Yang tidak Kita Bicarakan Soal Banjir
Wednesday, February 26, 2020
Edit
![]() |
Sumber Foto: komunitashistoria.com |
Saking negatifnya pandangan kita soal banjir, banyak bermunculan sifat saling menyalahkan yang berseliweran di medsos. Untuk konteks banjir di Jakarta, sangat menarik kiranya kalau dibicarakan. Mengingat apa pun yang melanda Jakarta akan selalu menjadi sorotan publik dan seakan menjadi isu Nasional.
Bagi yang pro terhadap Gubernur Anies, banjir yang
melanda Jakarta dianggap bentuk kelalaian pemerintah pusat yang terlalu lamban
dalam menangani permasalahan dan lebih fokus pada isu agama. Sedangkan bagi
yang pro terhadap Presiden Jokowi, banjir di awal tahun ini disebut sebagai
bentuk tidak optimalnya kinerja Pemprov DKI yang terlalu fokus pada program
kerja dan proyek-proyek yang ada tanpa memerhatikan persoalan banjir tahunan.
Pada akhirnya, publik pun terbelah dan terkotak-kotak, yang selanjutnya cuma
melahirkan tindakan saling tuding antara satu dengan yang lain.
Mungkin, pembahasan soal banjir selama ini hanya
berkutat pada solusi dalam menangani banjir, mulai dari langkah taktis maupun
strategis. Namun, belum pernah ada pembahasan yang berbicara soal pencegahan
banjir tersebut.
Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa kita semua
percaya banjir adalah hal yang niscaya dan pasti terjadi. Banjir sudah jadi
semacam agenda rutinan setiap tahun, yang seharusnya selalu siap untuk kita hadapi.
Tampaknya, yang bisa kita lakukan hanyalah meminimalisir kerugian yang akan
ditimbulkan.
Namun, benarkah gagasan dalam menangani banjir sudah
tepat sasaran? Sudah adilkah kita memaknai alam yang kita percaya selalu
menakdirkan banjir setiap tahunnya? Dua pertanyaan ini menarik untuk diulas
lebih lanjut. Apalagi bagi kita, sekumpulan manusia, yang selalu ingin hidup
aman dan tenteram.
Saya memulai dengan dugaan kuat bahwa tampaknya kita
selama ini rancu dalam memaknai fakta relasi kita sebagai manusia dengan alam
dan lingkungan yang ada. Kita sedari awal memang sudah tidak adil dalam menilai
kondisi alam dan lingkungan kita hari ini. Kita masih saja menganggap alam dan
lingkungan baik-baik saja, padahal nyatanya tidak.
Bahwa banjir adalah campuran dari kumpulan
permasalahan, merupakan fakta yang tidak bisa disangkal. Jika kita menelisik
lebih jauh, ternyata ada hal yang lebih fundamental ketika berbicara persoalan
banjir. Terkait hal yang lebih substansial dan filosofis, tampaknya selama ini
kita melupakan soal konsep ekuilibrium. Ekuilibrium sendiri berarti keadaan
mantap yang lahir karena keseimbangan dan kesepadanan.
Untuk itu, penting dimengerti terlebih dahulu soal
konsep ekuilibrium ini sehingga kita mampu menyusun fragmen dari
masalah-masalah yang menimbulkan banjir. Ekuilibrium menandakan kondisi
stabilitas antara dua substansi. Dengan kata lain, ekuilibrium bisa diartikan
sebagai sebuah kejadian ideal yang menjadi cita-cita bersama.
Beranjak dari situ, hal pertama yang perlu kita lacak
adalah keberadaan alam dan lingkungan sebagai sebuah entitas yang hadir
berdampingan bersama manusia. Oleh karenanya, kita tidak bisa lagi memandang
alam dan lingkungan sebagai sesuatu yang terpisah dari kita. Atau, kita masih
memandang alam dan lingkungan sebagai sesuatu yang hanya kita bisa manfaatkan
tanpa perlu kita lestarikan.
Pada akhirnya, kita tidak bisa lagi memandang alam dan
lingkungan sebagai sesuatu yang bisa memperbaiki diri dengan sendirinya. Kalau
kita masih tetap bertahan dengan pandangan demikian, maka bisa dipastikan
keberlangsungan hidup manusia, alam, dan lingkungan Indonesia tidak akan
bertahan lebih lama. Pandangan semacam itulah yang selanjutnya akan melahirkan
sebuah disekuilibrium, atau sebuah ketiadaan stabilitas dan ketiadaan
keseimbangan.
Mungkin sudah banyak anjuran yang sifatnya normatif
dan etis terkait dengan masalah banjir. Misal, dengan melakukan konservasi atau
reboisasi besar-besaran. Akan tetapi, anjuran-anjuran seperti itu dirasa belum
mampu menyelesaikan masalah yang kita hadapi hari ini. Paling banter, masalah
yang sedang kita hadapi hanya akan berubah dalam skala kecil dan jangka pendek.
Namun, untuk skala yang lebih luas dan jangka waktu yang lebih lama, belum sama
sekali tersentuh.
Kecenderungan dan kebiasaan kita menaklukkan alam,
juga menjadi penyebab banjir yang ada selama ini. Selain itu, ketidakseimbangan
yang terjadi pada alam hari ini juga didukung oleh kembang-pesatnya teknologi
dan hiper-industrialisasi yang melanda Indonesia hari ini. Misalnya, sistem
pertanian modern yang ada hari ini. Tanpa kita sadari, pestisida dan pupuk
artifisal telah menyebabkan terganggunya kesuburan tanah, yang secara tidak
langsung juga mengurangi daya serap air dari tanah itu sendiri.
Perlu dipahami, masalah banjir yang kita hadapi hari
ini sudah seperti benang kusut yang semerawut. Untuk mengurai tiap akar
permasalahannya, membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Belum lagi,
masalah-masalah lain yang tak kalah penting dengan persoalan ekosistem seperti
tak kunjung habis kita hadapi.
Dengan demikian, revolusi ontologis tentang hubungan
manusia dengan alam perlu diadakan. Pemikiran yang tidak lagi insidental maupun
aksidental, yang tidak partikular serta diskriminatif, tetapi benar-benar
ontologi yang total mesti mulai kita bangun. Oleh karenanya, menjadi sebuah
keniscayaan bagi kita semua untuk mengkaji dan mencintai alam lebih teliti dan
lebih kuat lagi. Karena lewat kekuatan cinta kepada alam lah semua upaya untuk
menangani bencana rutinan ini bisa mulai dibangun.
Harapan akhirnya, melihat sedemikian klisenya
persoalan bencana yang kita hadapi, kita semua bisa bijak dalam membangun
sebuah peradaban, sehingga berbanding lurus dengan keseimbangan alam yang sudah
kita pahami sebelumnya.
Rujukan: Ekofenomenologi (Saras Dewi)