Istilah “Gantung Buku” dan Literasi Kita
Saturday, February 29, 2020
Edit
Pada satu
waktu, saya menghadiri acara launching web yang diselenggarakan di dekat tempat
saya kuliah. Web yang dilaunching hari itu, masih terbilang baru dan masih
seumur jagung. Tempat launchingnya pun terbilang kecil dan amat sederhana.
Tentu saja bagi ukuran orang-orang yang hadir di hari itu.
Menariknya,
launching web pada hari itu juga diisi dengan semacam diskusi. Yang tentu saja
ada pemateri di situ. Pematerinya pun tidak tanggung-tanggung, yaitu redaktur
salah satu web Islam papan atas di Indonesia. Dan satunya lagi penulis beken,
yang sedang beranjak menjadi sastrawan nasional.
Di penghujung
diskusi, salah satu peserta ada yang bertanya dengan durasi waktu yang lumayan
lama. Entah ingin menunjukkan kapasitasnya, atau karena moderatornya tidak enak
untuk menyela peserta tersebut, saya juga kurang tahu. Yang saya ingat, peserta
tersebut banyak sekali menyampaikan mukadimmah, dan membuat forum menjadi
sedikit membosankan.
Pertanyaan yang
diajukan sebenarnya tidak tunggal, dan tertuju kepada dua pemateri yang ada.
Uniknya, ada satu pertanyaan dari penanya tadi yang sebenarnya membuat saya
tercengang. Penanya tersebut bertanya lebih tertuju kepada forum, perihal buku
yang digantung di lokasi acara tersebut berlangsung. Penanya tadi menambahkan,
apakah kita tidak resah dengan keadaan buku yang digantung seperti itu?
Saya yang
awalnya menganggap kalo pemandangan itu biasa-biasa saja, tak urung ikut
memikirkan jawaban dari pertanyaan tersebut. Jika dibilang resah, sebenarnya
tidak sama sekali. Karena saya pribadi masih menganggap itu adalah bentuk seni
dan konsepan yang ditonjolkan dari tempat tersebut. Akan tetapi, jika dipikir
ulang, saya juga ikut bertanya-tanya, kenapa buku yang mesti digantung? Begitu
pentingnya-kah sampai buku yang harus digantung?
Oke, saya akan
coba mendedah hal ini, dan semoga saja nanti ada manfaat yang bisa diambil.
Pertama, memang
cukup hubungan asmara saja lah ya yang digantung, kalau bisa hubungan
pertemanan jangan. Oke saya bercanda barusan. Maksud saya begini, kita pasti
sudah sering mendengar istilah “gantung” identik dengan yang namanya
“mengakhiri.” Akan tetapi, mengakhiri yang dimaksud di sini bisa saja karena
memang sudah waktunya, atau lebih kepada dipaksakan.
Contohnya
gantung diri. Kasus gantung diri bisa diartikan sebagai sebuah keputusasaan.
Tentunya keputusasaan terhadap kondisi hidup yang sedang dijalani. Akan tetapi
beda halnya dengan penghukuman yang memakai cara gantung diri ya....
Yang jelas,
kasus gantung diri lebih kepada hal yang negatif, ketimbang positifnya.
Kedua, “gantung
sepatu.” Istilah ini kerap kita dengar jika ada pemain sepak bola yang pensiun.
Entah itu pensiun karena faktor umur yang tidak lagi muda, faktor kecelakaan
yang menimpa dirinya, ataupun faktor-faktor lainnya. Tentunya istilah yang
kedua ini lebih baik ketimbang yang sebelumnya. Walaupun akhirnya sama saja;
sama-sama mengakhiri.
Ketiga “gantung
raket.” Istilah ini bisa kita temukan pada atlet yang menekuni cabang olahraga
yang menggunakan raket. Walau sama-sama dari cabang olahraga, gantung raket
terkadang memang terkesan lebih sendu ketimbang gantung sepatu. Pasalnya,
kondisi dari orang-orang yang gantung raket, biasanya mayoritas tidak sebaik
orang yang gantung sepatu. Oke tidak perlu lebih jauh, gantung raket pastinya
juga soal mengakhiri.
Namun, akrabkah
kita dengan istilah gantung pena? Mungkin sebelumnya sudah ada yang pernah
mendengar istilah tersebut, dan mengetahui maknanya. Akan tetapi, istilah ini
sangat jarang untuk kita temui. karena secara tidak langsung, istilah ini lebih
ditujukan kepada penulis. Dan dalam lingkaran para penulis sendiri, istilah ini
jarang sekali dipakai. Mungkin akan dipakai jika memang konteksnya sangat
berkenaan dengan kondisi yang terjadi.
Nah, kembali
lagi pada topik awal yang sebelumnya saya singgung. Pernah gak kira-kira kita
menemukan istilah “gantung buku” dipakai dalam keseharian? Saya rasa mungkin
pernah, tapi perbandingannya satu berbanding dengan seribu lah ya. Saya kira
akan menjadi pekerjaan yang membuang-buang tenaga, jika kita repot-repot
menggantung tenaga. Kecuali kalau memang kita ingin menyelenggarkan pameran
yang memakai konsep gantung buku, itu lain hal.
Ada kisah
menarik datang dari negeri kincir angin. Iya negeri yang pernah menjajah kita
itu, Belanda. Di Belanda, ada tradisi menggantung buku yang berlaku bagi
siswa-siswa yang baru lulus dari sekolah menengah ke atas. Tradisi gantung buku
ini, dijadikan simbol perayaan di sana. Akan tetapi, hal ini bukan berarti
siswa-siswa yang telah lulus tadi berhenti membaca. Digantungnya buku—yang
biasanya dengan bendera dan sepatu—menandakan kebahagiaan mereka karena telah
melewati satu fase pendidikan formal.
Di Indonesia
sendiri, buku adalah hal yang kompleks dan sarat makna. Tidak hanya itu, buku
sering kali dijadikan barang keramat yang dijaga dengan sepenuh hati. Mohammad
Hatta sudah mencontohkan hal itu. Tentang bagaimana sayangnya ia terhadap buku.
Dari kisahnya Hatta ini, menjadi hal yang wajar kalau penanya yang saya
sebutkan di awal tadi, terkesan lebih kepada protes ketika melihat buku—dan
juga majalah—yang digantung.
Husnudzon saya,
penanya tersebut memang terilhami dari kisahnya Hatta dalam merawat
buku-bukunya. Akan tetapi, kasus gantung buku yang saya singgung ini juga
sebenarnya sarat makna. Kita tidak bisa langsung menyimpulkan kalau tuan rumah
lokasi acara launching web itu sengaja ingin merusak buku—dengan cara
menggantungnya.
Positif saya,
tuan rumah lokasi memang ingin menawarkan konsep rak buku yang berbeda. Karena
jarang sekali kita temui tempat menaruh buku yang semacam itu. Yang bisa
dibilang, konsep gantung buku ini sedikit mirip-mirip kuburan gantung!
Lah, berarti
bisa disimpulkan kalau gantung buku itu sebagai pemakaman buku? Oh ya gak begitu
juga sih. Positifnya saya lagi, menggantung buku semacam ini memang dijadikan
sebagai bentuk perlawanan simbolik. Lhooo... kok yo malah abot gini?
Pasalnya,
dengan menggantung buku semacam ini, bisa diartikan tamparan kepada kita yang
terkadang masih menganggap remeh buku. Terlebih, kondisi pembaca buku cetak pun
memang tidak sebanyak dulu. Pada akhirnya, saya menganggap bahwa buku yang
digantung ini menjadi bagian keunikan kita dalam melihat dan menilai buku.
Sekaligus cara kita untuk mengabadikan buku cetak.
Ini semua bukan
karena saya tidak setuju dengan adanya buku elektronik. Akan tetapi, karena
cara pandang kita dalam melihat dan menilai sesuatu tidak bisa diseragamkan.
Yang akhirnya, pilihan untuk lebih membaca buku cetak atau buku elektronik
dikembalikan lagi kepada pembaca. Tergantung kenyamanan yang diperoleh dan
kenikamtan yang didapat. Semilir angin mengatakan; “Yang terpenting bukan kita
membaca buku apa, dan bentuk yang buku apa yang kita baca (cetak atau
elektronik). Tapi yang terpenting adalah jangan sampai kita berhenti membaca!”