Harapanku Tak Akan Bisa Dibunuh!
Saturday, February 8, 2020
Edit
Penulis : Eka Desi Susanti
Judul : Hope
Sutradara : Lee Joon Ik
Produser : Byun Bong-hyun, Seoang
Chang-yeon, Kim Yong-dae
Pemeran : Sol Kyung-gu, Uhm
Ji-won, Lee Re
Durasi : 2 jam 2 menit
Tanggal Rilis : 02 Oktober 2013
“Sewaktu ia
memintaku membagi payung dengannya, aku sempat ragu. Aku tahu dia termasuk
orang asing, bahkan aku sudah terlambat masuk ke sekolah, tapi dia basah
kehujanan. Jadi akupun membaginya. Semua orang menyalahkanku. Meskipun aku
berusaha berbuat baik” – Im Soo.
Ucapan Im Soo tersebut, terlontar dan didengar
oleh seorang wanita paruh baya yang
kini hanya bisa duduk di atas kursi roda. Ia adalah seorang ahli
terapis anak. Pada
bagian ini lah,
yang biasanya membuat para pecinta film
Korea menangis pecah saat
menonton film Hope.
Film Hope
merupakan salah satu film yang mendulang sukses dan terus mendapat apresiasi, bahkan bisa dibilang hampir di seluruh penjuru dunia.
Bagaimana tidak, saat film Korea lain kebanyakan menyuguhkan adegan cinta
romantis dan persoalan harta, film Hope coba mengangkat sisi lain dari negara
yang tersohor karena K-Popnya.
Film
Hope merupakan film yang diangkat dari kisah nyata seorang gadis berumur 8 tahun. Kisahnya terjadi di negeri
Ginseng, Korea Selatan pada tahun 2008. Film ini
menceritakan seorang anak perempuan yang mendapat nasib buruk, dan kejadian
tersebut seolah-olah menjadi malapetaka bagi dirinya dan keluarga.
Film Hope tidak lain adalah kisah tentang
korban kekerasan seksual (pedofil),
yang dialami seorang anak perempuan oleh seorang laki-laki tua, saat ia hendak berangkat
ke sekolah. Lee Joon Ik mampu mengemas kisah nyata ini secara apik, dan
seolah-olah ia ingin mengajak seluruh penonton, terutama para orang tua, untuk
lebih melek bahwa kasus ini bisa terjadi kapan pun dan di mana pun.
Cerita ini diawali
oleh Lee Joon Ik (sutradara),
dengan diperlihatkan bahwa Im Soo (Lee Re) berasal dari keluarga yang rukun,
tentram dan bahagia. Im Soo merupakan
anak semata wayang dari ayah dan ibunya,
yang diperankan oleh Sol Kyung-gu dan Uhm Ji-won. Im Soo adalah gadis yang
pintar menyanyi, ceria,
dan begitu disukai bahkan oleh teman laki-lakinya.
Kelemahannya hanya
satu, ia tak begitu menyukai pelajaran matematika. Pada suatu hari, saat ia
hendak pergi ke sekolah, hujan turun begitu deras hingga membuat Im Soo sedikit
berleha-leha saat hendak berangkat sekolah. Di sini lah awal mula malapetaka
menghampiri dirinya dan keluarga.
Ketika ia hendak
berangkat ke sekolah, Im Soo terpaksa berjalan sendirian dengan membawa payung
kuning di tangannya. Karena ia tahu pasti,
bahwa teman-temannya yang lain sudah lebih dulu berangkat ke sekolah dan
ayahnya akan pergi bekerja. Ibunya pun selalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai
penjual di toko rumahnya, dan kemungkinan besar tidak akan bisa mengantarkannya
ke sekolah.
Ketika dalam
perjalanan pergi ke sekolah, ia selalu mengingat pesan ibunya untuk melewati
jalan yang ramai dan menghindari jalan atau gang yang sempit. Im Soo terlihat seolah
begitu memahami apa yang dimaksud oleh
ibunya. Namun, siapa sangka nasib buruk akan menimpa meskipun kita sudah
berusaha waspada. Siapa pun tidak ada yang bisa memprediksi kapan nasib buruk
akan datang.
Ketika dalam
perjalanan, Im Soo bertemu dengan seorang laki-laki paruh baya yang sedang
kehujanan,
dan terlihat sempoyongan. Laki-laki itu menghampiri Im Soo yang saat itu sudah
hampir melintasi pagar sekolahnya, dan meminta Im Soo berbagi payung dengannya.
saat itu Im Soo memang sudah sempat ragu, tapi akhirnya dia membagi payung
dengan laki-laki tersebut karena merasa kasihan.
Laki-laki paruh
baya tersebut sedari awal memang sudah menunjukkan gerak-gerik yang
mencurigakan, tapi Im Soo belum menyadarinya. Selanjutnya, setelah Im Soo
membagi payung dengannya, laki-laki tersebut melakukan tindakan bejat yang
sudah ia rencanakan terhadap Im Soo. Hingga saat pergantian babak, Im Soo ditemukan di sebuah
tempat yang kotor dan tak terawat, tubuhnya hampir tidak dikenali karena
berlumur darah.
Mengetahui kejadian tersebut,
seketika ayah dan ibu Im Soo pun menangis dan pucat pasi. Bahkan, seluruh
penonton film ini akan dibuat gemetar mendengar kabar keadaan Im Soo yang
hampir mati, dan didiagnosa memiliki banyak luka koyakan, dari rektum sampai ke
usus besarnya, hingga harus dioperasi untuk memotong sebagian dari usus besar
dan usus kecilnya.
Ditambah lagi,
dengan keadaan tubuh Im Soo yang babak belur karena siksaan dan pukulan keras
yang didapat dari pelaku tersebut, membuat siapa pun yang melihatnya, tanpa
berfikir panjang akan sangat geram, dan segera ingin menemukan dalang di balik
nasib yang menimpa gadis mungil tersebut.
Hal ini juga mirip
dengan yang dirasakan
oleh ayah dan ibu Im Soo. Sebagai orang tua, mendengar kejadian yang menimpa
anaknya, seakan-akan sebagian hidupnya pun runtuh, merasakan sebuah penyesalan
yang begitu dalam. Bahwa ternyata,
waktu dan canda tawa bersama buah hati begitu hampir tidak terasa, upaya untuk
meredam penyesalan itu lagi-lagi pun hanya melalui tangisan.
Permasalahan ternyata tidak cukup sampai
disitu. Berita yang menimpa Im
Soo mulai terdengar oleh seluruh masyarakat sekitar, sehingga media massa pun
dibuat berlomba-lomba untuk mendapatkan informasi detail mengenai kasus yang
menimpa keluarga tersebut. Hal itu membuat
ayah dan ibu Im Soo harus memindahkan dirinya di ruangan yang lebih
tertutup.
Ada satu adegan
menarik yang bisa kita lihat, yaitu pada saat ayah Im Soo dilanda kepanikan
ketika mengetahui kantong perut Im Soo mengalami kebocoran. Dengan tanpa pikir
panjang, ayahnya pun berusaha
membantu menahan cairan yang keluar dari dalam tubuh Im Soo. Namun waktu itu, Im Soo menolak dan
meronta.
Semula ayahnya tak menyadari bahwa Im Soo mengalami trauma yang begitu
berat, ketika melihat laki-laki di dekatnya. Im Soo menganggap bahwa ayahnya sama dengan
penjahat yang melakukan tindakan menjijikkan kepada dirinya. Hal tersebut
kemudian memperparah rasa bersalah ayah Im Soo terhadap dirinya.
Di sisi lain, kita
akan diperlihatkan bagaimana kemudian perjuangan orang tua yang merasa putus
asa karena melihat nasib buruk, dan rasa sakit yang tak terperi menimpa buah
hatinya. Bahkan impian yang selama ini dibangun, lewat kerja keras pun tak lagi menjadi
prioritas utama. Saat itulah kita dapat melihat rasa bersalah yang sangat dalam
yang dirasakan oleh para orang tua,
belajar dari kasus ayah dan ibu Im Soo.
Bahwa apa yang
dialami oleh anaknya saat itu adalah sebuah kelalaian fatal, dalam memberikan rasa
pengawasan dan keamanan terhadap anak. Beragam penyesalan terus menerus
berkemelut di dalam diri ayah dan ibu Im Soo. Hingga akhirnya mereka memutuskan
untuk berhenti dari rasa saling menyalahkan yang seolah-olah semakin memperburuk suasana.
Kedua orang tua Im
Soo pun mengerahkan segala cara untuk membuatnya pulih dari trauma, dan agar dapat menjalani aktivitas
kesehariannya,
dengan tetap menjadi gadis yang ceria. Dimulai dari menghadirkan seorang ahli
terapis anak yang setiap harinya terus memberikan sugesti positif terhadap Im
Soo, mengajaknya berinteraksi lewat hal-hal yang disukainya.
Hingga suatu hari,
Im Soo dengan nada pelannya mengatakan bahwa ia berharap ketika ia membuka mata
dan bangun dari tidurnya semua keadaan kembali seperti semula, tidak ada lagi
rasa takut didalam dirinya bertemu dengan teman-teman sekolah, tidak perlu lagi
ia minum banyak obat, tidak lagi ia merasakan sakit ketika ia harus mengganti
kantong kotoran diperutnya. Pernyataan ini pun kemudian yang menjadi usaha
orang tua Im Soo agar ia kembali bersemangat dalam menjalani hidupnya kedepan.
Tak cukup di situ,
seorang laki-laki yang begitu menyimpan dendam di matanya—yang tak lain adalah
ayah Im Soo—terus berjuang dalam proses sidang pengadilan yang tak kunjung
selesai. Akan tetapi, lagi dan lagi semesta seolah-olah tidak mendukung baik
keluarga tersebut.
Meskipun Im Soo telah bersaksi, sidang pengadilan terakhir
memutuskan bahwa secara brutal tersangka menyerang seorang anak perempuan. Akibat dari penyerangan tersebut, korban terluka dan mengalami cacat permanen.
Dia seharusnya dihukum berat, namun karena tersangka mabuk dan tidak sadar,
berdasarkan UU Kasus Khusus yang berlaku di negeri Ginseng tersebut tentang
Kekerasan Seksual pasal 9, pasal 7, dan pasal 14 tersangka hanya dihukum selama
12 tahun.
Keputusan ini pun banyak menuai protes, terutama keluarga dan
kerabat Im Soo. Bagaimana tidak, kita pun sebagai penonton akan dibuat
kebingungan akan hal ini. Permintaan keluarga korban untuk
pemberian hukuman berat tertolak hanya karena terdakwa mengatakan dirinya tak
bersalah. Sebab tak melakukan apapun dengan alasan mabuk dan tak mengingat
apapun. Padahal, semua bukti telah menyorot kepadanya.
Kasus utama dalam film ini, seolah-olah menjadi kasus sepele. Seperti hukuman bagi penyetir kendaraan yang tertangkap
karena mabuk.
Di akhir kisah
film ini, kita akan dibuat
menangis haru karena rasa kecewa yang didapat oleh keluarga tersebut. Terlebih, di adegan akhir Im Soo
yang menatap mata ayahnya yang merasakan bahwa ada dendam tak terbendung yang
disimpan ayahnya. Ia pun sontak langsung berlutut di kaki ayahnya, ketika ayahnya hendak
berusaha melukai tersangka. Dan sudah bisa ditebak, hati seorang ayah pun
langsung seketika cair melihat anaknya berlutut berusaha menahannya. Sehingga
ayahnya pun keluar dari ruang sidang tersebut dengan tangis sembari membopong
anak kesayangannya tersebut.
Semenjak hari itu,
keluarga Im Soo
tidak lagi terpaku dengan kesedihan yang berlarut-larut. Im Soo yang sudah
berani pergi ke sekolah
dan bermain bersama teman-temannya tak lagi merasa khawatir, meski dalam
dirinya masih menyimpan memori perih itu.
Ia
tidak ingin hal tersebut menjadi benalu yang tak berkesudahan. Bersama keluarga, guru, teman
yang terus memberikan support sytem yang baik terhadapnya, kini ia tak perlu
lagi khawatir dengan kantong yang ada di perutnya.
Film ini merupakan
sebuah bentuk dedikasi untuk anak korban kekerasan, baik secara fisik, mental
serta kekerasan seksual. Film ini juga dapat dijadikan sebagai edukasi terhadap
orang tua di mana pun berada. Tentang bagaimana penanganan orang dewasa
terhadap anak yang mengalami kasus pedofilia, dan kritik terhadap perlindungan
anak baik masyarakat maupun hukum.
Film ini juga layak direkomendasikan sebagai
bahan diskusi awal terhadap komunitas yang peduli dan bergerak di bidang
perlindungan anak. Guna memberikan identifikasi dan pemetaan terhadap dampak,
dan ancaman yang terjadi pada anak kasus pedofilia.
![]() |
Mahasiswa
Pengembangan Masyarakat Islam
Fakultas Dakwah
dan Komunikasi
UIN Sunan Kaljaga
Jogja
Kader PMII Rayon Pondok
Syahadat |