Mencintai Kambing Bukanlah Hal yang Mudah
Tuesday, February 25, 2020
Edit
![]() |
Sumber Foto: sejutabuku.com |
Kenapa manusia
harus mencintai kambing? Atau minimal belajar mencintainya? Apa keistimewaan
dari hewan yang berjenggot satu ini? Selain baunya yang amis, dan tahinya yang
seperti biji pepaya, hewan ini termasuk tipikal hewan yang sembarang. Lantas,
kok yo repot-repot kita dianjurkan mencintai kambing oleh Mahfud Ikhwan.
Buku karya
Mahfud Ikhwan ini, adalah angkasa imajinasi pertamanya dalam bentuk kumpulan
cerpen (kumcer). Bagi saya pribadi, buku kumcer yang semacam ini, memang sulit
jika dibandingkan dengan satu buku utuh lain yang pernah ditulis olehnya. Buku
ini, memang tidak sedahsyat buku Dawuk. Namun, buku ini juga tidak kalah
baik dalam mewakili ciri khas seorang Mahfud Ikhwan.
Buku yang
diterbitkan kembali oleh penerbit Pojok Cerpen ini, punya nilai tawar yang
tentu tidak bisa kita remehkan. Entah mengapa, pembuka buku ini diawali oleh
cerpen yang berjudul Moh. Anas Abdullah dan Mesin Ketiknya. Mahfud,
dalam cerpen ini, saya kira terlalu jujur. Ia benar-benar berani, untuk membuka
kendala seorang penulis (seperti dirinya) ketika menyelesaikan sebuah tulisan
Cerpen pembuka
ini sebenarnya adalah gambaran nyata tentang kondisi kebanyakan yang dialami
oleh penulis. Dari gangguan kecil sampe gangguan yang paling besar, tentu
setiap penulis pernah mengalaminya. Hal tersebutlah yang sebenarnya ingin
ditegaskan Mahfud dalam cerpen ini. Cerpen yang selesai ditulis 20 tahun lalu
ini—di mana waktu itu PC dan laptop menjadi barang yang mewah—membawa kita
bernostalgia dengan kondisi para penulis di zaman itu.
Cerpen
selanjutnya adalah kelanjutan puzzle dari sebuah kumpulan kisah, yang coba
Mahfud bagi untuk para pembaca karyanya. Cerpen yang berjudul Jeritan Tengah
Malam ini, ibarat racun yang daya sebarnya begitu cepat. Para pembaca, bisa
dipastikan akan diaduk-aduk perasaannya oleh cerpen yang satu ini. Cerpen yang
menceritakan kisah perburuan manusia terhadap monyet ini, seakan menampar muka
orang yang mudah sekali menyimpulkan sesuatu.
Bagaimana
tidak, diceritakan dalam cerpen ini, monyet menjadi binatang yang bersalah atas
kerusakan ladang dari para petani. Sosok aku dalam cerpen ini, membawa para pembaca
mengimajinasikan berada pada saat kejadian tersebut berlangsung. Tidak hanya
itu, rasa penyesalan yang seharusnya selesai di tokoh cerita, saya rasa ikut
menjangkiti pembaca cerpen ini.
Mulai di titik
ini, saya merasa kesal dengan sosok Mahfud. Dengan begitu pandainya ia membuat
para pembaca berpikir sedemikian rupa. Tidak lupa para pembaca dibuatnya
menafsirkan dengan sebebas mungkin. Di akhir cerita, kita masih harus
menanggung nelangsa yang membuat kita mengangkasa berupa-rupa.
Cerpen ketiga
yang berjudul Melati, membawa kita untuk menafsirkan ulang rasa sayang
kepada binatang. Binatang yang dimaksud adalah kucing. Binatang yang menjadi
salah satu favorit dari para pecinta binatang ini, disadur Mahfud menjadi sosok
yang begitu hidup.
Bukan saja kucing yang direkayasa Mahfud, sehingga membutakan
manusia untuk mencintainya. Sosok kucing dalam cerpen ini, pada akhirnya menjadi tidak tergantikan.
Kematian sang kucing, lantas membuat Pak Wi—tokoh utama cerita—merasa kehilangan
separuh hidupnya. Upaya yang dilakukan para tetangga untuk menghiburnya,
berakhir dengan sia-sia belaka.
Cerpen keempat
adalah kebalikan cerpen yang sebelumnya. Digambarkan, tokoh Mufsidin begitu
ganas mengkonsumsi kucing. Hal itu dilakukannya agar ia bisa sembuh dari
penyakit gilanya. Setelah sembuh, Mufsidin pun berganti nama menjadi Mursyidin.
Pergantian nama ini pun menghasilkan banyak perbalahan. Hingga akhirnya
menghasilkan spekulasi tentang kematian Mufsidin.
Kematian Mufsidin
dianggap banyak orang sebagai sebuah karma. Karma karena pernah memakan kucing.
Yang menghantarkan ia mati dengan cara diterkam Harimau, di perbatasan antara
Malaysia dan Indonesia. Kematian Mufsidin ditutup-tutupi oleh teman
seperantauannya, agar anaknya tidak mengetahui hal tersebut. Dan selanjutnya terjadilah
sebuah kebohongan yang direncanakan.
Jin-jin Itu Tak
Lagi Sekolah, adalah cerpen
yang menggelitik sekaligus cerpen yang membuat kita menerka-nerka. Kita dibuat
berpikir keras untuk memahami pola pikir bangsa jin. Di posisi ini, saya kira
Mahfud adalah konseptor yang handal. Unsur spiritualitas seorang Kiai dipadukan
Mahfud dengan hal yang tak kasat mata. Tentu kita akan mengamini hal tersebut,
akan tetapi, hal yang menariknya Mahfud mampu mengacak-acak kepakeman relasi
dua hal tersebut.
Digambarkan kalau
ada saling lobi antara Pak Kiai dan bangsa Jin. Saling lobi ini tidak mirip
seperti yang ada di film-film. Namun terkesan lebih santai, dan ibarat kisahnya
dua karib yang bertemu kembali karena suatu keperluan.
Selanjutnya cerpen
Belajar Mencintai Kambing, yang menjadi judul buku ini sendiri. Hal yang
paling saya ingat adalah, bahwa mencintai hewan (kambing) itu tidak sesederhana
biasanya. Jika dicermati betul-betul, cerpen ini mengajarkan tentang
kedewasaan dan arti sebuah pengorbanan. Keinginan yang kita punya, pada
akhirnya bisa kalah dengan rasa cinta karena telah banyak pengorbanan yang
telah ditorehkan.
Cerpen-cerpen
sisanya, adalah semesta imajinasi Mahfud yang tidak kalah bagus dengan
cerpen-cerpen sebelumnya. Buku ini ibarat mata rantai yang berjalin kelindan. Akan
sulit jika kita mencari awal dan ujungnya. Yang jelas, Mahfud ingin membuat
pembacanya tidak hanya sekedar penasran. Akan tetapi, para pembaca yang budiman
diberikan kebebasan yang seluas-luasnya dalam memaknai dan menafsirkan semua
cerpen yang ada.
Pada akhirnya,
semesta imajiasi Mahfud, ibarat kambing itu sendiri. Dianggap jelek dan hina
jika tidak dikenal lebih dalam, dan akan menjadi kesayangan jika pernah
menghabiskan waktu bersama. Ibarat penggembala, Mahfud menggiring kambing-kambingnya
agar tidak tersesat, sekaligus bisa kenyang ketika mencari makanan di luar.