Muslimah yang Selalu Diperdebatkan*
Tuesday, February 4, 2020
Edit
![]() |
Sumber Foto: mubaadalahnews.com |
Menjadi seorang perempuan bukan perkara mudah. Ia selalu
ditafsirkan, dikontrol bak wayang yang seolah tak punya kuasa atas dirinya
sendiri. Ia selalu dikendalikan oleh lingkungan, masyarakat, dan bahkan oleh
netizen untuk laku sedemikian rupa, yang dianggap bukan bagian dari
perempuan. Bahkan, hal miris tersebut sering kali dilakukan
oleh sesama perempuan.
Perempuan sering kali tidak mendapatkan tempat, untuk bicara berdasarkan pendapat dan sesuai pengalamanya sendiri
sebagai seorang perempuan. Oleh karena itu, pendidikan gender di masyarakat
kita tidak cukup hanya untuk perempuan, melainkan juga melibatkan laki-laki,
dalam proses kesadaran untuk mencapai hak yang setara.
Beberapa hari lalu, Ibu Sinta Nuriyah, istri alm. Gus Dur
menyatakan, bahwa jilbab bukan kewajiban seorang perempuan muslim. Menurutnya,
tafsir yang menyatakan soal hijab atau jilbab, sering kali
disalahartikan dan bahkan disalahgunakan untuk mendiskriminasikan perempuan.
Perempuan sering kali dianggap tidak berharga hanya karena persoalan kain, yang
sebenarnya di kalangan ulama muslim adalah sebuah khilafiyah, atau banyak pendapat
yang berbeda.
Di Indonesia, hijab seringkali disamaartikan dengan jilbab. Hal ini yang juga dibahas oleh Ibu Sinta dalam talkshow-nya
bersama Deddy Corbuzier. Baginya, dua kata tersebut memiliki dua arti yang
berbeda. Hijab yang berasal dari bahasa arab yang berarti “penghalang”,
“pembatas”, atau “penyekat”. Dan yang bisa mewakilkan arti kata tersebut tentu
bukan selembar kain, melainkan benda-benda yang keras: kayu atau dinding. Oleh
karena itu, tidak tepat bila hijab digunakan sebagai arti dari penutup tubuh.
Sedangkan jilbab adalah berasal dari kata “jalab” yang berarti
“sesuatu yang menutupi sesuatu, atas sesuatu yang lain. Dan dalam
kasus ini adalah kain yang menutup sebagian kepala. Oleh karena itu, jilbab
merupakan sebutan untuk penutup kepala muslimah dengan segala variannya.
sesuai kebudayaan setempat.
Keributan—alih-alih perdebatan—sudah berlangsung lama. M. Quraisy
Shihab yang menulis seraca rinci pendapat para ulama terkait jilbab dalam
bukunya yang berjudul Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa
Lalu dan Cendikiawan Kontemporer, tidak mampu untuk meredam keributan
tersebut. Walaupun begitu, buku tersebut merupakan sumber penting bagi
perempuan atau laki-laki untuk mengetahui persoalan jilbab dari aspek sebab
musabab turunya ayat maupun hadist.
Buku tersebut mengemukan pendapat hampir seluruh pendapat ulama
tentang jilbab dan aurat perempuan. Mulai yang konservatif yang mengharuskan
perempuan untuk menutup seluruh badannya kecuali mata dan telapak tangan,
hingga ulama yang memperbolehkan perempuan menutup auratnya sesuai konteks
kepantasan suatu wilayah. Mulai yang ketat hingga yang cukup longgar. Pemaparan
yang cukup panjang tersebut, menurut Quraisy Shihab, agar membuat umat Islam, khususnya,
memiliki pandangan beragam dan tidak sempit dalam menjalankan anjuran agamanya.
Selain itu, KH. Husein Muhammad dalam Islam, Agama Ramah
Perempuan memberikan penjelasan singkat terkait Jilbab. Dalam sejarah Islam,
jilbab merupakan alat pembeda antara budak perempuan dan perempuan merdeka.
Karena sistem perbudakan tak ada lagi, logika kausalitas tersebut dengan
sendirinya runtuh, dan menggugurkan kewajiban perempuan merdeka untuk mengenakan
jilbab. Walaupun begitu, bagi KH. Husein, tetap menggunakan jilbab bukan
sesuatu yang terlarang.
Bila mengikuti pandangan yang moderat, penggunaan jilbab bisa
mengikuti hukum kepantasan budaya di mana ia berada. Hal ini sejalan dengan
kaidah fikih yang mengatakan bahwa “Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai
hukum”. Penggunaan jilbab bisa tergantung dengan lokalitas dan kepantasan di
masing-masing tempat. Selain itu, saat ini tak ada perbudakan yang menjadi
alasan utama jilbab diterapkan seperti di masa awal Islam.
Atas nama agama, pandangan patriarkis seringkali menjadi rujukan
utama untuk menghakimi persoalan jilbab. Dan perempuan sebagai seseorang yang
memakai penutup kepala tersebut. seolah diletakkan tak berdaya tanpa
harus bisa memilih. Berjilbab atau tidak, tidak akan mengurangi harga diri
seorang perempuan, selama hal itu adalah pilihan merdeka perempuan.
Quraisy Shihab di dalam buku yang sama memberikan anjuran yang
cukup menenangkan. Muslimah berjilbab adalah bentuk kehati-hatian dirinya
terhadap ajaran agama. Namun, hal itu bukan berarti yang paling benar mewakili
agamanya. Dan bagi yang tidak memakai jilbab, bukan berarti bentuk kesalahan yang
harus disudutkan.
Oleh karena itu, perempuan bebas memilih apa yang harus dilakukan
atas tubuhnya sendiri. Selama ia tidak merugikan siapa pun dan berdasarkan
tafsir mana yang ia percayai. Itu.
*Meminjam Judul buku Kalis Mardiasih
Muslimah yang Diperdebatkan
![]() |
Suhairi Ahmad, pegiat di forum Majelis
Istiqomah Yogyakarta dan Komunitas Literasi MJS Project Masjid Jendral
Sudirman.
|