Politik sebagai Pertengkaran Menurut Jacques Ranciere
![]() |
Sumber Foto: .versobooks.com |
Penulis: Willy Vebriandy
Judul Buku :
Disensus: Demokrasi sebagai Perselisihan Menurut Jacques Ranciere
Penulis :
Sri Indiyastutik
Penerbit :
Buku Kompas
Jumlah Halaman :
xx+236 Halaman
Tahun Terbit :
2019
Jacques Ranciere adalah
nama yang relatif asing untuk publik tanah air. Sebagian besar yang mengenalnya
hanya kalangan akademisi di kampus. Itu pun terbatas hanya pada para peminat
kajian filsafat dan politik.
Ranciere ialah
intelektual asal Aljazair yang besar di Prancis. Menurut Robertus Robert,
bersama Alain Badiou, Francois Jullien, dan Jeac-Luc Nancy, Ranciere dipandang
sebagai salah seorang pemikir Prancis generasi baru yang berhasil menegakan
pendekatan dan pandangan baru mengenai filsafat, ilmu pengetahuan, politik, dan
estetika.
Ranciere dikenal sebagai
murid filsuf Marxis Louis Althusser. Ia turut menyumbang tulisan dalam buku
suntingan Althusser yang hingga kini sangat berpengaruh dalam tradisi Marxis, Lire
Le Capital (Reading Capital) (1965), sebelum akhirnya ia berbalik
menyerang gurunya itu karena sikap diamnya dalam momen revolusi Mei 1968.
Pasca peristiwa tersebut,
Ranciere mengambil jarak dengan Althusser. Sambil mengajar di Universitas Paris
VIII, ia lalu terlibat dalam berbagai macam aktivitas politik di Prancis—baik
dalam gerakan mahasiswa maupun gerakan buruh.
Ranciere menulis banyak
karya di bidang filsafat, politik, pendidikan, dan sosial humaniora lainnya.
Beberapa yang terkenal antara lain: The Ignorant Schoolmaster: Five Lessons
in Intellectual Emancipation (1991), Disagreement: Politics and Philosophy
(1999), Dissensus: on Politics and Aesthetics (2010), dan masih banyak
lagi.
Awalnya, pemikiran
Ranciere hanya dikenal di Prancis. Baru pada tahun 2000an, berbarengan dengan
penerjemahan buku Disagreement: Politics and Philosophy (1999) ke dalam
bahasa Inggris, pemikiran Ranciere mulai dibaca oleh pembaca berbahasa Inggris.
Setelah itu, nama Ranciere menjadi perbincangan luas di kalangan intelektual di
seluruh dunia.
Ranciere adalah pemikir yang
konsisten dengan tesis tentang kesetaraan pada setiap orang dan untuk semua
orang. Baginya kesetaraan adalah pengandaian dasar dalam melihat hubungan antar
manusia. Ranciere percaya bahwa tiap manusia memiliki akal budi yang setara
satu sama lain. (Hlm. 2)
Konsep mengenai
kesetaraan ini pula yang membuat Ranciere menelurkan gagasan politik yang
terbilang radikal dalam perkembangan pemikiran politik kontemporer. Ia
menggugat pemikiran dan praktik politik yang telah mapan di dunia, serta
menyusun konsep politik baru yang berbeda dengan yang telah ada.
Politik umumnya dipahami
semata sebagai semacam bentuk tata kelola pemerintahan, partai politik, DPR, Pemilu,
atau perebutan kekuasaan. Bagi Ranciere hal tersebut bukanlah politik.
Menurutnya, politik terjadi ketika ada gangguan terhadap tatanan sosial dominan
yang dilakukan oleh demos untuk memverifikasi kesetaraan. (Hlm.16-17)
Untuk memahami konsep
politik Ranciere ini, kita perlu kembali pada titik berangkat yang mendasari
pemikirannya tersebut, yaitu kesetaraan.
Bagi Ranciere, pemikiran
dan praktik politik kontemporer menampilkan ketidaksetaraan di dalamnya. Dalam
politik hari ini, selalu ada pihak atau subjek yang tidak terhitung dalam
politik. Mereka yang tidak dihitung adalah bagian dari tatanan sosial, tetapi
dianggap tidak ada. (Hlm. 10) Suara mereka tidak
didengar dan dipandang sebagai pengganggu harmoni yang telah terbentuk dalam
tatanan sosial yang ada. Mereka ini bisa berupa kaum minoritas etnis/agama,
orang miskin, perempuan, buruh, petani, nelayan, atau tahanan politik.
Mereka yang tidak
dihitung tersebut, oleh Ranciere disebut sebagai "yang salah".
Mereka dianggap tidak ada, tidak terhitung, dan tidak terlihat, kalaupun
terlihat hanya akan merusak tatanan sosial yang mapan. Pemilahan antara yang
terhitung dan yang tak terhitung, didasari oleh kelayakan.
Mereka yang terhitung
atau dianggap ada,
ialah mereka yang menempati bagian-bagian dalam tatanan social, di mana masing-masing memiliki peran yang
dipandang berguna. Sedangkan yang tidak dihitung, mereka dinilai tidak memiliki
kualifikasi apapun yang dapat dijadikan ukuran untuk menjadi bagian dari
masyarakat. (Hlm. 11-12)
Ranciere memandang bahwa
"yang salah" memiliki tempat dan kedudukan yang setara dengan
orang-orang lain di dalam tatanan sosial. Namun kenyataannya, "yang
salah" justru tidak dianggap dalam kehidupan.
Contoh kasus untuk
melihat hal ini,
dapat dijumpai pada kasus-kasus diskriminasi etnis/agama, penggusuran, atau
pencerabutan hak-hak politik para tahanan politik (Tapol). Para korban diskriminasi
agama, penggusuran, dan Tapol suara mereka tidak didengar di dalam tatanan yang
mapan. Keberadaan mereka pun dianggap tidak ada. Sekeras apapun mereka bicara
suaranya tidak akan didengar. Mereka ini yang dimaksud sebagai "yang
salah" dalam terminologi pemikiran Ranciere.
Pembelahan antara yang
terhitung dan yang tak terhitung, bagi Ranciere terjadi karena tatanan sosial
bekerja dalam logika arkhe atau pembagian berdasar persepsi indrawi.
Persepsi indrawi adalah hukum implisit yang menentukan bentuk-bentuk pembagian
masyarakat dengan pertama-tama menentukan bentuk-bentuk
persepsi tentang di mana mereka berada. (Hlm.13) Jadi berdasar hukum ini, masyarakat akan
ditentukan keberadaan posisi mereka dalam tatanan sosial. Ada yang menjadi A,
B, C, D, dan seterusnya.
Logika arkhe
merupakan sumbangan pemikiran filsuf Yunani kuno, Platon. Platon yang pertama
membagi tatanan sosial berdasar kedudukan tertentu dalam masyarakat. Ada budak,
pengrajin, seniman, filsuf, politisi, dan lain sebagainya. Bagi Platon,
orang-orang sebaiknya berada di tempatnya dan menjalankan perannya di tempat
tersebut demi harmoni kehidupan kota. (Hlm. 78) Pemilahan ini yang dipakai
dalam tatanan sosial modern dan dikritik oleh Ranciere.
Ranciere mengkritik
segala bentuk tatanan masyarakat yang berdasarkan pada arkhe, misalnya
tampak dalam cara melegitimasikan kekuasaan atas dasar keturunan, kepakaran,
keningratan, dan kekayaan. (Hlm. 13) Menurutnya, tatanan sosial yang demikian
adalah tatanan yang tidak setara karena meminggirkan, menghilangkan, dan
melenyapkan mereka yang tidak termasuk pada bagian yang ditentukan.
Berangkat dari
pembacaannya atas kondisi tatanan sosial yang tidak setara tersebut, Ranciere
merumuskan konsep politik baru yang sangat radikal. Seperti yang telah dikutip
pada bagian awal tulisan, menurut Ranciere politik terjadi ketika ada gangguan
terhadap tatanan sosial dominan yang dilakukan oleh demos untuk
memverifikasi kesetaraan. Demos di sini bukan dalam artian rakyat
seperti pada pengertian umum. Demos adalah nama lain dari "yang
salah", yang melakukan verifikasi kesetaraan di dalam tatanan sosial
dominan. (Hlm. 14)
Politik dalam pemikiran
Ranciere muncul ketika orang-orang yang dipinggirkan, dianggap tidak ada, dan
tidak diperhitungkan ini menggugat tatanan sosial yang mapan. Mereka
mempersoalkan pembagian-pembagian dalam masyarakat dan berusaha merubah tatanan
yang sudah ada tersebut.
Bertolak dari hal
tersebut, bagi Ranciere politik bukanlah semata soal pemilu, DPR, kekuasaan,
pemerintahan, dan berbagai urusan teknis lainnya. Politik adalah tindakan untuk
mengoreksi kesetaraan. Ketika "yang salah" berupaya menyetarakan
dirinya dengan tatanan yang mapan, di situlah politik terjadi. Saat "yang
salah" muncul memverifikasi kesetaraan, ketika itu pula ia akan bertempur
secara terbuka dengan logika arkhe yang menjadi dasar tatanan sosial.
Pertempuran inilah esensi sesungguhnya dari politik dan segala turunannya.
Ranciere menolak konsep
konsensus dalam politik. Baginya, konsensus hanya melanggengkan peminggiran
bagi "yang salah". Ranciere justru menawarkan disensus sebagai bentuk
baru politik kontemporer. Menurutnya, politik selalu berupa pertengkaran (dissensus)
yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak dihitung sebagai bagian dalam
tatanan sosial terhadap logika membagi-bagi berdasarkan kegunaan, tempat,
kepakaran, keningratan, bakat, kekayaan, kepercayaan. Konsep demikian bertolak
belakang dengan gagasan politik mainstream yang lebih menekankan
konsensus atau kesepakatan dalam tatanan sosial.
Untuk konteks Indonesia,
pemikiran Ranciere di atas bisa dibilang tidak umum dalam dinamika pemikiran
dan praktik politik saat ini. Di tengah dominannya pragmatisme dan transaksi
dalam berpolitik, tesis kesetaraan Ranciere mungkin akan dianggap sebagai angin
lalu oleh para politisi maupun akademisi arus utama.
Meski begitu, pandangan
politik Ranciere tetap menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Dengan mengkaji ide
politik Ranciere, politik menjadi lebih luas ruang lingkupnya. Politik tidak
hanya soal tata kelola pemerintahan, tapi juga soal bagaimana menyetarakan
orang-orang yang tak dianggap dalam tatanan sosial mapan. Buku Disensus: Demokrasi sebagai Perselisihan
Menurut Jacques Ranciere karya Sri Indiyastutik, adalah pengantar
komprehensif yang dapat membawa kita menyelami hal tersebut lebih jauh.
![]() |
Alumni UIN Sunan Kalijaga dan Anggota PMII Yogyakarta |