Kesaksianku (1)
Monday, February 3, 2020
Edit
Bagi mereka gubuk dengan empat bilik bambu ini tak lebih
sebuah penjara untukku. Mereka—orang-orang kampung di sini—berpikir kalau
dengan memasung kakiku, dan merantai kedua tanganku seperti ini, akan mampu
menghentikanku. Mereka pikir aku gila—tuduhan gila yang ditunjukan semua
orang-orang kampung, membuatku mengira-ngira, menakar, apa
aku betul gila?—padahal tidak sepenuhnya.
***
Saat aku empat belas tahun Ibuku (didukung Bapak)
mengirimku ke sebuah pondok pesantren di Karawang. Tujuannya tentu saja agar
aku paham agama (Islam) dan berbagai disiplin ilmu di dalamnya. Selain belajar
agama, maksud memasukanku ke pondok pesantren, tak lain merupakan sebuah
tradisi keluarga ajengan, supaya kelak jika si ajengan meninggal
anaknya bisa menggantikan perannya.
Niskala, kakaku, dulu juga begitu. Ia dikirim
oleh bapak untuk mondok di Cianjur, dan menghabiskan waktu selama sepuluh tahun
di sana. Kemudian dua tahun di Purwakarta. Bapak berharap besar terhadap
kakaku; bila kelak ia meninggal, kakaklah yang akan menggantikannya menjadi ajengan,
yang secara otomatis mengajar mengaji santri-santri di pondok milik Bapak,
mengisi ceramah untuk masyarakat setiap kamis sore di majelis, menshalati jika
ada warga yang meninggal termasuk memimpin tahlil di rumah si keluarga
tersebut.
Namun, pada suatu sore yang kelam, Kak
Niskala meninggal tanpa sebab yang bisa dijelaskan. tubuhnya ditemukan sudah
tak bernyawa oleh seorang santri kalong, di bawah pohon rambutan, tak jauh dari
pondok asrama putra.
Santri itu mengaku, ia menemukan mayat
Kak Niskala secara tidak sengaja. Sore, setelah adzan ashar berkumandang,
santri-santri diwajibkan shalat ashar berjamaah di Masjid utama pondok, diimami
langsung oleh bapak. Kemudian dilanjut dengan sorogan.
Ketika itu si santri kalong tengah
malas-malasnya menyetor hapalan kitab kuning. Akhirnya ia putuskan keluar dari
area pondok untuk mencari tempat sembunyi, agar jauh dari jangkauan pengurus
pondok. Tempat bersembunyi terbaik biasanya di dalam lemari, atap asrama pondok.
Akan tetapi si santri sadar, kalau bersembunyi di dua tempat itu sama saja
dengan bohong. Sebab, pengurus-pengurus pondok sudah tahu di mana biasanya
santri bersembunyi.
Si santri terpikir pohon rambutan di
belakang asrama santri putra, ia akan naik pohon rambutan itu dan bersembunyi
di balik dedaunnya yang rimbun. Tiba di bawah pohon, si santri langsung
memanjat pohon. Nahas, belum sampai puncak pohon rambutan, batang pohon yang ia
pijaki patah, si santri jatuh dengan teriakan yang cukup keras.
Jatuh menghantam tanah, ia tidak
berdarah atau pun meringkik kesakitan. Tidak ada luka sedikitpun di badannya,
kecuali sarungnya yang robek karena terkait batang pohon sebelum terjatuh. Ia
heran dengan sesuatu yang menahan antara dirinya dengan tanah, saat menoleh ke
tanah tempatnya jatuh ia kaget bukan main. Seonggok mayat yang ia kenali, masih
dengan sarung dan kemeja yang melekat di mayat itu.
Si santri berlari menuju masjid pondok,
memecah kekhusyuan santri-santri yang tengah sorogan, “Kang Niskala
meninggal! Pohon, di bawah pohon rambutan, mayatnya di sana.”
Bapak langsung berlari menuju tempat yang dimaksud,
diikuti santri-santri.
“Innalillahi..Gusti Pangeran! Apa yang terjadi
dengan Niskala, anakku?” Tangis bapak pecah, menangis sejadi-jadinya dengan tangan
memeluk mayat Kak Niskala
***
Mayat Kak Niskala segera dibawa ke rumah; dimandikan,
dikafani, dan dishalatkan di Masjid pesantren. Jenazahya dikuburkan di pemakaman
keluarga, tak jauh dari komplek pesantren.
Meski dirundung pilu, Ibu sebisa mungkin
menerima kenyataan; Kak Niskala meninggal dan sebabnya tak perlu dicari. Karena
takdir adalah jawaban dari pertanyaan sebab kematiannya. Beda hal dengan bapak;
kematian Kak Niskala memang takdir, tapi cara matinya adalah pilihan, dan bapak
tak terima cara Kak Niskala mati. Menurut bapak, Kak Niskala anak yang baik,
pintar, dan tentu saja penurut. Tidak layak mati dengan cara menghinakan.
Sejak kematian Kak Niskala, perlahan
bapak berubah; lebih sering menyendiri, bapak hanya keluar rumah untuk mengajar
ngaji santri-santri. Urusan pengajian rutin di majelis, atau bila ada undangan
permitaan memimpin tahlil di rumah warga kampung yang meninggal, Bapak
mewakilkannya pada Kang Eman—santri paling tua di pondok.
***
Berselang enam tahun, masa nyantriku di
Karawang selesai. Itu juga bersamaan dengan selesainya jenjang pendidikan
formalku: Madrasah Tsanawiyah; tiga tahun, Madrasah Aliyah; tiga tahun. Aku
sempat minta pada bapak agar diijinkan lanjut mondok di Purwakarta; di pondok
Kak Niskala dulu. Bapak tak mengijinkan.
Sementara Ibu membolehkan: “kewajiban
mencari ilmu itu, sampai kita masuk liang lahat,” ucapnya kala itu. Namun, kendali tetap ada ditangan bapak. Perempuan, meskipun seperti Ibu,
yang juga punya pengaruh di pondok pesantren kami, di dengarkan, ditunggu-tunggu,
dan diperhitungkan; suara dan keputusannya. Tetap saja, bapak lebih punya
kebebasan dan kuasa, di pondok maupun dalam keluarga kami.
Ketika bapak tak mengijinkanku, aku
sungguh jengkel. Tapi, pada akhirnya aku perlahan mengerti, Bapak melarangku
bukan semata-mata karena pondok di Purwakarta tidak cocok ataupun adanya alasan
lain. Setidaknya, ia hanya ingin dekat denganku sebab setelah Kak Niskala meninggal Aku lah satu-satunya anak yang Bapak miliki.
Tapi, sebetulnya satu tahun sebelum Aku lulus dari pesantren di Karawang. Aku sudah sering ke Purwakarta tanpa sepengetahuan Bapak. Nirmala, santri putri dari Purwakarta sering mengajakku ke sana. Bahkan ketika libur semester, kami pernah menghabiskan waktu sebulan lamanya di Purwakarta.
Tapi, sebetulnya satu tahun sebelum Aku lulus dari pesantren di Karawang. Aku sudah sering ke Purwakarta tanpa sepengetahuan Bapak. Nirmala, santri putri dari Purwakarta sering mengajakku ke sana. Bahkan ketika libur semester, kami pernah menghabiskan waktu sebulan lamanya di Purwakarta.
***
Sejak saat itu aku tidak kemana-mana lagi. Aku tinggal
di rumah, lebih banyak waktuku ku habiskan untuk mengajar santri, sesekali
mengisi ceramah di majelis untuk masyarakat kampung.
Semakin hari santri di pondok kami,
makin bertambah. Banyak para orang tua yang dulunya sempat mondok di pondok
kami, mempercayakan anak-anaknya nyantri di pondok kami. Mereka datang dari
berbagai kota, seperti Karawang, Subang, Cianjur, Garut, dan Tasikmalaya. Tentu
ini membuat bapak dan para pengurus pondok kerepotan, tapi aku juga bisa
melihat semacam cahaya kebahagiaan dari wajah Bapak. Semangat hidupnya kembali
lagi, setelah dibuat loyo menjalani hidup selepas kematian Kak Niskala.
***
Karena santri-santri yang makin banyak, sekali waktu
Bapak bersama Kang Eman mendatangi rumah Uwa Jajang, kakak kandung Bapakku.
Bapak meminta Uwa Jajang untuk ikut mengajar santri-santri di pondok. Ketika
itu Uwa Jajang sempat menolak, ia beralasan sejak Bapak dipilih oleh kakek
sebagai penerusnya, memegang kendali penuh pondok pesantren. Uwa Jajang sudah
memilih untuk tidak ikut campur soal pondok pesantren.
Bapak pernah menceritakan padaku soal
Uwa Jajang, yang ketika muda dulu seorang yang haus ilmu. Pondok pesantren yang
pernah ia timba sumur ilmunya nyaris tak terhitung, Uwa Jajang punya kecerdasan
memahami suatu disiplin ilmu dalam waktu yang tak begitu lama. Jadi hanya dalam
waktu tiga atau empat tahun di satu pesantren, ia akan disuruh pindah oleh kyai
di pondoknya untuk belajar ke pondok pesantren lainnya. Hampir setiap pesantren-pesantren
besar di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan terakhir di Banten pernah Uwa
Jajang masuki.
Bahkan bapak bercerita ketika suatu
hari, Kakek pernah memanggil bapak untuk pulang dari pondok pesantrennya. Kakek
menjelaskan pada bapak; jika kakek kelak meninggal, Uwa Jajang lah yang akan
Kakek pilih sebagai pengganti menggantikan Kakek memegang pesantren. Bapak tak
keberatan. Setelah itu bapak kembali ke pondoknya di Cirebon.
Namun, keadaan berubah. Kakek justru
menunjuk bapak menjadi penggantinnya. Sebab, Uwa Jajang sepulang dari masa
mondoknya di Banten, membawa seorang perempuan, yang ia katakan telah ia
nikahi. Sejak saat itu kakek mempercayakan pesantren pada Bapak.
***
“Apa Uwa Jajang mau mengajar di pondok, Pak?” Tanyaku
pada bapak sepulang dari rumah Uwa Jajang.
“Ya, tentu saja, ia mau. Asalkan, Kang Jajang selalu
disertakan mengajar denganmu, Nik. Begitu pintanya pada bapak.” Terang bapak,
kala itu.
***
Aku tak mungkin bisa menolak permintaan bapak. Di sisi
lain, aku tak bisa membayangkan bila Uwa Jajang mengajar disandingkan denganku.
Tentu bapak seharusnya tahu dan mengerti, kalau perbedaan kami begitu jauh, aku dengan pengalaman nyantriku yang hanya
enam tahun, dan Uwa Jajang yang bertahun-tahun. Tak ubahnya tikus dalam
pengawasan harimau. “Ya, tentu saja, ia mau. Asalkan, Kang Jajang selalu
disertakan mengajar denganmu, Nik. Begitu pintanya pada bapak.” Kata-kata
itu terus terngiang di telingaku.
***
Malam setelah mengajar aku tak bisa tidur. Akhirnya,
aku beranjak dari kamar jalan ke kamar mandi, ku ambil wudhu. Dan setelahnya
kembali ke kamar.
Menjelang shubuh aku terbangun dari
tidurku yang singkat. Sebuah mimpi mengusik tidurku: Kak Niskala hadir di mimpi
itu, dengan wajah penuh lebam persis seperti ketika mayatnya ditemukan di bawah
pohon rambutan. Ketika terbangun, aku berniat langsung menemui Bapak dan
mengatakan isi mimpiku. Tapi, sejak turun dari ranjang dan berdiri melihat kaca
di dinding kamarku, niat itu ku urungkan.
***
Uwa Jajang benar-benar mengajar denganku. Ia
berpakaian rapi dan wangi, peci hitam kemeja putih dan sarung berwarna putih
pula. Saat berjalan memasuki gerbang pesantren ia tersenyum, dan santri-santri
yang lewat menyalaminya.Pada santri-santri, melalui satu pengajian, Bapak mengumumkan
tentang Uwa Jajang yang akan mengajar di pesantren. Jadi tak heran, santri-santri
yang melihat Uwa Jajang masuk komplek pesantren, langsung menyalami Uwa Jajang.
Ketika itu ia di Masjid bersamaku
mengajar santri-santri, sebuah kitab fikih dasar bagi santri-santri-santri
baru. Setiap pengajar mengajar santri sebanyak tujuh orang, dengan duduk
melingkar. Aku bisa melihat dan mendengar bagaimana Uwa Jajang mengajar.
Mengesankan memang, bab-bab yang sulit dijelaskan dan dipahami dalam kitab,
mampu ia sampaikan dengan enteng dan santri-santri di lingkarannya nampak
mengangguk-angguk paham.
Aku jadi makin merasa kecil; tidak tahu
apa-apa. Sementara Uwa Jajang begitu hebat dan menguasai semua disiplin ilmu.
Bahkan harus ku akui cara ia menjelaskan lebih enak mudah diterima, dibanding
Bapak sekalipun—yang ku kira terkesan kaku dalam mengajar santri-santri selama
ini.
***
Dalam hitungan bulan, Uwa Jajang tidak lagi mengajar
denganku, ia mulai menggantikan Bapak. “Kecuali tinggal tampuk kepemimpinan
pesantren yang belum ia rebut,” Ucap ibu padaku dengan nanar dimatanya, sekali
waktu.
Sementara, Aku tak juga beranjak; masih
mengajar santri-santri di sore dan malam hari. Itu pun hanya untuk
santri-santri yangbelajar kitab-kitab dasar.
Bapak mungkin bisa bernafas lega, sebab jika esok atau
lusa meninggal, ia sudah menyaksikan dengan matanya sendiri. Kalau pesantren
diurus oleh keluarganya sendiri. Ia tak perlu kuatir lagi.
Tapi tidak dengan Ibu. Setiap malam Ibu menangis setelah berdiri menatap cermin. Kemudian di pagi hari, Ibu akan beraktivitas sebagaimana biasanya; menyusuri pondok asrama putri, menemui pengurus pondok putri untuk mengecek keadaan mereka. Jika ada santri putri yang sakit, Ibu akan membawanya ke puskesmas pesantren, atau jika sakitnya parah, Ibu membawa si santri putri ke rumah sakit di kota—yang jaraknya lumayan jauh dari pesantren.
***
Hari jum’at setelah mengimami sembahyang jum’at di
Masjid pesantren, Bapak Ambruk dari duduknya. Uwa Jajang –yang duduk di shaf
depan, tepat di belakang bapak—memangku bapak ke rumah. Bapak meninggal, kalah
melawan usianya yang ke enam puluh tiga.
Saat itu Aku
lihat Ibu menunjuk Uwa Jajang dan berkata “Kau bunuh anakku, kini suamiku!”
Ajengan (Bahasa Sunda: Kyai/Ahli Agama Islam).
Sorogan= menyetorkan hapalan kitab kuning.
Jalan Taman Siswa 02, Januari 2020