Setan yang Tak Menakutkan Itu Adalah MU
![]() |
Sumber Foto: theguardian.com |
Saya bukanlah
seorang fans garis keras yang fanatik buta pada klub yang saya sukai, termasuk
klub sepakbola Manchester United. Apalagi menjadi fans yang loyal untuk selalu
ikut nobar yang diadakan oleh komunitas The Red Devils di Indonesia. Entah
takut pada kenyataan jika cinta bisa membuat kita buta, atau memang masih terlalu muda bagi saya,
mencintai klub dengan perolehan gelar juara liga terbanyak di Inggris ini.
Jatuh cinta pada
MU dimulai ketika Sekolah Dasar. Masa-masa bermain bola plastik, zaman
tendangan pisang, hingga tiang gawang yang terbuat dari tumpukan sendal. Saat
itu adalah tahun 2008, tepatnya saat final Liga Champions melawan Chelsea.
Sejarah
terplesetnya Jhon Terry dan kegagalan Anelka mengeksekusi penalti, gagal membawa ‘Si Kuping Besar’ ke London,
seakan mempertajam memori saya. Menjadi jawara Liga Champions, disusul gelar
Juara Dunia Antar Klub, turut mewarnai perayaan yang paling membanggakan
bagi seorang bocah fans MU saat itu.
Kesuksesan yang
membuat saya jatuh cinta ini adalah berkat kejeniusan strategi Sir Alex. Dia
menekankan compactness defensive yang rapi dan kuat. Duet Vidic-Ferdinand tak tergantikan. Ditambah
lagi transisi serangan counter attack melalui pemain yang
penuh determinasi seperti Scholes, Rooney dan mega bintang sepakbola saat ini,
Cristiano Ronaldo. Benar-benar kesetanan!
Setelah menyabet
13 gelar liga domestik dan 2 gelar Champions League, pada tahun 2013 dengan
alasan keluarga, Sir Alex mengundurkan diri dari kursi pelatih MU. Disusul oleh
David Gill, CEO yang berperan penting merekrut pemain sekaliber Rooney, Cristiano
Ronaldo hingga David De Gea.
Beberapa
suksesor digadang-gadang melatih The King of England. Hingga kini, sudah 4
pelatih menukangi MU.
David Moyes,
mantan pelatih Everton menjadi suksesor pertama selepas kepergian Sir Alex.
Ekspektasi fans sangat tinggi kala itu. Sebab Moyes adalah suksesor yang
‘dipilih’ langsung oleh Ferguson. Plus, dia senegara: Skotlandia. Mungkin
karena kedua faktor ini, MU akan terus merajai liga dan Eropa.
Namun jauh
panggang dari api, musim pertama Moyes di MU sangat buruk. Kehilangan David
Gill dan mengganti seluruh staff warisan Ferguson, membuat performa mereka turun drastis. Alhasil,
belum genap setahun, Moyes dipecat. The Red Devil mengakhiri musim 2013/2014
dengan bercokol di posisi 7 klasemen liga.
Mengakhiri musim
yang buruk membuat MU meminang Louis Van Gaal. Pelatih berpaspor Belanda ini
memiliki track record yang amat baik. Menukangi Ajax kala menjadi
kampiun Champions League tahun 1994, 2 kali juara La Liga bersama Barcelona,
dan mempersembahkan gelar Bundesliga+DFB Pokal bersama Bayern Munchen. Namun,
musim 2015/2016 tetap menjadi musim yang mengebiri keperkasaan MU.
Merekrut striker
garang Radamel Falcao dan mantan winger Real Madird, Angel Di Maria, tak
kunjung mengangkat performa tim. Filosofi Van Gaal yang membosankan dan
mengubah gaya khas permainan United membuat dirinya masuk dalam zona merah
kursi kepelatihan Setan Merah.
Semakin
terpuruknya performa MU, Ronald Koeman, yang pernah menjadi asisten LvG di
Barcelona turut memberi kritik. Baginya, metode kepelatihan yang kolot dan
menimbulkan ketakutan, ditengarai menjadi penyebab menurunnya performa
tim.
Akan tetapi, tenti
tidak berimbang jika kita analisis dari perspektif kepelatihan semata.
Perekrutan pemain juga hal penting, sebab pelatih akan merekomendasikan pemain
yang sejalan dengan filosofinya. Kedatangan Di Maria yang memakai nomor 7,
nomor keramat MU justru tampil biasa saja. Usut punya usut, pemain seharga 75
juta Euro kala itu, bukanlah pemain incaran Van Gaal.
“Di Maria adalah
pemain pilihanku saat di AZ Alkmaar, tujuh tahun sebelum ia menjadi pemain
anyar MU.” Sama halnya dengan Fellaini. Pemain yang direkrut Moyes ini
dibanderol dengan harga 27 juta paun, melebihi klausul pelepasan sebesar 23
Paun kala itu.
Siapa yang
bertanggung jawab akan hal ini? Hanya ada satu nama: Ed Woodward, CEO baru
sepeninggal David Gill. Meski di akhir kepelatihan Van Gaal mampu
mempersembahkan piala FA, mengorbitkan Marcus Rashford dari akademi, namun Van
Gaal dipecat pada musim kedua.
Kegagalan Van
Gaal dalam menukangi Setan Merah, membuat manajemen MU mengikat Jose Mourinho
dengan durasi 3 tahun. Siapa yang tak kenal dengan sosok The Special One
atau The Only One ini? Latar belakang kepelatihan yang mentereng
menimbulkan ekspektasi luar biasa: bermain atraktif dan menjadi juara.
Di musim pertama
tahun 2016, Mourinho mempersembahkan gelar Community Shield setelah mengalahkan
Leicester City. Tahun berikutnya ia membawa pulang piala Europa League setelah
mengandaskan Ajax di partai final. Sempat terseok di akhir musim 2016 dengan
menempati peringkat 6 klasemen, MU menutup musim selanjutnya di posisi runner
up klasemen liga.
Namun tetap
saja, prestasi sebagus itu tidak sejalan dengan pola permainan Parkir Bus ala
Mourinho. Selain gaya main yang tak sesuai dengan DNA United, kedatangan Paul
Pogba + Alexis Sanchez membuat kursi pelatih semakin panas.
Nama terkahir
adalah imbas pertukaran Mkhitaryan. Hanya gaji tertinggi dan bermain piano yang
mampu dikenang. Sedangkan Pogba, pemain termahal pada tahun 2017 ini sebenarnya
tak masuk dalam rencana Mou, melainkan keputusan Ed Woodward.
Ed sebelum
menjabat CEO di MU tahun 2013 adalah seorang bankir, dan mulai mengurusi
bagian komersil The Red Devil tahun 2007. Berkatnya, United menjadi klub dengan
pendapatan terbesar ketiga di dunia, di Bawah Real Madrid dan Barcelona.
Spekulasi ini
diperkuat oleh Eladios Parames, sahabat Mourinho yang turut berkomentar tentang
kondisi MU saat itu, bahwa klub ini adalah klub komersil. Kedatangan Pogba
hanya mendongkrak penjualan jersey. Alhasil, Pogba dan Mou kerap kali
bersitegang. Didepak pada akhir tahun 2018 dengan catatan 60% kemenangan dari
144 laga, tak membuat The Special One spesial.
Menarik untuk
membahas (bagi saya) ‘Si Bankir’ Ed Woodward ini. Dari berbagai dosa yang ia
buat, dia adalah CEO yang tak mengerti sepakbola. Mari kita menelisik dapur
Liverpool, rival abadi United yang telah menunjukkan taringnya.
Kehadiran
Michael Edwards menjadi Direktur Olahraga mampu menerapkan rencana jangka
panjang. Ia mengatur kebijakan transfer pemain apabila pelatih
merekomendasikannya, namun jika pelatih berkata tidak, ia takkan merekrutnya.
Siapa yang
mereka dapatkan? Alisson dan Van Dijk. Setelah menjadi juara Champions
League, Alisson kemudian menjadi kiper terbaik di dunia dan Van Dijk adalah
pemain terbaik kedua setelah Messi.
Dari sana, Ed
terpikat menggunakan jasa direktur sepakbola. Dua nama kuat muncul: Rio
Ferdinand dan Darren Fletcher. Namun lelucon Si Bankir ini masih bersemayam
hingga sumsum tulang belakang. Direktur olahraga yang ia buat nantinya hanya
sekadar merekomendasikan pemain ke pelatih dan manajemen. Soal kemungkinan didatangkan, tergantung dari keputusan Ed Woodward.
Entah kapan
terakhir kali saya merasakan patah hati, selain melihat
kesuksesan Liverpool yang melaju pesat di berbagai sisi. Manchester United yang
kini ditukangi Ole Solskjaer, hanya Manchester United yang penuh harap dan
nostalgia sejarah kedigdayaan masa lalu. Singkatnya, tidak ada seorang pun yang
lebih besar daripada MU, selain Ed Woodward!