Secarik Kisah yang Kompleks tentang Eksploitasi Pekerja Warkop
Saturday, February 29, 2020
Edit
![]() |
Sumber Foto: aktualitas.id |
Kisah ini
bermula dari obrolan teman-teman saya di salah satu warung kopi. Waktu itu,
saya murni jadi pengamat, dan hanya mendengarkan obrolan yang sedang berlangsung.
Bukan karena tidak tertarik dengan topik obrolannya. Akan tetapi, karena saya
sadar diri posisi saya yang berada di luar dari konteks yang sedang
dibicarakan. Ya, obrolan waktu itu soal eksploitasi yang dialami oleh pekerja
di warung kopi (warkop).
Sebelumnya,
tulisan yang seperti ini pernah dimuat disitus web LPM Arena. Dengan judul
tulisan yang hampir sama, tulisan ini tidak berniat menyamai atau membantah
tulisan tersebut. Akan tetapi, tulisan ini lebih kepada mencoba mewarnai kisah
yang sama. Tentunya dengan cara pandang yang sama sekali berbeda. Karena,
tulisan ini hanya sekedar secuil kisah yang dialami oleh teman saya.
Langsung saja
dan tak perlu berlama-lama, selengkapnya begini kisah yang ingin saya bagi:
Hari itu sudah
menjelang siang. Setelah lelah semalaman bermain kartu, teman saya sebut saja
si A dan B membuka obrolan. Teman-teman saya ini membuka obrolan karena melihat
teman saya si C—yang bekerja di warkop—mengalami kecelakaan bekerja. Waktu itu,
mata teman saya si C terkena panci menanak nasi. Sontak saja, hal itu
meninggalkan bekas di dekat matanya. Lucunya, bekas terkena panci panas itu
membentuk serupa gagang kaca mata. Silahkan bayangkan sendiri bagaimana
bentuknya.
Melihat hal
tersebut, saya dan teman saya si A dan si B hanya tertawa geli. Bukan berarti
ikut senang karena musibah tersebut. Tetapi karena penampilan si C yang
mengalami sedikit perubahan. Saya pun menyebut si C ingin membuat matanya
menjadi mata Rinnegan. Tapi dengan jalan pintas tanpa perlu punya mata Sharingan.
Eh sebelumnya pada tahu kan mata Rinnegan itu apa? Ya, matanya Sasuke yang
sekarang di serial Boruto. Itulah mata Rinegan yang saya maksud.
Perihal matanya
yang begitu, si C sebenarnya tidak ambil pusing. Akan tetapi, teman saya si A
dan si B seakan kurang terima melihat nasib temannya yang begitu. Si A dan si B
pun lantas menanyakan dispensasi yang didapat C ketika mengalami kecelakaan
kerja seperti itu. Si C hanya menjawab matanya sudah diobati dengan obat
seadanya. Dan memang tidak ada tunjangan bagi pekerja sepertinya ketika
mengalami kecelakaan kerja semacam itu.
Si A dan si B
pun lantas memanjang-manjangkan masalah tersebut. Yang ujung-ujungnya, berakhir
kepada pertanyaan soal gaji yang diterima si C ketika bekerja di warung kopi
itu. Si C pun menanggapi kalau gaji yang diterimanya memang jauh di bawah UMR.
Mendengar hal
tersebut, A dan B pun kembali bertanya; “Kenapa C tidak mengajukan kenaikan
upah atau gaji?” Dengan agak terpaksa karena sudah lelah bekerja semalaman, C
pun menjawab kalau hal itu sudah dilakukanya berulang kali. Setiap momentum
gajian, dirinya selalu mengajak kawan-kawan yang lain untuk mengajukan kenaikan
gaji. Tapi hasilnya tetap nihil. Karena dianggap gaji yang diberikan sudah
sesuai dengan standarisasi pekerja paruh waktu.
Tidak hanya sampai
di situ, si C menambahkan kalau dirinya selalu komplain dengan beban kerja
berlebih yang diterimanya. Menurut C, seharusnya memang upah yang ia terima
bisa jauh lebih tinggi. Bukan mengada-ada, karena melihat beban kerja yang
harus ditanggung olehnya. Terlebih jika pengunjung warkop tersebut sedang
ramai-ramainya.
Tapi apalah
daya, si C hanya bisa menuruti sistem yang berlaku. Karena ia bekerja memakai
sistem kontrak. Di mana jika ia memilih keluar sebelum kontraknya habis, ia
harus membayar denda. Denda yang harus dibayar sebesar Rp. 150.000 perbulan. Dengan
kondisi yang semacam itu, bisa disebut kalau si C yang sehabis mengalami
kecelakaan kerja, ibarat orang yang jatuh harus tertimpa tangga pula.
Hal inilah yang
selanjutnya menjadi bahan utama obrolan yang digawangi teman saya Si A dan si B
tadi. Si A dan si B menganggap kalau yang dialami si C, adalah bentuk
ekploitasi oleh kapitalisme. Di mana posisi kapitalis di sini adalah pemilik
warkop sendiri. Dan sistem yang berlaku adalah perangkat kapitalisme. Posisi C,
selanjutnya dikategorikan sebagai buruh yang mengalami penghisapan. Yang disedot
bukan hanya tenaganya saja, tapi juga darah dan tulang-tulangnya.
Si A dan si B
menambahkan, kenapa C tidak mencoba melakukan mogok kerja. Hitung-hitung
sebagai upaya untuk melumpuhkan proses produksi dari warkop tempatnya bekerja. Kembali
C dengan muka keberatannya, menjawab pertanyyan yang lebih terkesan sebagai
anjuran itu. C pun mengatakan, kalau sebenarnya hal itu sudah pernah dilakukan.
Bahkan tidak tanggung-tanggung, setiap menjelang gajian, C mencoba mempengaruhi
para karyawan yang ada. Tapi tetap saja hasilnya nihil.
Si A dan si B
melanjutkan, bahwa kondisi yang terjadi adalah bentuk manipulasi kepada para
pekerja. Dengan kondisi yang demikian, menurut mereka, memang jalan
satu-satunya untuk melakukan pemberontakan dan merubah keadaan adalah dengan
melakukan mogok kerja. Sambil menghitung-hitung dengan hitungan yang menurut
saya buta, si A dan si B membayangkan bahwa hal itu sangat mungkin terjadi. Melihat
tempat si C bekerja yang pekerjanya tidak sampai angka dua puluh.
Saya yang sedari
tadi mengamati dan mendengarkan obrolan tersebut, hanya bisa bergumam dalam
hati. Karena, walaupun saya tidak pernah bekerja di warkop, saya bisa menerka
masalah yang terjadi tidak sesederhana yang dibayangkan teman saya si A dan si
B itu. Bukan berarti pesimis. Tetapi memang kondisi di lapangan tidak
sesederhana yang bisa dibayangkan oleh orang yang tidak mengalaminya.
Dari anjuran-anjuran
tentang mogok kerja itu, saya pun menarik sebuah kesimpulan. Bahwa apa yang
disampaikan oleh teman saya si A dan si B, bukanlah bentuk perlawanan yang
nyata dari ekploitasi yang dialami oleh si C. Akan tetapi, anjuran yang semacam
itu saya anggap hanya upaya perlawanan terhadap pengaturan eksploitasi yang
dialami si C. Bukan terhadap ekpolitasinya itu sendiri.
Pasalnya,
tempat si C bekerja sudah menentukan kontrak bagi para pekerjanya. Kontrak ini
selanjutnya menjadi pedoman suci, yang secara tidak langsung harus ditaati oleh
para pekerjanya. Yang jika pekerjanya nanti sewaktu-waktu mogok kerja, berarti
bisa dianggap kalau mereka menyalahi kontrak di awal sebelum mereka bekerja.
Selain itu,
seberontak apapun si C bersama karyawan yang lain, tetap saja mereka pada
akhirnya tetap membutuhkan pekerjaan tersebut. Terlebih menurut si C, sangat
tidak mungkin para pekerjanya ingin membayarkan denda yang sudah disepakati di
awal. Karena ini bukan semata persoalan perut. Akan tetapi juga persoalan
profesionalitas yang dibawa-bawa dan dipakai oleh pihak warkopnya sendiri.
Pada akhirnya,
kita tidak bisa dengan mudah menyederhanakan ekploitasi yang dialami oleh para
pekerja warkop. Dengan begitu kompleksnya peraturan yang ada, memebuat mereka
terjebak dalam sirkulasi kapitalisme yang selalu bisa menekan para pekerja.
Pertanyaan
yang akan menjadi akhir dari tulisan ini, dan kemungkinan akan menohok dua
teman saya tadi, “Bagaimana bisa eksploitasi tersebut dihapuskan atau dirubah secara prosedural dan non prosedural semacam mogok kerja,
kalau eksploitasi itu sendiri tidak diekspresikan dalam hukum? Atau dengan kata
lain tidak memiliki payung hukumnya sama sekali.”