Perempuan, Sebaiknya Membaca Buku Madilog!
![]() |
Sumber Foto: pmiigusdur.com |
Pada suatu hari, saya pernah ditanya
oleh seorang teman perempuan. Dia menanyakan perihal buku Madilog. Teman
saya ini, sebenarnya berniat membaca buku tersebut. Entah karena alasan apa,
dirinya memilih bertanya dulu kepada saya.
Ketika ditanya apakah buku itu
rekomended dibaca olehnnya, saya pun menjawab tidak. Saya pun menyarankan agar
teman saya itu menunda keinginannya. Karena, sependek pengetahuan dan pergaulan
saya, buku Madilog adalah buku yang terbilang berat.
Biasanya, sebelum membaca Madilog,
para pembaca harus membaca terlebih dahulu karya Tan Malaka yang lain. Selain
karena buku Madilog (bisa disebut) puncak pengetahuan Tan Malaka, buku
tersebut (sebenarnya) juga ditujukan kepada orang-orang yang berniat memahami
apa artinya sebuah perjuangan.
Setidaknya, begitulah pikiran naif
saya waktu itu. Hal tersebut juga dikarenakan teman saya tadi. Yang niat
awalnya sekedar ingin membaca buku untuk mengisi waktu luangnya. Keputusan saya
yang menyarankan agar jangan dulu membaca buku Madilog, sejujurnya, hari
ini adalah keputusan yang saya sesali.
Pasalnya, saya sudah menghilangkan
satu potensi dari seorang perempuan, yang nantinya bakal bisa memperjuangkan
kesetaraan. Loh? Kesannya ngawur bukan? Tapi, sebagai penulis, saya akan
bertanggung jawab dengan apa yang saya utarakan. Lengkapnya begini…
Sejujurnya, saya waktu itu juga
belum membaca buku tersebut. Namun, belajar dari pengalaman teman-teman saya
yang pernah membaca buku tersebut, kebanyakan hanya berakhir dengan kebuntuan.
Tentu saya pun tidak ingin kalau waktu luangnya teman saya tadi berakhir dengan
kebuntuan—cukup hubungan asmaranya saja.
Hal itu menjadi hal yang wajar.
Karena. Madilog sendiri adalah buku yang sangat kental mengadopsi serta
mengadaptasikan paham Marxisme. Menjadi hal yang (terbilang) amat sulit, jika
ingin membaca Madilog, namun sama sekali buta tentang Marxisme. Akan tetapi,
bukankah hidup ini memang harus dilengkapi dengan kesulitan-kesulitan?
Buku yang selesai ditulis, kurang
lebih dua tahun sebelum kemerdekaan ini, sebenarnya ditujukan pada pejuang
revolusi kemerdekaan. Tujuannya, agar suatu bangsa—dalam hal ini bangsa
Indonesia waktu itu—bisa keluar dari kungkungan logika gaib. Kelebihan buku
yang ditulis Tan Malaka ini, terletak pada tesisnya yang menolak percaya pada
keabadian kebesaran Jepang.
Kejelian dan kejituan Tan Malaka
yang tertuang dalam Madilog, setara dengan ramalan Syahrir tentang
Jepang. Materialisme-dialektika yang menjadi fondasi buku tersebut, punya andil
besar menganalisis kondisi Indonesia di tengah perang dunia kedua yang sedang
berlangsung. Logika mistika yang begitu gencar dilawan Tan Malaka dalam
bukunya ini, nyatanya adalah sebuah penyakit yang sampai hari ini belum hilang.
Lain dulu, lain pula yang sekarang.
Jika pada waktu itu buku Madilog mewarnai jalannya revolusi, hari ini,
hal tersebut tidak berlaku lagi. Akan tetapi, ada sebuah pelajaran yang bisa
kita ambil dari master piecenya Tan Malaka ini. Kira-kira ada yang tahu? Secara
sederhananya begini…
Madilog—yang terdiri atas 7 bab,
diawali dengan uraian tentang logika mistika yang sudah saya singgung
sebelumnya. Logika mistika, sampai hari ini, masih menjangkiti bangsa
kita. Disadari atau tidak, logika mistika ini selalu menuntut pelampiasan. Yang
mau diakui atau tidak, perempuan lah yang sering kali menjadi korban dari
pelampiasan logika mistika tersebut.
Kondisi dewasa ini, adalah
kemandegan bagi kita sebagai sebuah bangsa. Pasalnya, sudah jauh-jauh hari Tan
Malaka menggemborkan semangat untuk memberantas logika mistika ini.
Kalau saja, Tan Malaka bangkit dari
kuburnya, hari ini, tentu beliau akan sangat kecewa. Lantaran, musuh yang coba
dibasminya, hari ini masih menjangkiti bangsa yang dicintainya. Yang lagi-lagi
perempuan adalah korban dari musuh Tan Malaka tersebut.
Filsafat—cara berpikir yang sudah
lebih maju dari logika mistika—menjadi isi dari bab 2 buku ini. Walaupun secara
teori orang Indonesia sudah banyak memahami filsafat, akan tetapi, dalam
praktiknya justru tetap saja sama dengan logika mistika.
Simpelnya begini: Hari ini,
mayoritas kita masih sering melabeli kodratnya perempuan. Seakan-akan, kodrat
tersebut turun dari langit dan sudah menjadi hal yang paten, tanpa pernah bisa kita
dialogkan. Padahal, yang kita anggap kodrat (perempuan) tadi, sebenarnya tidak
terlepas dari yang namanya konstruk dan stereotip. Dan itu semua adalah bikinan
manusia.
Contohnya ketika perempuan harus
terlihat kalem, agar dianggap sesuai norma sopan santun. Pekerjaan perempuan
hanya sumur, kasur dan dapur. Jika ada perempuan yang ingin berkarir,
setidaknya jangan sampai lupa dengan urusan mengurus serta mendidik anak. Dan
hal-hal lainnya, yang sifatnya tidak jauh-jauh hanya mengeksploitasi perempuan
sedemikian rupa.
Madilog, juga sudah memberikan
contoh, bahwa idealitas akan selalu terbentur dengan yang namanya dialektika
(realitas). Perempuan ideal, bagi kita kebanyakan adalah perempuan yang
mengekor pada lawan jenisnya. Jika ada perempun yang lebih mendominasi lawan
jenisnya, maka perempuan tersebut dibilang tidak berbaktilah, tidak paham
aturanlah, dan masih banyak lagi.
Melihat kondisi tersebut, otoritas
tubuh dan pikiran kebanyakan perempuan (Indonesia), secara tidak langsung masih
terkekang dengan logika-logika yang sifatnya sangat patriarkis. Bahkan, untuk
sekedar menyuarakan aspirasinya, selalu dihantui dengan persoalan etika yang
tidak jelas rimbanya.
Sesuai dengan kerangka pikiran yang
semacam itu, Madilog adalah jawaban untuk membalikkan kecacatan logika kita
yang sudah berlangsung sekian lama. Madilog, bisa kita anggap sebagai bantuan
untuk memahami sebuah dunia yang di dalamnya kita hidup. Dunia di mana
seharusnya kesetaraan menjadi prinsip yang terbangun antara laki-laki dan
perempuan.
Manfaat Madilog, setidaknya
akan terasa jika lebih banyak lagi perempuan yang membaca buku tersebut. Akan
tetapi, bukan berarti laki-laki juga tidak harus membacanya. Kenapa secara
pribadi saya lebih menganjurkan kepada perempuan. Karena, perempuan lah yang lebih
sering menjadi korban dari logika mistika yang menjangkiti bangsa kita.
Dengan semakin banyaknya perempuan
membaca Madilog, kemungkinan upaya-upaya untuk memecah mitos
inferioritas perempuan, akan menjadi semakin mudah.
Sepanjang bab 7, Tan Malaka memperlihatkan
bagaimana Madilog lebih hebat dalam memecahkan masalah-masalah pengetahuan
manusia. Yang kalau kita jeli, tentu kita bisa mengambil inti sari dan
semangatnya.
Secara tidak langsung, di bab
penutup Madilog ini, Tan Malaka menunjukkan semangat perjuangan kesetaraan
sebagai suatu bangsa. Dalam konteks relasi antara laki-laki dan perempuan, hal
tersebut yang juga seharusnya sudah berlaku.
Di akhir bab, Tan Malaka memberikan
tinjauan penting atas teori relativitas Einsten. Merunut penjelasan di akhir
bab tersebut, posisi perempuan kita setidaknya juga bisa menjadi relatif.
Dengan kata lain, tidak selamanya
perempuan akan terus mengekor. Dan ada kalanya perempuan lah menjadi garda
depan dari sebuah perjuangan. Contohnya bisa saja, kalau suatu hari nanti,
perempuan lah yang akan mendominasi dan (lebih banyak) menjadi orang penting di
negara ini.
Semangat dalam memperjuangkan
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, setidaknya tidak perlu berakhir sama
dengan nasib buku Madilog. Jika buku Madilog dianggap buku yang sulit
untuk dipahami hari ini, dan terkesan menjadi sebuah utopia, maka nasib
perjuangan kesetaraan kita tidak mesti harus sama dengan itu.
Setidaknya, kita bisa mengambil
semangat yang tertuang dalam madilog, dan menyesuaikan dengan kondisi kita hari
ini. Dan satu hal terakhir, mari segeralah baca buku Madilog!