Secarik Kisah yang Mengharuskan Kesetaraan Dimulai dari Seksualitas
Wednesday, February 12, 2020
Edit
![]() |
Sumber Foto: sukabumiupdate.com |
Kenapa bisa terlalu jujur? Pasalnya,
apa yang saya tuliskan ini adalah rahasia pribadi sejak lima tahun silam. Dan
lima tahun pula saya menyimpan hal ini. Bahkan, orangtua saya sekalipun tidak
tahu-menahu soal ini.
Lantas, alasan apa yang membuat saya
menuliskannya? Alasannya cuma karena satu hal, dan diwakili oleh satu kata; “kegelisahan.”
Ya, karena kegelisahan saya
terhadap konsep kesetaraan, yang saya anggap belum sepenuhnya selesai hari ini.
Ada sebuah pelajaran menarik yang
bisa kita ambil dari buku otobiografinya Om Ben Anderson, yang berjudul Hidup
Di Luar Tempurung.
Dalam buku itu, pesan yang saya
tangkap adalah; “kegelisahan yang dirasakan seseorang, seringkali berawal dari
konstruk dan stereotip yang melekat pada masyarakat di lingkungan tempat
tinggalnya.”
Konstruk dan stereotip tersebut,
akhirnya membuat seseorang hidup berada dalam tempurung. Sesuatu yang berbeda
dari mayoritas pada umumnya, akan langsung dinilai sebagai sebuah anomali.
Yang bisa kita lakukan untuk
mengatasi hal semacam itu, adalah belajar untuk hidup dengan cara berada di
luar tempurung. Karena pada dasarnya, kehidupan seseorang tidak akan bisa
dihakimi oleh penilaian yang sifatnya subjektif dan relatif.
Lengkapnya begini pengalaman yang
saya dapat lima tahun silam..
Waktu itu, saya masih anak
sekolahan. Saya sekolah di salah satu SMA negeri. Sekolah saya ini terbilang
masih baru, karena angkatan saya adalah alumni kelima.
Seperti sekolah baru pada umumnya,
fasilitas yang ada belumlah lengkap, tenaga pengajar juga kadang tidak sesuai
bidangnya, bangunan masih ada yang belum dicat sepenuhnya, dan banyak
kekurangan-kekurangan lain.
Dari sekolah yang penuh kekurangan
ini, saya yang masih anak sekolahan waktu itu, sudah terbiasa dengan yang
namanya “kekurangan”.
Alasan saya sekolah di sekolah ini,
salah satunya juga karena kondisi ekonomi keluarga waktu itu yang serba
“kekurangan.” Saya sempat memutuskan untuk berhenti sekolah, tapi waktu itu Ibu
saya melarang. Ibu bilang; “Pasti ada saja rejeki buat saya sekolah.”
Mendengar nasehat ibu yang seperti
itu, menguatkan kembali niat saya untuk melanjutkan sekolah. Dengan modal
sepatu pemberian teman, saya bisa mengikuti sekolah seperti teman-teman lain
pada umumnya.
Dari kondisi serba kekurangan itulah,
pada akhirnya mempertemukan saya dengan yang namanya konsep kesetaraan...
Untuk membantu memenuhi kebutuhan
keluarga waktu itu, saya memutuskan untuk bekerja setelah pulang sekolah. Saya
bekerja pada seseorang yang kebetulan punya lahan sawit beberapa hektar. Lahan
sawit tersebut masuk dalam bagian koperasi unit desa (KUD). Mantan bos saya
adalah salah satu anggota dari KUD di kecamatan saya.
Poin penting tulisan ini, sebenarnya
berkaitan dengan mantan bos saya ini.
Mantan bos saya itu adalah seorang
laki-laki, yang umurnya lebih tua dari kedua orangtua saya. Tetapi, saya
memangilnya dengan sebutan “Mas.” Selain agar terkesan lebih akrab, alasan lain
saya memanggilnya dengan sebutan “Mas”, karena mengikuti teman-teman saya yang
sudah lebih dulu bekerja untuknya.
Selama bekerja dengannya, bukan uang
yang menjadi prioritas. Namun pengalaman bekerja yang lebih ditekankan. Aku dan
teman-teman yang lain, dituntut untuk menjadikan kejujuran sebagai hal yang
wajib.
Mantan bos saya ini, termasuk orang
yang—akrab kita kenal dengan—kemayu. Sudah menjadi rahasia umum, kalau mantan
bos saya ini juga menyukai laki-laki. Laki-laki yang disukainya biasanya memang
lebih banyak anak sekolahan, atau yang terbilang masih muda.
Ketika awal-awal saya bekerja
dengannya, omongan yang semacam itu tidak pernah saya gubris. Alasannya karena,
pertama, niat saya memang untuk fokus mencari pemasukan tambahan untuk
keluarga. Kedua, saya tipikal orang yang sulit percaya jika tidak
membuktikannya sendiri.
Ketiga, fakta yang terjadi, mantan
bos saya itu sudah menikah dan punya dua anak. Terakhir, saya sejak dulu memang
tidak pernah mempermasalahkan kecenderungan seksual seseorang.
Pada suatu malam, saya berkunjung ke
rumah mantan bos saya itu. Malam itu, kebetulan saya memang tidak bersama
teman-teman yang lain. Saya memang sengaja berkunjung sendirian, karena saya
berniat meminjam uang pada mantan bos saya itu.
Sebelum to the point untuk
meminjam uang, ada sebuah obrolan yang berlangsung antara saya dan mantan bos
saya itu.
Dari obrolan malam itu, mantan bos
saya membenarkan kalau dia memang menyukai laki-laki, khususnya anak muda. Bahkan,
bos saya menyebutkan lebih detail tipikal laki-laki yang disukainya.
Saya yang mendengar hal tersebut,
pada akhirnya juga merasa aneh. Bukan karena saya jijik, takut, atau
semacamnya. Akan tetapi, karena pikiran naif saya waktu itu belum mampu
mencerna fenomena tersebut.
Saya yang masih anak sekolah, belum
tau penyebab kenapa ada orang yang orientasi seksualnya sesama jenis, tapi
juga menikah dengan lawan jenis. Bahkan sampai punya anak dua. Setidaknya
begitu pikiran saya waktu itu.
Setelah itu, hubungan saya dengannya
masih baik-baik saja. Saya masih bekerja untuknya, dan mantan bos saya masih menggaji
saya sesuai hasil kerja yang saya lakukan.
Pada suatu siang, di sela-sela
istirahat kerja, mantan bos saya ke lahan sawit untuk mengecek hasil pekerjaan
saya dan teman-teman yang lain. Seperti biasanya, di waktu istirahat seperti
itu, kami mengobrol apa saja yang bisa diobrolkan.
Karena saya sudah tahu sedikit
banyak soal seluk beluk usaha sawit kepunyaan mantan bos saya ini, saya dengan
iseng melontakan sebuah pertanyaan; “Kenapa Mas gak jadi ketua KUD saja?”,
tanya saya waktu itu
Beliau pun menjawab; “Haduh, yang jadi
ketua KUD itu harus orang yang berpendidikan tinggi yo. Saya kan cuma tamatan
SMA, bukan sarjana. Selain itu, orang kayak saya gak pantas menduduki jabatan
seperti itu, kan saya gak bisa tegas”, ungkapnya.
Waktu itu, yang menjabat sebagai
ketua KUD di kecamatan saya memang seorang sarjana. Selain itu, orang tersebut
adalah DPR tingkat kabupaten.
Pikiran naif dan normatinya saya
pada waktu itu, menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar. Akan
tetapi, ketika mantan bos saya mengatakan “orang semacam dia tidak pantas
menjadi ketua KUD,” yang saya tangkap, nada bicara dan ekspresi wajahnya
berubah seketika.
Arti tanda perubahan nada bicara,
dan ekspresi wajah itu, baru saya sadari sekarang-sekarang ini.
Dari nada bicara dan ekspresi
wajahnya yang berubah, saya menangkap pesan kalau mantan bos saya merasa
inferior. Dugaan kuat saya, penyebabnya karena seksualitas mantan bos saya
tersebut yang sudah menjadi rahasia umum.
Untuk ukuran orang-orang di desa,
tentu hal tersebut jadi semacam aib. Kenapa bisa begitu? Pasalnya, untuk ukuran
di kota-kota besar saja, kita masih belum bisa ramah terhadap orienrasi seksual
atau seksualitas seseorang.
Ini yang menjadi kritik saya
pribadi. Konsep kesetaraan, seringkali belum sampai pada tahap memasukkan
seksualitas menjadi nilai-nilai yang prinsipil. Dengan kata lain, seksualitas
belum menjadi indikator dari apa yang disebut dengan kesetaraan itu.
Tidak terlalu berlebihan
kiranya--berdasarkan pengalaman saya pribadi—masih kita temui orang-orang yang
memperjuangkan kesetaraan sebatas pada jenis kelamin.
“Bahwasannya, kesetaraan antara
perempuan dan laki-laki adalah hal yang mutlak.”
Oke, hal tersebut benar. Akan
tetapi, tidak sepenuhnya benar.
Pasalnya, jika membicarakan soal
kesetaraan, realita yang terjadi hari ini lebih kompleks.
Contohnya begini…
Ada seseorang yang sering mengikuti
agenda yang membicarakan soal kesetaraan. Ketika itu masih menyangkut
kesetaraan yang sifatnya pada jenis kelamin, orang tersebut sangat
menggebu-gebu, dan seakan menjadi orang yang paling adil sejak dalam pikiran.
Namun, orang tersebut akan langsung
berubah sikapnya, jika bertemu—misalkan—laki-laki yang menyukai laki-laki juga.
Dari yang tadinya, sangat bersemangat bicara soal kesetaraan, akhirnya menjadi
orang yang mengambil sikap bodoh amat, karena mengetahui orientasi seksnya
berbeda dari yang ia setujui dan amini.
Kenapa hal tersebut bisa terjadi?
Apakah ada yang salah dengan konsep kesetaraan yang kita pahami secara umumnya?
Atau memang, konsep kesetaraan selama ini belum lengkap, dan ideal? Atau,
seksualitas itu sendiri sebenarnya malah terpisah dengan konsep kesetaraan?
Dengan kondisi masyarakat Indonesia
yang mayoritas orientasi seksnya heteroseksual, kedudukan orang-orang yang
orientasi seksnya di luar itu, menjadi minoritas. Yang secara tidak langsung, akan
selalu menjadikan orang-orang non heteroseksual menjadi warga kelas dua.
Artinya, orang-orang yang orientasi
seksnya non heteroseksual, akan selalu didominasi dan seperti hidup dalam
tempurung. Jika seperti ini kondisinya, pasti akan selalu ada anggapan yang
sebenarnya kurang adil, kalau memakai kacamata kesetaraan.
Menurut saya pribadi, konsep
kesetaraan hari ini sudah harus lebih diperluas ranahnya. Tidak lagi hanya terbatas
pada soal jenis kelamin, namun juga sudah harus mencakup kepada seksualitas.
Mengutip kembali kata-katanya Om Ben
Anderson, jika ingin mematahkan konstruk dan stereotip yang kesannya mengekang,
kita sebagai orang yang peduli soal kesetaraan, haruslah mampu
hidup dengan gaya dan cara di luar tempurung. Agar tidak ada lagi diskriminasi
kepada golongan tertentu.
Tulisan ini, sebenarnya juga
berangkat dari motivasi dan dorongan yang diberikan oleh Om Ben Anderson dalam
bukunya itu. Semoga, tulisan ini pada akhirnya bisa menjadi bukti usaha serius saya,
yang ingin mencoba cara hidup di luar tempurung.