahabatan yang terjalin antara Blake dan Scho, ketika saat mereka berpacu
dengan waktu agar bisa selamat. Mulai dari melewati kawat-kawat berduri,
mencoba keluar dari reruntuhan bangunan pertahanan Jerman, sampai kepada debat
mereka soal medali penghargaan.
Blake, masih
menganggap bahwa medali penghargaan adalah bukti keberhasilan seorang tentara. Dan
menjadi kebanggan tersendiri bagi tentara tersebut dan juga bagi keluarganya. Dialog
yang terjadi antara Blake dan Scho kemudian, akhirnya turut menyadarkan saya
sebagai seorang penonton. Bagi Scho, medali penghargaan tidak ada bedanya
dengan benda lain. Ia hanyalah timah yang bisa dibuat berulang kali, dan
sebanyak yang diinginkan. Yang akhirnya membedakan hanyalah momen diberikannya
medali tersebut.
Hal ini yang
seharusnya juga kita sadari bersama. Karena nyatanya, dalam iklim dewasa
ini, betapa kita mengagungkan yang namanya sebuah penghargaan. Kepercayaan kita
ini, mau diakui atau tidak, sudah dimulai sejak kita masih kecil. Contohnya begini,
ketika kita masih taman kanak-kanak, kebanyakan orang tua pasti merasa lebih
bangga ketika anaknya mendapt piala. Terlepas pialanya apa saja, yang pasti
sebuah keberhasilan diukur dari bentuk sebuah benda.
Hal tersebut
berlanjut sampai kepada kita sekolah. Betapa dominannya kepercayaan bahwa
predikat dan juara adalah tolak ukur keberhasilan dalam pendidikan. Kita selanjutnya
terus didoktrin untuk mempertahankan gelar juara tanpa pernah tahu maksud dan
tujuan yang sebenarnya. Dan kita tak pernah tahu, apa manfaat yang bakal
dihasilkan oleh pemahaman tersebut.
Scho, yang saya
pandang punya cara berpikir post-modern, nyatanya rela menukarkan medali
penghargaanya dengan sebotol anggur. Blake yang mendengar hal tersebut, akhirnya
tidak mampu memahami isi pikiran teman seperjalannya. Blake menganggap, bahwa
sebaiknya meali tersebut seharusnya diserahkan Scho kepada keluarganya ketika
kembali ke rumah.
Nah, ini
menjadi puncak perdebatan mereka. Scho dengan jujur dan dari hati nuraninya,
mengatakan hal tersebut adalah hal yang paling menyiksa seorang tentara dalam kondisi
peperangan. Karena ia pribadi percaya, bahwa tentara dalam kondisi perang,
tidak akan bisa tinggal lama dengan keluargnya. Hal ini yang selanjutnya
menyadarkan kita tentang nasib dari para tentara yang berjuang di medan perang.
Bukan hanya waktu dan tenaga yang dikorbankan, tapi hak berkumpul dengan
keluarga ikut terampas dengan adanya perang.
Perang yang tak
Pernah Berakhir dengan Baik-baik Saja
“Seandainya” mungkin
adalah kata yang paling diharapkan dalam peperangan. Bukan hanya karena kata
tersebut mengandung sebuah harapan dari yang memikirkan dan mengucapkan, namun
juga seandainya adalah bentuk kepasrahan. Kepasrahan dari kondisi yang belum
menentu. Dan kondisi karena serba ketidaktahuan terhadap kejadian yang akan
datang.
Di pertengahan
film, kita akan menyaksikan kematian Blake karena hal yang menurut saya konyol.
Hal ini bermula ketika Blake memutuskan untuk menolong pilot Jerman yang kalah
adu duel udara dengan tentara Inggris.
Siapa yang
mengira, kalau Blake dengan kekhawatirannya tadi masih memikirkan keselamatan
nyawa musuhnya. Namun apa mau dikata, pilot tersebut memilih untuk menusuk
Blake. Hal ini bisa jadi karena pilot tersebut ingin memilih mati dengan cara
yang tidak sia-sia. Karena setidaknya ia merasa harus bisa berhasil membunuh
tentara Inggris.
Inilah letak
seandainya yang saya maksud sebelumnya. Andai saja Blake tidak menolong pilot
tersebut, tentu ia tidak akan berakhir dengan cara yang begitu. Andai saja
Blake tidak menolongnya, tentu Blake masih bisa bertemu saudaranya, dan
menemani Scho mengantar surat. Andai saja Blake tidak menolongnya, pasti Blake
bisa mendapatkan medali penghargaan yang ia inginkan. Dan masih banyak
seandainya lagi yang saya harapkan dari film ini.
Namun, karena
film ini juga diangkat dari kisah nyata, hal ini yang menjadikan kelebihannya. Karena
takdir kehidupan tidak ada yang tahu, dan belum tahu bagaimana ia akan
diceritakan ulang. Di akhir film, ada kata-kata menarik dari Kolonel MacKanzie
(Benedict Cumberbatch) tentang perang tersebut. “Yang menjadi pemenang perang,
adalah ia yang bertahan sampai akhir.”
Kata-kata
tersebut menurut saya sukses menjadi penutup film. Karena saya pribadi juga
sependapat dengan hal tersebut. Dalam perang, bukanlah ia yang membunuh paling
banyak yang akan menjadi pemenang. Akan tetapi, sang pemenang adalah ia yang
mampu membunuh egonya sendiri.
Film ini, dalam
kaca mata perang modern, tidak akan bisa dikategorikan sebagai gambaran kemenangan
Inggris. Karena dalam logika perang modern, siapa yang mampu menaklukkan musuh
ia yang akan keluar menjadi pemenang. Film ini bagi saya pribadi, selanjutnya layak
dinyatakan sebagai film yang mengisahkan “perang tanpa pemenang”. Karena baik
Inggris dan Jerman, digambarkan belum mampu membunuh egonya masing-masing.